Jumat, 04 April 2025

Membicarakan Karya Sastra

Aku menulis ini di depan warung makan sambil menunggu temanku datang. Caraku membuat bahasan seni kritik sastra memang berbeda dengan cara Hudan Hidayat. Aku mengalir seperti sungai dari bukit Sion ke lembah Hermon. Dedy Riyadi paham itu. Bagiku itu seni. Bahkan cara menulis novel-novelku juga demikian, di antaranya. Aku tak mau memotong tulisan-tulisanku menjadi rapi berekonomi kata seperti kata Ezra Pound dalam membuat puisi, seperti yang Hudan tulis. Maka kalau buku kami berdua jadi, demikian juga. Semoga jadi. Lagipula aku tak peduli ini puisi atau prosa atau dibilang non sastra sekalipun. Bagiku ini seni, yang boleh jadi belum dirumuskan oleh para hakim sastra guna memudahkan klasifikasi. Martin Aleida pernah bilang di Mejabudaya tentang emosi yang terpelihara dalam tulisan yang ditulis secara langsung. Apakah tulisanku ini seni kritik sastra. kujawab ya. Sebagai kritik sastra ia membicarakan tentang karya sastra yang pasti kan kau temui di halaman-halaman berikutnya. Bukuku Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro pernah jadi nominasi Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur kategori kritik sastra. Nominasi karena pesertanya sedikit. Kalah oleh disertasi doktor fakultas pendidikan bahasa. Menang atas buku lain tentang apa aku lupa.Semua kategori kritik sastra. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Menjadi Karya Sastra

Sekarang aku di dalam warung pasang kuping ada tiga wartawan sedang berbincang. Banyak wartawan sekaligus sastrawan di negeri ini. Di WAG Ruang Sastra, Kongkow Sastra, Partey Penulis Puisi, itu tempat mereka berkumpul. Wartawan sekaligus penyair, atau sastrawan jenis lain. Bahkan ketua komite sastra  kota megapolitan yang pernah di WAG Seni Kritik Sastra ini juga kukenal sebagai wartawan di kota pantai berbatas dengan Singapura. Yalah kau tahu, Hasan Aspahani adalah redaktur Batam Pos waktu itu. Puisi-puisiku pernah dimuatnya di koran ini. Kritik puisiku bertema makanan itu pernah dibahas di Newseum Cafe Jakarta dengan pembahas Binhad Nurrohmat dan Pakcik Ahmad, 2009. Pada banyak acara bedah buku sangat sering kudengar ungkapan pisau bedah analisis buku bila tidak tepat akan dapat merusak segalanya. Bahkan dibilang dapat membikin kasihan penulis atau penyairnya. Misal, seharusnya pakai pisau bedah kok pakai kampak. Yalah, kalau itu bedah hewan sungguhan. Kan aku berpengalaman soal ini. Setidaknya pernah. Lalu penerapan untuk sebuah karya seni budaya. Apakah juga demikian? Hudan Hidayat menulis apakah yang kita rasakan saat membaca puisi. Ini juga sebuah kritik sastra. Begitu kita terpaku membahas suatu karya dengan satu metode. Ketika Hudan menulis ini lalu menguraikannya, dengan caranya, sesungguhnya ia sedang membuat kritik sastra. Ini contoh konkret filsafat kontemporer yang secara panjang lebar diuraikan oleh Dedy Riyadi, bahwa kritikus punya kekuasaan mutlak dalam membahas suatu karya sastra sehingga ulasannya menjadi karya sastra sendiri. Ini contoh konkret dari analogi membedah buku puisi dengan pisau analisisnya adalah kapak raksasa. Jangan sebut ini salah atau benar. Bahasan seni bukanlah tentang salah atau benar. Itu urusan agama. Hanya aku pernah salah langkah tidak daftar ulang sebagai mahasiswa jurusan seni murni. Padahal aku diterima di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB 1987 jurusan itu. Aku lulus ujian masuknya. Bila aku teruskan masuk di situ, mungkin akan menjadi seperti kamu yang suka berteori seni sehingga malah menjadikan seni terasa kering karena berdisiplin ilmu. Mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan terutama yang lulus sarjana seni murni. Biarkan aku ikut memurnikan seni murni kritik sastra dengan caraku sendiri. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Nafsu Berbalut Sastra

Tadi kulihat Dedy Riyadi menulis di Grup WA Seni Sastra. Tapi ternyata tulisannya tidak muncul. Lalu muncul puisi yang memuat kata alibi dan ranum oleh Umar Tajjudin. Hudan Hidayat pun menulis tantangan kepenulisan yang mengasyikkan. Sementara aku mau tidur karena kurang tidur. Makananku kritik sastra karena tiga bukuku diteliti menjadi puluhan skripsi, tesis dan jurnal ilmiah. Terus kau bilang logika kuantitas dibanding kualitas untuk sebuah kebenaran. Kepalaku berdenyut terlalu banyak minum es teh. Dalam tulisan ilmiah tiga buku itu ada kritik sastra yang bikin penulisnya menjadi sarjana dan magister, dan doktor makin motor. Makanlah itu kalau kau bilang itu kritik sastra yang matang. Mari kita bermain-main seni yang menggoreng nasi kritik sastra tidak kering kerontang nasi karak. Kita mulai dari mana? Terlalu banyak buku kesepian sekarang. Kesepian karena nafsu disebut sastra. Hitung buku puisi yang saban tahun dikirim untuk hari puisi. Pret. Aku juga menerbitkan buku puisi salah seorang pesertanya. Orangnya bukan aku. Dan kalah. Tapi ia punya jalan sendiri. Di Amerika buku puisinya dibahas orang. Meski di dalam kelas. Hanya namanya keren. Seperti university poetry day. Itu buku yang beruntung. Bukan. Penulisnya yang beruntung. Lihat aku tidak bahas instrinsik buku itu. Tapi aku juga belajar ada sosiologi sastra. Aku tidur saja. Setutup mata orang cari peruntungan di dunia literasi dan sastra. Maunya jadi pahlawan sastra. Eh nyatanya lebih suka demonstrasi politik dengan puisi daripada menulis sepertiku. Menulis catatan harian dengan dalih seni kritik sastra. Kalau begitu aku dan mereka sama saja. Mbelgedes. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Amplitudo Makrifat

Titiyani Sirep Tidhem. Tepat pukul dua belas malam aku terjaga dari tidur soreku. Langsung kugosok gigi, minum air putih, dan mau kembali tidur. Seharusnya begitu. Karena begitu masuk waktu selanjutnya kita masuk waktu Gandayoni. Saat mimpi sesungguhnya alam bawah sadar yang mewujudkan. Hudan Hidayat dengan penuh kearifan menangkap pesanku oleh karena kematangannya dalam bersastra. Tataran tulisannya sudah melampaui bentuk bermakna, tahap yang dianggap terakhir dalam langkah-langkah seni. Tiruan kenyataan, universalisasi nilai-nilai individu, nilai-nilai ketuhanan-kebenaran dan kebaikan, serta bentuk bermakna itu. Kalau Umar Tadjuddin masih mempersoalkan bentuk, aku menganggap itu bukan mengkritik tulisanku tetapi lebih bagus memang anggota grup WA Seni Kritik Sastra berpendapat apapun dan menulis apapun secara bebas di sini. Agar grup hidup. Sekaligus menunjukkan kepada dunia. Kita sedang merenangi seni kritik sastra yang tidak anti kritik. Yang antikritik kuanggap dapat ditandai dengan dia keluar dari grup ini padahal dia sesungguhnya sudah masuk oleh karena mengaku tertarik mengetahui ada grup dahsyat beramplitudo makrifat bernama Seni Kritik Sastra. Aku dan Hudan, ya Allah ya Rabi, bila Kau ridai kami dengan umur kami, izinkan kami terus berkarya dengan seni kritik sastra ini sampai maranatha. Maranatha adalah waktu kedatangan Tuhan Yesus umat Nasrani datang kembali ke bumi sebagai kiamat nanti. Dedy Riyadi sangat paham ini, maka ia menulis tentang metafora Alkitabiah tentang hakikat seni kritik sastra sendiri. Puji Tuhan, bagiku. Tulisanku liar, karena memang itulah berbagai gaya bahasa, bentuk sastra, aliran sastra sudah menyatu dalam diriku. Saat itu, aku menyebut novelku beraliran multidimensi saat bersama Profesor Faruk aku menjadi narasumber dalam acara temu pengarang di depan mahasiswa S2 Universitas Muhammadiyah Malang. Saat itu 2012. Maka 13 tahun kemudian, sekarang. Hudan Hidayat sudah lama bersanding dengan Roland. Barthes, yang mencumbui semiologi mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Ya Hu kau sudah mengalahkan dia Hu, dengan amplitudomu kau sudah menghidupi kerinduan Deddy, sekaligus mengajak Umar memberi tafsir atas koma demi koma. Itu semua bagus Hu, karena grup seni kritik sastra adalah Amplitudo juga. Jarak terjauh dari titik kesetimbangan pada getaran. Dengan amplitudo kita sumbangkan sedikit  parameter pengukuran energi untuk mendeskripsikan gelombang. Jangan dibilang amplitudo ini bertitik pemahaman kita yang superdangkal. Yang kita sadari sehingga terus menulis seni kritik sastra yang sekaligus juga melapangi mengkritik dan dikritik tanpa berpuas diri. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Bukan Lagi Non Sastra

Hudan Hidayat, jangankan tulisan kita, Hu. Lirik lagu Bob Dylan yang menerima anugerah sastra Nobel 2016 juga membuat pelaku sastra Indonesia meriang. Juga terhadap puisi naratif atau prosa liris Denny Januar Ali tidak kusebut nama pilihannya karena aku tidak bersetuju oleh sebab sudah ada tulisan model begini. Meski dengan berbagai pembelaan yang disebut Umar Tadjuddin sebagai alibi. Jadi aku termasuk juga meriang ya, Hu, terhadap kelahiran gerakan mereka. Hahaha. Karma ya Hu. Maka ketika gerakan seni kritik esai kita lahir, kita pun bikin mereka juga meriang. Tapi aneh mereka tidak meriang dengan novel model autobiografi atau autobiografi sebagai novel Annie Ernaux penerima nobel sastra 2022. Ah Hu, memangnya aku pembawa termometer tubuh orang. Di Mejabudaya 2000-an pernah dibahas Diary Anne Frank juga kok Hu menjadi sastra berkelas dunia. Jadi mengapa kita membahas meriang-meriang model begitu. Dunia kreatif memang tak terbatas. Dan Dedy Riyadi sudah membahas novel Eddy D Iskandar, yang tak pernah dilirik pemuja sastra itu. Biarlah Hu. Maka aku pun tak membahas puisi Sonian Sony Farid Maulana yang pernah membahas kumpulan puisiku bersama Sihar Ramses Simatupang dan Badri AQT di Ultimus Bandung 2004. Apalagi puisi Sugiono Empe yang selalu diduetkan dengan Denny Januar Ali selalu digempur dengan meriang oleh para tidak setujunya. Kita lain sih Hu. Kita tidak lagi ribet soal aliran sastra. Malah kita melampauinya. Mau membuat kritik seni bukan lagi non sastra. Tetapi ia sastra. Bahkan seni. Hahaha. Tentu saja kurikulum akan berubah Hu. Padahal yang kita persoalkan adalah soal hakikat. Dengannya kita melakukan makrifat. Kau Muslim yang taat, Pak Haji. Perkenankan aku yang di luar domainmu menyebut -permisi- dalam konteks Islam, khususnya tasawuf, makrifat merupakan pengetahuan atau pengenalan mendalam tentang Allah SWT. Tidak berhenti di situ, tetapi ada jalannya. Yaitu, pengenalan itu dicapai melalui hati serta pengalaman rohani. Bukan sekedar pengetahuan intelektual. Maka di sini seni berbicara. Aku terlalu sering melihat pegiat partai politik menjadi kalah berpolitik karena kaku sesuai ilmu politik yang mereka pelajari. Kau lihat Joko Widodo, apa dia bukan canggih dalam politik? Itu bukan karena dia menguasai ilmu politik. Dalam hal ilmu ini ada Pratikno. Tetapi seni politik Joko Widodo lebih kampiun. Ini hanya sekedar ilustrasi. Ini pun sudut pandang lain tentang seni kritik sastra, bahwa ia adalah seni. Semoga para meriang tidak terpaku pada ilustrasinya ya Hu. Aku sudah belajar ribuan jam mendengarkan perbincangan ilustrasi kok Hu. Dan dengan jernih aku dapat menangkap esensi. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Kritik Sastra Yang Cantik

Leon Agusta yang kau tulis, Hu, yang kuingat kumis putihnya saat ia datang di warung tenda Taman Ismail Marzuki. Kalau ia doktrinal seperti kepada tulisanmu itu aku memahami karena zamannya dibuat begitu. Oh maaf Hu, ternyata yang doktrinal kaku kepada tulisanmu yang merdeka adalah Danarto ya Hu. Yang sama-sama suka berpakaian putih saat di TIM. Baiklah, kalau Leon menerjemahkan Pablo Neruda, pasti tak seperti kemeja lengan putihnya. Puisinya yang terjemahan Pablo mungkin kuyakin tak bakal setitis maksud Pablo. Ada ruang antara mereka. Ada perantara pula di situ. Ada lain-lain yang dapat menghubungkannya. Celana dan baju memberi bentuk pada tubuh kita, atau sebaliknya kah, Hu. Sebelum pakaian itu dibentuk, modelnya dari tubuh kita yang dikur oleh penjahit. Penjahit yang baik akan memberi cita rasa padanya. Beda antara Mbak Sri dan Pak Muji. Mbak Sri meski guru ketrampilan menjahit di SMK, ia kurang berseni ketika menjahit pakaian Vitta. Wujud pakaiannya kaku, beda dengan Pak Muji. Meski bukan guru, ia penjahit berpengalaman dari menjahit hingga menjahit. Maka meski rumahnya di pelosok pedalaman Kecamatan Widang Kabupaten Tuban, Vitta tetap mencarinya. Padahal rumah Vitta tetangga loncat dua rumah dengan Mbak Sri. Satu desa mereka di Lamongan dekat Pasar Agrobis Babat. Bukan berarti Vitta tidak sayang Mbak Sri, Hu. Sebagai sesama perempuan mereka punya jiwa wanita. Bukan karena Pak Muji lelaki maka magnit lelaki saling menarik dengan magnit perempuan Vitta. Mereka bermagnit karena jiwa seni Pak Muji berhasil mencipta tubuh Vitta makin cantik. Siapa tak mau baca kritik sastra yang cantik Hu. Tapi ya diingat, lukisan celengnya Djoko Pekik itu tidak secantik lukisan harimau lawan bantengnya Raden Saleh. Sama-sama melukis hewan, tapi Djoko Pekik lebih memberi simbol yang dibutuhkan. Sekaligus tidak polos simbolnya seperti lukisan Raja Jawa Yos Suprapto. Yos mah tidak melukis simbol, Hu. Seperti aku yang kasar menulis seni kritik sastra ini. Terkadang kita terlalu asyik menjadi pragmatis kok. Baiklah kalau begitu tidak apa. Leon Agusta kukatakan juga dia sedang pragmatis ketika menerjemahkan Pablo Neruda. Aji mumpungnya ada lho Hu. Mumpung akses ke sastra dunia hanya terbatas pada kalangan sastra saat itu, dia terjemahkan karya senator Chili itu hanya karena dia penyair. Agar kerenlah. Yang lain kan masih tidur. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Jantung Hati Kritik Sastra

Terima kasih Ded, sudah menulis respon utuh dan "panjang" untuk komenku terhadap tulisan Hudan Hidayat. Dedy T Riyadi (sekarang Dedy Riyadi) adalah satu tim bersamaku saat mendirikan Pasar Malam (Paguyuban Sastra Rabu Malam) yang kemudian dikenal sebagai Sastra Reboan. Maka jelas dengan tulisan Dedy bahwa seni memberi ruang tafsir yang lebih luas daripada ilmu. Tugas seni memang memperluas pemaknaan, memberi makna demi makna. Dalam pemaknaan ini tidak ada benar dan tidak ada salah. Sedangkan ilmu merumuskan, memberi rumus demi rumus. Dan mempertajam perumusan sehingga bahkan menjadi suatu disiplin ilmu yang kaku dan mati, kecuali ada teori baru. Jelas pada kondisi ini akan muncul keniscayaan mana salah dan mana benar. Itu secara garis besar, kita sudah bedakan antara seni dan ilmu. Maka ketika kita masuk ilmu budaya termasuk ilmu sastra, mana yang akan kita pakai? Aku lebih memilih seni dalam memahami suatu karya sastra, daripada ilmu. Oleh karena itu kita mengenal dalam penelitian karya sastra, lebih menekankan analisis deskriptif daripada analisis kuantitatif yang lebih muncul pada ilmu alam. Sedangkan parameter analisis kualitatif pada ilmu pasti alam pun akhirnya dihitung skala-skala. Seolah-olah mau mengobjektifkan. Juga pada ilmu psikologi yang kusebut sebagai pseudo ilmu yang dibantah oleh Ikhsan Risfandi ZI. Ilustrasi-ilustrasi yang kubuat tentang baju cantik Vitta, puisi Pablo Neruda terjemahan Leon Agusta, lukisan Raden Saleh dan Djoko Pekik, itu semua penjelasannya lebih ke ilmu budaya yang seolah-olah kualitatif, tetapi sesungguhnya masih berkoma. Oleh karena pendekatanku adalah subjektif, sementara kalau mau pakai ilmu budaya semestinya kau tawarkan solusi analisis deskriptif daripada membenturkan subjektivitas versus subjektivitas. Oleh karena segala kemungkinan subjektivitas yang muncul dengan deskripsi-deskripsi liar dapat muncul dalam kritik sastra, maka sesungguhnya ruh utama dalam kritik sastra itu sesungguhnya adalah seni. Tetapi untuk menjembatani kepada dunia untuk suatu kemajuan pemahaman, maka dibuatlah metodologi penelitian ilmiah dengan analisis akhirnya bersifat deskriptif, sekaligus untuk menetralisir subjektivitas soal kualitas. Apalagi yang mau kita katakan tentang hal ini, itu bukan ilmu pasti, sesungguhnya ruhnya adalah seni. Terpaksa aku bilang seni lebih unggul, meski seni atau ilmu budaya tidak dikotomis antara kalah versus menang. Apalagi dalam filsafat kontemporer kaidah ilmu dan metode penelitian ilmiah paradigmanya tidak lagi seperti yang umum kita jumpai di kampus akademis kita. Dalam filsafat kontemporer ilmu bukanlah merupakan kesinambungan dan keberlanjutan, tetapi ia terputus, dan pada masa yang baru ia menjumpai kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Ini pun tetap disebut ilmu, ilmiah. Sedang aku menembus jantung hatinya. Sesungguhnya ia seni. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Buah Pikiran Mahal Harganya

Waduh, tulisan Hudan Hidayat dan Idaman Andarmosoko dihapus. Ada apa gerangan? Aku baru dapat menulis dan merespon pagi ini sembari makan mi rebus mangkuk hijau. Nama minya sulit kueja. Sambil kumengeja alasan Hu dan Idaman menghapus postingannya. Kalau alasannya menjaga kerahasiaan buah pikiran yang mahal harganya, aku sangat memahami. Di mana-mana banyak penulis yang demikian. Hak karya cipta intelektual mahal harganya. Bahkan menurut Kurnia Efendi hal semacam ini terkait dengan penyajian barang baru atau barang bekas. Bila nanti dibukukan tetapi sebelumnya sudah dipublikasikan meski di grup WA, ia bukan lagi barang baru. Tetapi menyajikan barang bekas. Jadi aku menunggu saja, postingan Hu dan Idaman terkait ini. Ya di mana-mana ada pencurian ide dan gagasan. Aku tak membahas pendapatku. Aku cenderung sering mempertontonkan kebodohanku dengan menulis tanpa saringan di media sosial. Dan sekarang aku sedang makan mi rebus buatan Vitta. Setelah sejak pukul 3 sore kemarin sampai 3.30 tadi pagi ke luar kota dilanjut ngobrol sampai pagi dengan Kang Zen Samin di rumah. Lalu tidur. Bangun pagi menulis berita untuk Waskat.id. Lalu sekarang. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Merawat Kata

Pada mulanya adalah kata. Hudan Hidayat menuliskan demikian. Dedy Riyadi paham dari mana pernyataan ini dikutip. Dari Alkitab. Tepatnya Kitab Yohanes 1:1. Tetapi Alkitab bahasa Indonesia terjemahan baru menulisnya Firman. Firman memang kata, tetapi kata Tuhan. Hudan pernah terkenal dengan Jurnal Sastra Tuhan Hudan. Maka setiap kata yang ditulis Hudan adalah Firman. Kalau Friedrich Nietzsche mengatakan Tuhan sudah mati, mesti ditelusuri siapakah sesungguhnya yang mengatakan. Oleh karena ungkapan itu diungkapkan oleh "seseorang yang gila" dalam karya Nietzsche. Itu pernyataan kedua, bahwa pernyataan ini juga muncul di awal Thus Spoke Zarathustra karya Nietzsche 1883. Sedangkan yang pertama, ungkapan ini muncul dalam tulisan Nietzsche pada tahun 1882 dalam The Gay Science. Saya menyoroti pengungkapan kedua yaitu oleh seseorang yang gila. Siapa dia? Sedangkan buku karya Hudan di antaranya adalah Keluarga Gila. Jadi mungkin seorang dari keluarga ini. Oleh karena ini penulisnya Hudan, maka dapat saja yang menyatakan bahwa Tuhan sudah mati adalah Hudan. Kebetulan Hudan juga Tuhan dalam Tuhan Hudan. Karena Hudan adalah juga Tuhan maka yang menyatakan Tuhan sudah mati dapat juga Tuhan. Tuhanlah yang menyatakan Tuhan sudah mati. Masih dapat berlanjut dengan berbagai kemungkinan. Kalau sebut ini hanya permainan kata, berarti kau sebut aku sedang bermain-main Firman. Aku tak mau jauh lagi. Dalam konteks Kitab Yohanes 1 Pada mulanya adalah Firman adalah tentang Firman yang menjelma menjadi manusia itu adalah Tuhan sendiri. Dan setelah menjelma manusia, Firman itu menjadi Yesus. Tuhan Yesus. Terkadang aku terbentur tembok, pada kata Yesus kepada iblis yang mencobai-Nya di padang gurun. Iblis mencobai Yesus dengan Firman lepas konteks. Yesus menangkisnya dengan Firman sesuai konteks. Aku tidak menangkis Hudan dengan cara ini. Karena Hudan adalah temanku. Aku akan selalu membela temanku. Aku tahu Hudan sedang berkreatif merawat kata untuk kita. Secara tertulis. Tidak secara lisan sepertiku. Meski lisanku dalam wujud tulisanku yang panjang-panjang di mata orang. Dan Tuhan Hudan menyebutku merawat budaya tulis bukan lisan. Sementara soal panjang-pendek hanya soal ukuran. Kata sifat. Dan salah satu sifat Tuhan adalah Kasih. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Sastra Juga Dinamika

Drh. Taufiq Ismail dengan HH dan Gerakan Syahwat Merdeka 2007 melawan Hudan Hidayat, yang dengan Sastra Yang Hendak Menjauh dari Tuhannya 2007 menyerang pidato kebudayaannya, Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka 2006. Taufiq itu dokter hewan orde lama. Pikirannya modernisme strukturalisme normatif. Hudan itu pasca strukturalis. Polemik di koran mereka melahirkan tulisanku Komunitas Sastra di Jurnal Nasional. Anehnya kemudian Hudan menjadi kontra TUK yang melahirkan penulis yang juga sealiran dengannya, misalnya Ayu Utami yang dimasukkan Taufiq masuk gerakan itu atau fiksi alat kelamin. Cukup syarat untuk gerakan karena mencapai kuota lima orang. Hudan dituduh neoliberalis oleh Taufiq yang musuhnya banyak. Alumni Lekra dan gelombang poststrukturalis posmodernis. Aku baru belajar politik, tidak bingung dengan segala keruwetan itu, seperti Taufiq bingung tulisan Hudan yang menurutnya ruwet. Dari sudut politik, semua dinamis. Bukan saatnya klasifikasi dan determinasi istilah, nilai dan makna. Leburlah semua jadi satu. Terima semua kemungkinan. Hadapi dengan gairah. Niscaya kau akan paham bagaimana hebat tulisan Hudan. Gantian aku memuji tulisannya, ia telah sering memuji tulisanku. Akan kubahas habis semua tulisan tentangnya. Dia bolo-ku. Bukan coro-ku. Bolo artinya teman, kawan. Coro artinya kecoak. Kulakukan ini karena aku sudah paham sastra bukan hanya sekedar mimesis, nilai, norma, bentuk. Kita sudah melampaui itu semua. Kusederhanakan saja, sastra juga dinamika.Jangan stop pengertiannya seperti dinamika politik, itu hanya perbandingan. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Menukik Pada Induk Seni Atau Ilmu

2007 akhirnya Hudan Hidayat menulis Nabi Tanpa Wahyu disusul lahir Memo Indonesia di Taman Ismail Marzuki. Keberagaman nilai bebas dari kekuasaan yang membelenggu disuarakan. Tak lama berselang lahir Ode Kampung menyerang TUK karena dominasi sastra oleh satu komunitas. Aku ikut hadir di Rumah Dunia Golagong saat Ode Kampung bikin pernyataan. Lupa aku, ikut tanda tangan atau tidak. Selanjutnya Boemipoetra versus TUK terus hadir hingga Milis Apresiasi Sastra mempertemukan Sitok Srengenge dengan Saut Situmorang di PDS HB Jassin. Hah semua politik sastra. Kini Hudan dan aku juga berpolitik tetapi teks bukan isu gerakan macam itu. Ini gerakan seni kritik sastra, tak perlu lima orang seperti kata drh. Taufiq Ismail. Cukup dua orang saja sudah dapat menjadi gerakan. Dua orang dorong-mendorong saja sudah dapat terjadi duel, gerakan tinju, lempar-lemparan bola. Dan isunya lebih keren. Tidak sekedar tema atau sosiologi sastra. Tetapi menukik pada induk seni atau ilmu. Kalau kau mau jujur, kau pasti merinding akibat kau masuk keheningan berkabut, di baliknya ada Sundelbolong atau Cleopatra. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Lebih Daripada Sekedar Ngeres Pikiran

Linda Christanty saking tertariknya dengan polemik Hudan Hidayat versus drh. Taufiq Ismail, menyarankan materi polemik didokumentasikan di blogspot.com. Setiap zaman ada anak emas masing-masing. Ketika Hudan dan kawan-kawan bertarung melawan Taufiq dan kawan-kawan "diam" seperti Helvy Tiana Rosa dengan barisan Forum Lingkar Pena, tampaknya gerakan syahwat merdeka kedodoran karena tidak terorganisasi rapi. Yang memberi nama gerakan kan bukan Hudan dan Ayu Utami serta Djenar Maesa Ayu. Tetapi drh. Taufiq. Menurutku Hudan tidak pernah berpretensi membuat gerakan itu. Tetapi kemerdekaan berkaya itu harus. Sifatnya universal. Tanpa gerakan pun akan hadir. Toh berikutnya pada gilirannya muncul Undang Undang Pornografi. Seiring Kramat Tunggak ditutup. Dolly jadi Islamic Center. Hudan sudah menjadi sufi sekarang. Masa sudah lewat, tak perlu dipaksa berhenti oleh drh. Taufiq, cukup naluriah manusia saja berbicara. Bahkan Sigmund Freud yang menulis hasrat seks yang mempengaruhi perilaku manusia ya tetap tidak tercatat mati karena sifilis seperti Nietzsche akibat suka jajan di rumah bordil. Drh. Taufiq terlalu berlebihan terhadap tulisan sastra Hudan. Menganggap tulisan sastra sama dengan majalah porno yang 1990-an saya pinjam dari teman Praktek Kerja Lapangan di Koperasi Susu. Sastra selangkangan Hudan tidak begitu. Yang dibicarakan lebih daripada sekedar ngeres pikiran pengkritiknya. Sastra memungkinkan itu. Bahkan berbeda dengan banyak pengamat lain, seorang pengamat berkata justru seks-lah pokok utama dalam novelku yang dibahas Hudan, bukan sekedar tempelan. Bukan pula ia makhluk tunggal dalam hidup manusia. Masa drh. Taufiq lupa, kuda yang kelaminnya sealiran kelamin manusia itu masa tidak punya masalah di luar organ biologis. Aku jadi bertanya, sebelum lulus drh, saat masih Drs.Med.Vet, senior drh. ini asisten dosen FKH di laboratorium apa. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Perspektif Seni Kritik Sastra

Pinggangku terasa pinggang perempuan tua menggendong kayu bakar, membungkuk berjalan tersuruk, setelah tidur cuma tiga jam. Kutulis ini di atas ranjang, mainku dengan hape saja, sambil kaki terangkat menyilang lutut. Masih kubaca Hudan Hidayat dan Taufiq Ismail 20 tahunan silam. Drh. Taufiq masihlah orang yang beriringan denganku di belakang perpustakaan Jakarta menuju PDS HB Jassin. Seumur-umur aku berbincang singkat dengan senior hebat ini. Kini kuakrab dengan lawan polemiknya yang lebih hebat, Drs. Hubungan Internasional Hudan Hidayat. Mereka berbeda latar akademis, tetapi waktu itu sama-sama menyoal selangkangan perempuan. Yang satu jijik yang satu menjiwai tidak sekedar tatap mata. Meski mungkin yang bertaburan cuma tanda-tanda kehadiran di lapis kedua. Tetap drh. Taufiq sudah membiadabkan Drs. Hudan dengan segala label dan saran uji moral di depan pembaca RT sampai provinsi, katakanlah begitu. Sekilas drh. Taufiq mendukung feminisme lama yang menyuarakan kesetaraan perempuan dan lelaki dari fungsi sosial dan individu kodrati dengan batasan-batasan. Sedangkan Drs. Hudan pendukung feminisme Julia Kristeva yang menolak pandangan feminisme lama itu, tetapi feminisme perempuan dalam bahasa merdeka menyimbolkan kemerdekaan perempuan dalam hidup sebagai makhluk utuh. Tak berdikotomi tugas sosial dan individu kodrati berbeda dengan lelaki meski ada kesetaraan gender yang terbatas. Jelas Drs. Hudan memperjuangkan kehadiran manusia seutuhnya.  Meski hadir di taman firdaus sebagai Adam dan Hawa telanjang, yang dipersoalkan bukan norma ala drh. Taufiq. Dalam konteks ini terasalah bacaan mereka berbeda. Tetapi tanpa bacaan pun kalau jiwa internal sejujur gunung Batur, akan tetap hadir juga di tanah Jawa. Jawa itu kebenaran Sama-sama benarnya sesuai zamannya toh akhirnya masalah ini tenggelam atau terlewati secara alami? Yang pasti pembahasannya sudah bisu. Mungkin sudah menemukan solusi. Tetapi tugas sastra memang bukan memberi solusi. Maka masalah ini muncul lagi dalam gerakan seni kritik sastra, dan melihatnya dari perspektif seni. Mungkin kau tak pernah memikirkan di grup WA ini ada pembahasan macam ini. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Pengkritik Warungan

Seni kritik sastra lahir guna menjawab kelangkaan kritik sastra di Indonesia. Sebagai disiplin ilmu budaya, bagaimana pun pengkritik karya sastra akan terbatasi gerak kritiknya sesuai teori yang dipakukan oleh ilmuwan seni sastra. Kritik mesti dapat diukur berdasar kaidah yang ketat latar belakang masalah, perumusan masalah, tinjauan pustaka, materi penelitian, metodologi penelitian, penetapan hasil penelitian, analisis dan pengujian, pengambilan kesimpulan, kesimpulan dan saran. Jelas semua mesti mengikuti kaidah ilmiah. Berefek pembahasan menjadi kaku. Unsur imaji disingkirkan guna objektivitas berjarak antara peneliti dan tang diteliti. Semua menjadikan kritik sastra tidak mudah dilakukan oleh siapa pun yang bukan akademisi sastra. Padahal kritik juga dapat dilakukan oleh tukang becak. Kritik yang subjektif ala warung kopi. Kalau kau suka mengopi di warung kopi, kau akan rasakan sensasi keindahannya. Tak takut direndahkan kan, dirimu, menjadi pengkritik warungan. Aku memilih jalan ini, karena sastra bukan cuma milik akademisi sastra. Sastra juga milik penjual kopi yang semok dan bahenol. Si cantik ini berhak melontarkan kritik sastra disertai ayunan jemarinya yang lentik menyeduh kopi untukku pembela seni kritik sastra. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Kritik Sastra Tidak Sekedar Ilmu

Ketika Denny Januar Ali menyiarkan telah menemukan genre puisi baru yang tak kusebutkan namanya karena sudah ada jenis ini dengan nama lain puisi naratif atau prosa liris, banyak sekali pelaku sastra protes, "Sudah ada genre ini sebelumnya, yang kami protes adalah gerakannya yang memakai uang, tetapi kami menerima adanya genre ini." Ini analog dengan perlakuan terhadap yang dilakukan Hudan Hidayat dan aku dengan gerakan seni kritik sastra. Kata mereka, "Sudah ada jenis penulisan kritik sastra secara indah tidak kaku, bahkan penulisannya jauh sebelumnya. Lihat penanggalannya, tahun 1945." Maka otomatis jenis seni kritik sastra bukan barang baru dan tidak pantas disebut dipelopori oleh Hudan Hidayat dan aku. Memang bukan hal baru bila hanya dilihat dari sisi ada penulisan indah untuk kritik sastra, tidak kaku kritik akademis. Untuk bahasan ini aku bisa menerima. Namun itu hanya salah satu pasal alinea dari tulisanku (di sini gaya penulisanku panjang tanpa alinea untuk satu pasal seperti gaya novel Arie MP Tamba "Lorong Pusar Rumah"). Tetapi bagaimana dengan pasal alinea lain? Kami, aku dan Hudan mengangkat derajat kritik sastra tidak sekedar ilmu, tetapi seni. Dari begitu banyak penjelasanku di pasal alinea lain, aku juga terilhami oleh pernyataan Albert Einstein bahwa imajinasi lebih penting dari ilmu. Selebihnya aku tidak mengulang lagi di pasal alinea ini lagi tentang hal itu. Karena sekarang masih dalam rangka semangat bermaaf-maafan Hari Raya Lebaran (lebaran itu ya hari raya) maka mari kita rayakan perbedaan kita dengan makan kupat lontong tahu sayur. Jangan lupa kerupuk kriuk. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Imajinasi Sastra

Tadi kubicarakan tentang air. Kini ikan. Ada Deny manusia ikan, suka kubilang ini, manusia ikan saat kuberbincang di Rumah Sakit Hewan Jakarta lantai 2, dulu selama 7 tahun. Kini kudekat dengan pengarang Lelaki Ikan. Kisah kegilaan yang sebabkan keluarga bantai keluarga sendiri. Ini kritik juga untuk sastra kita yang suka bantai teori nenek moyang dengan teori barat. Hudan Hidayat pengarangnya paham betul masalah universal ini. Homo homini lupus. Manusia adalah pemangsa bagi sesamanya. Bahkan saudara sendiri. Mau bantai kan perlu tidak perlu retorika. Dengan jilatan beracun, awalnya manis, belakangnya ganas. Mungkin tak terasa. Ini politik antar saudara. Siapapun dapat melihat di tempat masing-masing. Mengapa disebut lelaki ikan, terkadang kau tak perlu bertanya pada penulisnya, ikan apa. Seperti kasus website yang sudah kuposting di banyak grup sastra tadi. Kalau masih bertanya, berarti kau tak punya imajinasi. Enyah saja dari dunia sastra. Tekuni saja jurnalistik. Maaf ini tangan besi. Sastra kita telah tumbuh di tangan wartawan. Tetapi mereka juga yang membelenggu sastra. Aku juga wartawan, tapi aku tidak tempatkan kaidah jurnalistik di makom sastra. Hudan tahu betul dunia gila macam ini. Maka ditulisnya 25 cerpen dalam kumpulan cerpen Lelaki Ikannya. Ini penting kawan, agar kau buka jendela. Mungkin di bawah ranjangmu ada ikan. Karena ternyata ranjang itu terlentang di atas kolam. Biasanya orang menulis juga dengan maksud sebaliknya. Jadi semacam gaya bahasa. Hudan bilang pembantaian keluarga oleh keluarga. Tapi ia isyaratkan itu jangan dilakukan. Sebaik apapun motivasimu memperingatkan teman, tetap pelihara imajinasi. Agar kau tidak tergolong orang yang merugi akibat suudzon, bukan khuznuzon. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Imajinasi Seni

Terima kasih Hu, telah kau apresiasi aku orang desa ini. Ndeso sastra, tepatnya sesuai konteks. Desa dianggap bukan sumber kedalaman ilmu dan seni, karena orang-orangnya udik, dan tidak berpendidikan. Itu dulu ya Hu, ketika jalanan masih berbatu. Kini tak. Banyak ahli sastra orang desa. Kita tahulah siapa mereka Hu. Karena desa dan kota tak ada lagi bedanya. Maka di sastra pun begitu. Dalam kedalaman makna perkata yang kau toreh dan bahas sedalam tubir laut itu Hu, maka kudapati bahwa kritik sastra lebih jernih bila kita tidak terpapar virus teori. Oleh karena itu lahir dari hati. Kritik sastra itu. Dan di situlah makna seni hadir mengapung seperti permata yang berat jenisnya kurang dari satu. Artinya kerendahan hatinya telah membuat air rela mengangkatnya tinggi. Air itu asal muasal kehidupan, Hu. Ini dari pandangan Thales, Bapak filsuf dunia kita. Teori hadir karena perjalanan panjang, semestinya teori tidak melupakan sejarah panjangnya sendiri. Terlalu abstraksi dia oleh karena kepongahannya, hanya mengandalkan rumusan-rumusan. Lebih baik ia ikuti Albert Einstein saja, yang setiap hari melamun memegang pensil dan kertas menulis rumus-rumus. Atau dengan kapur dan papan tulis. Tulis saja angka. Bukan huruf dan kata. Begitupun Einstein menjunjung tinggi seni dibanding ilmu. Kalau yang lain tak begitu, biarkan sastrawan nasional seperti Hudan Hidayat yang kenyang asam garam yang merawatnya. Maka tak kusebut lagi pejabat-pejabat institusi sastra yang bertindak seolah-olah hanya mereka yang punya kalung sempritan. Eh sempritannya mana. Itu digondol monyet komidi tandhak bedhes. Hahaha. Prit-prit-prit!!!! Itu si Sarimin meniup peluit. Ia hapal perilaku dan perangai para juragan tembakau. Setuju larangan orang mengisap tembakau di gerejanya. Tetapi dia juragan besar penyuplai perpuluhan dari hasil berdagang tembakau juga. Aku tak ingin begitu Hu. Tetapi kini terpaksa kulakukan tangan besi. Hanya tulisan kritik sastra yang sudah tertoreh seperti polemikmu dengan Taufiq Ismail beredisi-edisi di Jawa Pos yang menarik minatku kini. Biar aku yang hanya beberapa kali menulis kritik sastra kelas dua di media kelas entah dapat belajar menimba air di musim penghujan. Air banyak, tetapi carilah yang dapat diminum. Di sini perlu seni kan? Ayolah, yang lain jangan ragu ya. Kritik sastra itu seni. Dia malah moyangnya seni. Seperti Socrates yang selalu menanyakan segala sesuatu dan mendebat tapi bukan ala kaum sofis. Maka lahirlah puisi yang dirawat anak dan cucu didiknya sampai kini. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Sabun Dewa Kritik Sastra

Tulisanku tentang website lemot tadi kulempar ke banyak sekali grup sastra, dikasih jempol, hati, dan lain-lain, dan di salah satunya ditanya teman kita juga: Website apa? Kujawab begini: dilepaskan dari sebab musababnya saja .... itu sudah jadi karya utuh. Senyawa dengan tips dari Hudan Hidayat bahwa respon kita terhadap postingan kawan (setidaknya di grup WA ini) mestilah tulisan utuh. Eh kubaca respon teman kita yang merespon, katanya ya tidak bisa dan seterusnya. Pendeknya harus dijawab yang terungkap biar tidak dibilang asbun (asal bunyi). Seperti kata beliau itu terhadap tulisanku. Juga tentang hal-hal lain yang kutulis di satu pasal paragraf itu. Tentang plagiat, tentang ini, tentang itu. Beliau meminta penerang kata. Tidak kusebut nama beliau, karena aku orang sopan dan rendah hati. Malah kukasih gambar hati merah. Super. Aku tak akan  membantah. Sekarang energiku akan kucurahkan untuk menyebut nama-nama dewa kritik sastra di Indonesia. Setidaknya mereka yang didewakan oleh masyarakat sastra di kepulauan milik moyangku ini. Tulisan mereka sudah nyata dalam kritik-kritik sastra yang tercetak di media massa. Dan media sosial sejak Facebook bukan lagi ala-ala Friendster. Ayo kalian juga begitu. Kalian gunakan waktu kalian untuk yang bermutu. Hidup ini singkat, keabadian itu panjang. Jangan sia-siakan waktumu untuk yang... Ah. Tak tega aku. Aku bukan orang pintar. Kemarin dibilang tidak tahu paragraf. Tadi dibilang asbun. Baik, para kritikus sastra itu butuh sabun. Agar busanya punya teman. Kira-kira begitu ya pikirmu. Hahaha. Semoga kita baik-baik saja. Setelah tahu ternyata masih ada yang bilang bumi ini datar. Kritik sastra juga datar, katanya. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra