Leon Agusta yang kau tulis, Hu, yang kuingat kumis putihnya saat ia datang di warung tenda Taman Ismail Marzuki. Kalau ia doktrinal seperti kepada tulisanmu itu aku memahami karena zamannya dibuat begitu. Oh maaf Hu, ternyata yang doktrinal kaku kepada tulisanmu yang merdeka adalah Danarto ya Hu. Yang sama-sama suka berpakaian putih saat di TIM. Baiklah, kalau Leon menerjemahkan Pablo Neruda, pasti tak seperti kemeja lengan putihnya. Puisinya yang terjemahan Pablo mungkin kuyakin tak bakal setitis maksud Pablo. Ada ruang antara mereka. Ada perantara pula di situ. Ada lain-lain yang dapat menghubungkannya. Celana dan baju memberi bentuk pada tubuh kita, atau sebaliknya kah, Hu. Sebelum pakaian itu dibentuk, modelnya dari tubuh kita yang dikur oleh penjahit. Penjahit yang baik akan memberi cita rasa padanya. Beda antara Mbak Sri dan Pak Muji. Mbak Sri meski guru ketrampilan menjahit di SMK, ia kurang berseni ketika menjahit pakaian Vitta. Wujud pakaiannya kaku, beda dengan Pak Muji. Meski bukan guru, ia penjahit berpengalaman dari menjahit hingga menjahit. Maka meski rumahnya di pelosok pedalaman Kecamatan Widang Kabupaten Tuban, Vitta tetap mencarinya. Padahal rumah Vitta tetangga loncat dua rumah dengan Mbak Sri. Satu desa mereka di Lamongan dekat Pasar Agrobis Babat. Bukan berarti Vitta tidak sayang Mbak Sri, Hu. Sebagai sesama perempuan mereka punya jiwa wanita. Bukan karena Pak Muji lelaki maka magnit lelaki saling menarik dengan magnit perempuan Vitta. Mereka bermagnit karena jiwa seni Pak Muji berhasil mencipta tubuh Vitta makin cantik. Siapa tak mau baca kritik sastra yang cantik Hu. Tapi ya diingat, lukisan celengnya Djoko Pekik itu tidak secantik lukisan harimau lawan bantengnya Raden Saleh. Sama-sama melukis hewan, tapi Djoko Pekik lebih memberi simbol yang dibutuhkan. Sekaligus tidak polos simbolnya seperti lukisan Raja Jawa Yos Suprapto. Yos mah tidak melukis simbol, Hu. Seperti aku yang kasar menulis seni kritik sastra ini. Terkadang kita terlalu asyik menjadi pragmatis kok. Baiklah kalau begitu tidak apa. Leon Agusta kukatakan juga dia sedang pragmatis ketika menerjemahkan Pablo Neruda. Aji mumpungnya ada lho Hu. Mumpung akses ke sastra dunia hanya terbatas pada kalangan sastra saat itu, dia terjemahkan karya senator Chili itu hanya karena dia penyair. Agar kerenlah. Yang lain kan masih tidur. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar