Sekarang aku di dalam warung pasang kuping ada tiga wartawan sedang berbincang. Banyak wartawan sekaligus sastrawan di negeri ini. Di WAG Ruang Sastra, Kongkow Sastra, Partey Penulis Puisi, itu tempat mereka berkumpul. Wartawan sekaligus penyair, atau sastrawan jenis lain. Bahkan ketua komite sastra kota megapolitan yang pernah di WAG Seni Kritik Sastra ini juga kukenal sebagai wartawan di kota pantai berbatas dengan Singapura. Yalah kau tahu, Hasan Aspahani adalah redaktur Batam Pos waktu itu. Puisi-puisiku pernah dimuatnya di koran ini. Kritik puisiku bertema makanan itu pernah dibahas di Newseum Cafe Jakarta dengan pembahas Binhad Nurrohmat dan Pakcik Ahmad, 2009. Pada banyak acara bedah buku sangat sering kudengar ungkapan pisau bedah analisis buku bila tidak tepat akan dapat merusak segalanya. Bahkan dibilang dapat membikin kasihan penulis atau penyairnya. Misal, seharusnya pakai pisau bedah kok pakai kampak. Yalah, kalau itu bedah hewan sungguhan. Kan aku berpengalaman soal ini. Setidaknya pernah. Lalu penerapan untuk sebuah karya seni budaya. Apakah juga demikian? Hudan Hidayat menulis apakah yang kita rasakan saat membaca puisi. Ini juga sebuah kritik sastra. Begitu kita terpaku membahas suatu karya dengan satu metode. Ketika Hudan menulis ini lalu menguraikannya, dengan caranya, sesungguhnya ia sedang membuat kritik sastra. Ini contoh konkret filsafat kontemporer yang secara panjang lebar diuraikan oleh Dedy Riyadi, bahwa kritikus punya kekuasaan mutlak dalam membahas suatu karya sastra sehingga ulasannya menjadi karya sastra sendiri. Ini contoh konkret dari analogi membedah buku puisi dengan pisau analisisnya adalah kapak raksasa. Jangan sebut ini salah atau benar. Bahasan seni bukanlah tentang salah atau benar. Itu urusan agama. Hanya aku pernah salah langkah tidak daftar ulang sebagai mahasiswa jurusan seni murni. Padahal aku diterima di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB 1987 jurusan itu. Aku lulus ujian masuknya. Bila aku teruskan masuk di situ, mungkin akan menjadi seperti kamu yang suka berteori seni sehingga malah menjadikan seni terasa kering karena berdisiplin ilmu. Mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan terutama yang lulus sarjana seni murni. Biarkan aku ikut memurnikan seni murni kritik sastra dengan caraku sendiri. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar