Terima kasih Ded, sudah menulis respon utuh dan "panjang" untuk komenku terhadap tulisan Hudan Hidayat. Dedy T Riyadi (sekarang Dedy Riyadi) adalah satu tim bersamaku saat mendirikan Pasar Malam (Paguyuban Sastra Rabu Malam) yang kemudian dikenal sebagai Sastra Reboan. Maka jelas dengan tulisan Dedy bahwa seni memberi ruang tafsir yang lebih luas daripada ilmu. Tugas seni memang memperluas pemaknaan, memberi makna demi makna. Dalam pemaknaan ini tidak ada benar dan tidak ada salah. Sedangkan ilmu merumuskan, memberi rumus demi rumus. Dan mempertajam perumusan sehingga bahkan menjadi suatu disiplin ilmu yang kaku dan mati, kecuali ada teori baru. Jelas pada kondisi ini akan muncul keniscayaan mana salah dan mana benar. Itu secara garis besar, kita sudah bedakan antara seni dan ilmu. Maka ketika kita masuk ilmu budaya termasuk ilmu sastra, mana yang akan kita pakai? Aku lebih memilih seni dalam memahami suatu karya sastra, daripada ilmu. Oleh karena itu kita mengenal dalam penelitian karya sastra, lebih menekankan analisis deskriptif daripada analisis kuantitatif yang lebih muncul pada ilmu alam. Sedangkan parameter analisis kualitatif pada ilmu pasti alam pun akhirnya dihitung skala-skala. Seolah-olah mau mengobjektifkan. Juga pada ilmu psikologi yang kusebut sebagai pseudo ilmu yang dibantah oleh Ikhsan Risfandi ZI. Ilustrasi-ilustrasi yang kubuat tentang baju cantik Vitta, puisi Pablo Neruda terjemahan Leon Agusta, lukisan Raden Saleh dan Djoko Pekik, itu semua penjelasannya lebih ke ilmu budaya yang seolah-olah kualitatif, tetapi sesungguhnya masih berkoma. Oleh karena pendekatanku adalah subjektif, sementara kalau mau pakai ilmu budaya semestinya kau tawarkan solusi analisis deskriptif daripada membenturkan subjektivitas versus subjektivitas. Oleh karena segala kemungkinan subjektivitas yang muncul dengan deskripsi-deskripsi liar dapat muncul dalam kritik sastra, maka sesungguhnya ruh utama dalam kritik sastra itu sesungguhnya adalah seni. Tetapi untuk menjembatani kepada dunia untuk suatu kemajuan pemahaman, maka dibuatlah metodologi penelitian ilmiah dengan analisis akhirnya bersifat deskriptif, sekaligus untuk menetralisir subjektivitas soal kualitas. Apalagi yang mau kita katakan tentang hal ini, itu bukan ilmu pasti, sesungguhnya ruhnya adalah seni. Terpaksa aku bilang seni lebih unggul, meski seni atau ilmu budaya tidak dikotomis antara kalah versus menang. Apalagi dalam filsafat kontemporer kaidah ilmu dan metode penelitian ilmiah paradigmanya tidak lagi seperti yang umum kita jumpai di kampus akademis kita. Dalam filsafat kontemporer ilmu bukanlah merupakan kesinambungan dan keberlanjutan, tetapi ia terputus, dan pada masa yang baru ia menjumpai kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Ini pun tetap disebut ilmu, ilmiah. Sedang aku menembus jantung hatinya. Sesungguhnya ia seni. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra