Senin, 07 April 2025

Kuasa Seni Atas Ilmu Sastra

Sekarang kubongkar tentang bedah novel Lanang yang membantainya dari berbagai pisau analisis ilmu sastra dan jurnalistik pada 2008. Mana mungkin pisau bedah jurnalistik dan bahasa dilakukan untuk memahami seni novel itu. Lha pendekatannya bahasa sebagai ilmu pasti. Kunilai dia lupa tentang unsur sastra dari karya sastra. Dia lebih suka bergincu unsur bahasa untuk menciumi karya sastra. Belepotan. Maka hadirlah tiga pendekar pemilih novelku itu. Yang profesor seni bilang, dalam bahasaku, kita sisihkan dulu problematika bahasa pada karya novel ini. Rasakan denyut nadi kesusastraan mutakhir Indonesia. Apalagi yang dibicarakan kalau bukan wilayah seni. Dan profesor itu Sani, menghormati, melayani, memuja, memenangkannya dalam kancah sastra rezim bahasa yang telah membuat kita seperti robot-robot AI tak berjiwa, seperti katamu sendiri. Seberjiwa-jiwamya robot AI, tetap terasa ketidakberjiwaannya. Sedangkan soal seni yang coba dirumuskan dengan lahirnya fakultas jurusan seni murni, bagiku itu bukan mencoba merumuskan apa seni itu. Kita semacam meraba bentuk seni, sementara kita tak sanggup, tetapi hanya sanggup merasakan dan memuja. Ada ilmu seni. Bahkan studi seni ilmu murni itu juga dilembagakan. Ia hanya upaya untuk melihat bayang-bayang seni. Wujud sempurna seni murni itu, ia ada di sana yang kau sebut dengan ide. Jangan sebut ini ketinggalan zaman, terlalu lama, sementara sudah kau timbuni dia dengan berbagai tumpukan kertas teori demi teori yang tak lebih juga sekedar pengembangan atau perlawanan terhadapnya. Tetap arus utama sebagai akar pemikiranmu itu berpijak padanya. Jujuri saja. Aku sudah jujur kok. Jujur itu pondasi seni. Hudan punya cara sendiri untuk jujur. Kamu juga. Kalau kita sudah jujur, dalam mencari dan melayani, kita sedang berseni. Lihat itu. Seni. Sani. Taklukkan kesombongan ilmumu yang penuh klasifikasi teori para ahli sastra yang membuatmu jadi beo-beo SKS teori seni. Jelas, seni kritik sastra, adalah kuasa seni atas kritik sastra. Kuasa seni atas ilmu sastra. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Berhasil Mengalami Seni

Kau bilang jangan percayai ilmu, itu artinya kamu skeptis terhadap kebenaran rasional sekaligus pengalaman yang jadi dasar kritisisme ilmumu. Kamu skeptis terhadap ilmu. Tapi kamu punya peluang setelah itu, percaya terhadap yang di atas ilmu yang tidak kamu percayai. Katakanlah Tuhan. Sebaliknya kamu juga dapat menjadi tidak percaya kepadanya, yang di atas ilmu itu. Jadi kamu tidak percaya Tuhan. Toh kamu yang percaya atau tidak percaya terhadap yang di atas ilmu itu, kamu dapat merasakan keindahannya. Jangan bilang keindahan bunga dan pemandangan Basoeki Abdullah semata ya. Tapi bisa keindahan tai orang Affandi. Yang pasti tanpa percaya ilmu, kamu bergairah pada adanya sesuatu. Itulah seni. Selamat, kamu berhasil mengalami seni. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Kredo Ilmu di Bawah Kekuasaan Kita, Seni di Atas Kekuasaan Kita

Kuingin bilang tentang asal kata seni yang lain, dari kata Sani dalam bahasa Sansekerta. Artinya pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan, pencarian dengan hormat dan jujur. Kalau sudah begini akan terasa bedanya dengan ilmu. Mana pernah ada pencarian ilmu yang dilandasi dengan diksi-diksi itu. Tolong sebutkan bila sudah kau temukan. Kita sering dengar bahwa dengan seni dunia menjadi indah, dengan ilmu semua menjadi mudah. Kukawinkan dah, dengan seni semua menjadi indah karena ada pemujaan dan penghormatan terhadap apa pun, termasuk terhadap sesuatu yang tak kita ketahui batasnya. Tetapi kita merumuskan dengan abstraksi dan klasifikasi kritis dengan metode ilmiah untuk sebuah kepastian ilmu. Kalau belum ketemu, sementara kita pakai teori ilmiah yang lama. Setelah ketemu, barulah kita pakai yang baru, sembari mencari pembaruan lagi, begitu seterusnya sampai ketahuan semakin berilmu semakin tampak kebodohan kita. Ada yang tak dapat kutaklukkan dengan ilmu dan mau tak mau aku memujanya, menghormatinya, melayaninya, semua dengan rasa jujur. Ya seni, aku tak tahu siapa kamu. Kita tahu karena kita merasa menguasai secara pasti rumusan suatu hal. Kita tidak tahu karena kita berada dalam kekuasaannya yang lebih tahu tentang kita daripada kita sendiri. Dengan ilmu kau bilang aku berpikir maka aku ada. Dengan seni aku bilang aku tak tahu maka aku hormat, melayani, memuja. Ilmu di bawah kekuasaan kita. Seni di atas kekuasaan kita. Itu kredoku. Maka aku yakin, Profesor Filsafat seni tidak sembarangan memilih novelku nomor lima dari 252 novel yang bertarung cari muka. Aku yakin itu termasuk novelmu. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Memenangkan Seni Atas Ilmu pada Kritik Sastra

Aku baru mandi. Juga baru mandi teori-teorimu yang bikin handukku melorot. Kubilang tiruan kenyataan tapi tidak berhenti di situ. Kita sudah tambahkan semua hingga teori terkini yang memenangkan seni atas ilmu pada kritik sastra. Hudan Hidayat pun sudah berikan teorinya tentang di atas ilmu yang paling tinggi adalah seni. Lalu kalian permasalahkan seni rendah dan seni tinggi yang kubilang. Seni adalah seni. Kebenaran dan keindahan adalah satu, maka di sinilah letak ilmu dan seni adalah satu. Tetapi oleh karena kita terlalu pintar sebagai manusia, maka menganggap semua hal sudah kita rumuskan sebagai ilmu. Padahal... Jangankan jagat luas tak terhingga semesta. Jagat celana dalamku yang robek saja aku tak mampu menyelami yang paling terkecil dari benangnya yang lepas dan digondol tikus untuk kehangatan sarangnya di dasar tiang kayu lapuk rumahku yang sudah kutimbun semen. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tentukan Seni Kritik Sastramu

Temanku baru pulang. Ini seni. Seni pulang. Lalu kau katakan kalau begitu semua juga seni. Seni datang. Seni pergi. Seni hidup. Seni mati. Sudah kau jawab sendiri. Tapi katamu, itu juga ilmu. Ilmu makan. Ilmu lompat. Ilmu anu. Jadi katamu. Semua bisa seni. Semua bisa ilmu. Aku pun katakan ini seni ilmu kritik sastra. Karena bagimu kritik sastra itu ilmu. Bukan seni. Aku hanya mau katakan, ketika unsur ilmu lebih dominan daripada unsur seni, jadilah ia ilmu. Lalu ketika unsur seni lebih dominan daripada unsur ilmu, jadilah itu seni. Kau sudah utarakan semua filsafat kontemporer yang memenangkan unsur seni daripada unsur ilmu pada kritik sastra. Ya, katamu, tapi kan bukan seni murni. Aku sedang bicara seni, bukan seni murni atau seni terapan pada kritik sastra. Sangat sederhana, penyebab pertarungan antar juri karena mereka punya jiwa seni kubatasi pada dunia  kritik sastra. Bukan dunia hukum, RT atau perkelahian antar anak TK. Dan filsafat kontemporer yang dijelaskan Deddy Riyadi jelas memenangkan seni pada saat pilihan anggapan adalah seni. Berarti subjektif, katamu, yang subjektif belum tentu seni. Art. Artificial. Tiruan kenyataan. Itulah seni di tahap awal. Lalu kita tambahkan semua yang lain memperkuat kategori seni. Aku tak pisahkan lagi sastra dan filsafat. Semua adalah seni. Apa pun. Kalaupun kau bilang itu ilmu, berarti bagimu seninya rendah. Bagiku sederhana saja. Semua adalah seni. Tinggal masalahnya seninya tinggi atau seninya rendah. Kritik sastra adalah seni. Tinggal tentukan, seni kritik sastramu tinggi, atau rendah. Mungkin punyaku yang kering. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Membuktikan Kritik Sastra Adalah Seni

Aku mau kasih hal sederhana yang membuktikan bahwa kritik sastra adalah seni. Syukurlah dengan pertempuran kecil hari ini aku makin mantap dengan langkahku bersama Hudan Hidayat. Mau kan kukasih tahu keyakinanku itu? Ya, kalian kan sering ikut lomba sastra, menulis puisi, cerpen, novel. Lalu kalian kalah dan marah-marah. Jurinya tidak adil, jurinya KKN, ini bukan lomba tapi arisan! Begitu kata kalian. Ayo benar atau tidak? Nah, kok bisa jurinya berkelahi menentukan siapa juaranya, lalu setelah kalian kalah, kalian pun menawur mereka. Padahal sudah jelas dikatakan, keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Dah, gitu aja. Mana ada ilmu yang dapat dipertengkarkan begitu. Lomba cerdas cermat itu ilmu. Karena pertanyaannya punya jawaban pasti. Lalu kalian bilang kritik sastra itu parameternya ilmu sosial, ilmu budaya, jadi tetap berkaidah ilmu. Bukan seni. Oh, itu mah berarti ilmu budaya kalian berhenti pada eksplorasi yang sampai itu saja. Lalu sesudah berhenti ya berhenti, mati. Aduh, jadi huruf latin aku. Sudahlah, soal selera juri itu tidak muncul dari sekedar penguasaan ilmu budaya mereka, tetapi lebih oleh karena mereka mempunyai rasa, selera, jiwa. Kalau soal jiwa kalian bilang urusannya sudah agama. Kalau rasa? Selera? Nah ilmu apa yang akan kalian pakai? Psikologi? Halo..., psikologi pun itu masih kategori pseudo ilmu. Ilmu palsu. Nah di sini aku masuk, ini wilayah seni. Maka kritik sastra itu wilayah seni. Aku belum bicara filsafat kontemporer soal ini. Lebih baik menunggu Hudan Hidayat menulis kritik sastra yang gaya penulisannya sungguh membuat angan, perasaan, logikaku terus hidup. Ars Longa Vita Brevis. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Debat Tertulis Bukan Lisan

Saya sendiri senang dengan pendapat berbeda. Termasuk dari H.A. Dan saya malah terpacu bahwa kritik sastra adalah seni. Jadi pelan-pelan saya akan keluarkan jurus-jurus saya dalam tulisan-tulisan pendek tanpa spasi ala Arie M.P. Tamba dalam novelnya Lorong Pusar Rumah yang kubeli di Mejabudaya PDS HB Jassin sebelum wafatnya Bang Arie pra-2009. Bagi saya itu juga debat tertulis, bukan debat lisan. Tidak saya sebut debat karena biasanya berkonotasi lisan. Kalaupun tulisan saya masuk kategori debat, saya menulisnya bercitarasa seni, biar sekalian menabung tulisan. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Perjalanan Panjang Pemikiran Demi Pemikiran

Suer aku senang dengan kalian yang punya pendapat berseberangan. Dan aku tak kan debat kalian karena aku sedang berkarya. Kuyakin Hudan juga begitu. Kalian juga begitu kan, maka tulislah di sini pikiran dan perasaan kalian. Anggaplah itu catatan harian. Kumpulkan suatu saat menjadi karya utuh. Punyakmu itu. Mainkan. Ini musik bukan gambang kromong. Tapi boleh kau bilang itu pula. Dulu pun kedokteran dibilang seni. FK Unair zaman Belanda adalah Medical Art. Seni kedokteran, seni pengobatan. Sun Zu juga punya seni perang.Kau bilang itu makna konotatif? Denotatif atau bukan, kami sedang menghidupinya. Hudan Hidayat sudah berperang dengan seni sastranya sedari dulu. Maka ketika aku dan dua Rumpun Jerami lain yang sama berambut panjang buka lapak jualan Padang Bunga Telanjang di Graha Cipta 3 TIM 2003, aku pun beli Keluarga Gila-nya Hudan dengan CWI-nya. Creative Writing Institute. Ini dunia kreatif, hehe, kita sudah sama paham dan menjiwa. Dari Martin pun aku belajar, ini catatan perjalanan panjang pemikiran demi pemikiran manusia. Kata Plato kita kan punya Sema dan Soma. Mana tubuh dan mana jiwa. Pilih sendiri. Dan jiwa pun kita punya sais rasio untuk dua kuda bersayap kita. Satu perjuangan naik ke atas, satu nafsu turun ke bawah. Untung dua hari lalu aku sudah bersama Mahadewa di surga kesatu. Jadi tahu arti mayapada. Dan aku tak akan hanyut di mayapada penuh fatamorgana. Puah! Ini bukan mantra Tardji sang menantu pengusaha obat hewan kita. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Dikotomi Sastra Versus Literasi

Ratusan judul buku lahir di penerbitanku. Aku tak bilang penerbit, tetapi jasa penerbitan. Karena bagi Vitta penerbit itu harus keluar duit untuk menerbitkan buku penulis. Sedangkan pada kami, penulislah yang membiayai penerbitannya. Penerbit Indie, nama bekennya. Paling banyak adalah buku puisi, lalu cerpen. Umumnya karya sastra literasi. Di sinilah muncul pergolakan batinku tentang sastra versus literasi sehingga kutulis esai di Jawa Pos. Lalu jadi perbincangan kami, aku dan Mashuri Alhamdulillah di mimbar Bojonegoro Literary Festival 2019. Lalu belum lama ini di grup WA penulis puisi kuakhiri sendiri Dikotomi sastra versus literasi. Kuanggap kau mengertilah, lebih baik kuselami setiap tulisan mereka dan kalian agar aku semakin kaya. Apalagi modalku untuk kaya selain kaya batin maka kutulis ini. Ini budaya Boeng. Bukan sekedar seni. Kebetulan kita bertajuk Seni Kritik Sastra. Memangnya sastra punyak elo sorangan dhewe. Ini kritikku sedari dulu. Maka saat kami terbitkan sekumpulan puisi Padang Bunga Telanjang 2003 bersama Sihar Ramses Simatupang dan Badri AQT kubikin statement, kembalikan puisi kepada pemiliknya yang sejati. Penyair pun GeEr, merasa pemilik sejati puisi itu mereka. Salah Boeng. Pemilik sejati puisi itu Plato lalu Aristoteles hahaha. Tanpa mereka tak hadir istilah puisi. Lalu kau bawa ke tulisan Mazmur zaman Daud dengan kaidah puisi Yahudi. Aduh, Bung, aku cuma main-main. Ini cuma kritik bercitarasa seni bahwa puisi itu juga milik petani. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Fitrah Sastra dan Filsafat

Vitta sedang berkicau di sebelahku sementara burung walet menunggangi gemuruh kipas angin. Kubilang gemuruh karena dulu pernah begitu, meski kini tak. Masa lalu Hudan Hidayat katakan ditinggalkan oleh yang berenang sendiri. Aku pelajari filsafat ilmu, tidak ada yang sama antar para filsufnya. Bahkan semua filsafat juga begitu. Bahkan tugas filsafat memang itu, untuk memberi ruang pemikiran-pemikiran baru. Yang kreatif. Yang alternatif. Maka ketika gerakan seni kritik sastra ini kami munculkan bersama, sesungguhnyalah ia sedang mewujudkan fitrah sastra dan filsafat, filsafat dan sastranya sendiri. Vitta masih mengoceh sementara perutku berkokok memanggil terang bulan atau martabak manis yang kami beli tadi malam. Ini seni kritik sastra bukan hendak menjadi pengganti HB Jassin yang tidak pernah ada penggantinya meskipun seribu kritikus muncul. Seperti Galileo bilang, seribu Plato dan seribu Aristoteles tidak mungkin dapat memecahkan misteri alam semesta, maka eksplorasilah ia. Kami juga begitu. Hudan seniorku di sastra, 5 tahunan lebih tua dariku. Aku sendiri sejak dulu menulis di media sosial dan menjadi buku. Ilmu gratis kubagi karena aku pun mendapatkannya gratis. Cuma besok kalau jadi buku maka urusannya dengan buku. Kritik sastra dapat seperti itu. Ia akan bersifat itu karena ia sedang mengeksplorasi alam semesta dengan berbagai kemungkinan, kreativitas, alternatif demi alternatif. Kita bukan tukang batu yang harus memakai batu untuk membangun rumah baru. Kita dapat memakai batu. Bata itu batukah? Aku tidak hendak jadi kaum sofis yang membedakan kuda dengan kuda hitam demi sebuah kemenangan debat kusir. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Dikotomi yang Sudah Runtuh

Aku sering mencari jalan pintas untuk sebuah pengertian, dengan jawaban ya atau tidak, benar atau salah. Pendidikanku memang begitu, sedari ada kertas THB, Tes Hasil Belajar, waktu aku SD. Juga pilihan tunggal, atau pilihan berganda. Maka pola pikirku masih saja begitu sampai aku 56 tahun ini. Bahkan untuk sebuah ilmu budaya pun aku masih suka berhitung matematika. Satu ditambah satu sama dengan dua. Padahal filsafat barat klasik dengan dikotominya sudah runtuh, dengan adanya perantara di antaranya yang juga ada. Masih saja pikiranku sesuatu ada tidak bisa bersamaan dengan tidak ada. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya yang tidak bisa berenang. Maka gaya batulah aku, ketika Putin dan PM Jepang konon sudah naik sepeda motor terbang. Semoga berita mereka begitu itu hoaks. Sehingga aku bisa berkata, aku secerdas petugas dinas pendidikan yang dulu bernama dinas P dan K. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Seni untuk Mengkritik Karya Seni

Dulu saya sering menjadi juri lomba baca puisi. Di situ ada kriteria penilaian. Penjiwaan, pengucapan, penampilan. Seperti kata Galileo Galilei semua hal dapat diangkakan. Maka penilaian diberikan dengan angka demi angka berdasar kriteria. Pada akhir penilaian untuk menentukan juara, juri memaparkan penilaian umum berdasar kriteria. Disampaikanlah kritik dan masukan. Maka jadilah, kritik pun berlaku. Saat ini saya menulis proses kritik itu dalam tulisan gaya saya. Ini kusebut seni. Kritik yang kulakukan sudah menjadi seni. Ada banyak cara untuk berkesenian. Sesungguhnya saat mengkritik pun ada cara yang berseni. Seni itu ibarat ada 1000 dokter berarti ada 1000 diagnosis untuk suatu penyakit. Penyakitnya sama, tetapi diagnosisnya dapat bermacam-macam. Pemeriksaan kesehatan oleh dokter juga sebuah seni. Apalagi kritik terhadap karya seni. Bukankah yang kita maksud dengan sastra adalah sebuah seni? Mengapa tidak mau memakai seni untuk mengkritik sebuah karya seni? (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Kritik dengan Cara Sastra

Seorang penulis puisi mengamuk akibat puisinya disebut jelek. Wajar, kritik sehalus apa pun tetaplah kritik dan sesungguhnya menyakitkan. Kritik terhadap karya sastranya pun terasa sebagai perlakuan yang tidak sastrawi meski dilakukan di ruang sastra. Dengan menghidupkan seni kritik sastra sesungguhnya kita sedang menghidupkan seni bagi yang dikritik sekaligus seni yang mengkritik. Sekaligus kita menghidupkan budaya tulis yang sekarang tenggelam oleh budaya lisan meski secara fisik tertulis di layar grup WA. Ini sekaligus tabungan kita menghasilkan karya, alih-alih menguar budaya lisan yang terlalu hiruk pikuk di era post truth saat ini. Yang terlalu sering berbicara seolah-olah pemilik kebenaran. Kita dapat memilih langkah kita sendiri dengan memberikan kritik secara tertulis untuk membangun seni sastra kita sendiri. Mari tuliskan kritik-kritik kita terhadap karya-karya sastra siapapun itu, dan fenomena kesusastraan umum, dengan cara sastra kita. Mari bangun kepribadian kita yang lebih berbudaya dan bercitarasa seni. Hal ini secara rasio dan pengalaman akan lebih berguna. Dan membuat kita semakin cinta pada proses yang telah dan akan terus kita jalani. (YR)

Artikel Terkait: Seni Kritik Sastra

Kritik Sebagai Seni Tersendiri

Filsafat kritisisme Imanuel Kant menjembatani rasionalisme Rene Decartes dan empirisme David Hume, pada abad pencerahan abad 18 dan 19. Bahwa bukan hanya rasio dan bukan hanya pengalaman yang dapat dipakai sebagai alat mendapatkan kebenaran. Kritik sastra tentu juga kritis terhadap sastra yang masuk ranah seni. Tetapi selama ini kritik sastra sering kering sebagai ilmu, berbeda dengan seni. Memang ada lomba kritik sastra, tetapi kemunculannya lebih sebagai pendukung munculnya karya seni bermutu daripada kritik sebagai seni tersendiri. Bagaimana menjembatani kutub-kutub ini? Amanlah kita yang pelaku seni sastra yang dapat berekspresi menuangkan kritik sebagai suatu seni tersendiri. Pernah saya coba lakukan saat mengkritik karya-karya sastra yang dibacakan pada acara Lampion Sastra Dewan Kesenian Jakarta sekitar 2004. Ternyata asyik, narasi kritik itu selayaknya cerita tersendiri, prosa ataupun puisi. Maka kritik sastra menemukan jalan seninya. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tulisan Lisan yang Panjang

Vitta mengaku terheran-heran membaca tulisan di grup ini yang panjang-panjang saling bersahutan. Ini media hebat, katanya. "Mas Yo bersamaku beli teh jumbo," kata Vitta seraya mengucap, "Seperti di grup ini. Banyak ilmu kudapat." "Mas Yo memang begitu, suka belajar filsafat sendiri. Saya baca tulisannya dengan teman-temannya di grup seni kritik sastra ini," kata Vitta seraya menambahkan, "sehingga saya tahu tentang Hudan Hidayat dan teman-temannya yang lain." Vitta sedang makan bakso granat sebesar granat tidak jauh dari tempat Fathur Rohman yang pernah menulis di sini. Baru pertama kali dijumpainya grup semacam ini. Grup pembela budaya menulis bukan budaya lisan. "Meski tulisan Mas Yo dapat pula disebut sebagai tulisan lisan yang panjang," kilahnya sambil mengunyah granat. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Sastra Tidak Sempit

Mengalir kok Senior Hu, aku menulisnya, jadi seakan tanpa teori. Teoriku sebetulnya banyak sekali, mulai dari teori ayam mencari makan sampai babi kuda disuntik mati. Tapi aku lupa semua caranya, hanya kuambil saripatinya untukku menulis ketika harus menulis dengan isi hati. Terlalu oon aku bila harus persis nama-nama sel-sel dan jaringan sehat serta sel-sel dan jaringan sakit. Teorinya ada di ilmu jaringan sehat dan sakit. Histologi dan histopatologi. Kalau hafal ya aku akan jadi dosen. Aku yakin temanku yang pintar juga sudah lupa semua. Namun aku yakin ada strukturalisme untuk semua hal itu. Maka kupakai hal itu untuk menulis. Dunia berbeda kutub secara ekstrim kulakoni, maka kalau aku menulis sastra termasuk seni kritik sastra, ya semua keluar begitu saja. Sangat asyik Hu, cara ini. Ini bukan kebenaran aksioma Hu. Tapi ini yang kumiliki. Lalu terceliklah mata batinku ternyata yang ilmunya linier sastra  atau bidang yang digeluti tak berjauhan dan kurang variatif, maka mereka akan punya cara pandang  versi mereka sendiri yang macam itu. Hanya ini yang kubilang, seni sastra itu kan dunia budaya, mengapa begitu diperlakukan sekaku itu. Pakai kaidah jurnalistik lagi. Jurnalistik dan sastra jelas beda. Adanya jurnalistik sastrawi itu bukan solusi, karena itu perkawinan semu bila yang ditunjukkan wujudnya seperti itu. Sastra tak sesempit pandangan mereka. Aliran sastra saja yang kubikin konten tempo hari ada 12. Itu yang dapat ditandai. Firman atau Kata Tuhan itu kan sastra, Hu, seperti katamu. Dunia roh dari Firman itu lebih heboh dalam senyap. Maka ada doa yang tak terucap. Lalu dipermiskin dengan mantra Sutardji Calzoum Bachri. Miskin amat, mantra dibikin seperti itu. Orang berbahasa Roh ya gagap kalau akhirnya harus berpura-pura menyebut kata-kata tertulis di buku-buku Tardji yang belakangan berkredo lain lagi. Terlalu luaslah bahasa Roh itu. Mantra itu hanya secuil upil. Sastra kok dikerdilkan dengan aturan-aturan seperti pasang kateter untuk orang tua jompo. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Seni Kritik Sastra Produk Budaya

Hudan Hidayat, polemikmu dengan Taufiq Ismail 20 tahunan lalu (2007) dikomentari seseorang di blogspot sebagai pertarungan orang tua melawan orang muda. Kamu yang disebut muda itu, Hu. Yang tua takut norma dilibas, yang muda semangat dengan pembaruan.  Lalu kedua-duanya dibilang emosional sehingga tidak saling apresiasi. Taufiq tidak mengapresiasi tulisanmu, Hu. Aku baru makan nasi pecel bungkus daun jati, maka segar pikiranku menulis hal itu kini. Masa kamu sekarang masih muda Hu. Masa kamu masih emosional seperti Taufiq yang saat itu dibilang tua. Tidak Hu, tulisan-tulisanmu kini tenang air menyelami air. Kau air yang menjadi air. Hanya lelaki ikan yang mampu berbuat demikian. Absurd sekali rasanya polemik itu saat ini. Sudah lewat ya kasusnya. Semua sudah kembali ke air. Seperti semua berasal air. Seperti, kataku. Karena hanya Thales yang bilang asal muasal semua adalah air. Maka ketika tulisanmu disorot membandingkan kitab suci yang memuat Adam dan Hawa yang telanjang dengan tulisanmu yang dianggap Taufiq porno, banyak yang alergi. Kitab suci kok dibandingkan fiksi. Ah kasusmu mirip Rocky Gerung yang bilang kitab suci itu fiksi. Untung kalian punya Agil Siradj yang memposisikan agama dan budaya secara manis. Kini antar budaya sendiri dalam sastra orang juga berselisih paham. Maksudku soal kritik sastra ini. Bagiku bagaimana pun ia produk budaya. Seni itu juga produk budaya. Ilmu juga produk budaya. Mengapa aku memilih seni untuk kritik sastra Hu? Bukankah dengan demikian aku menjadikan penulisnya hanya sebagai seniman? Dan seniman itu sempit dunianya dibanding budaya. Tidak Hu. Karena yang dihasilkan kritik sastra adalah tulisan. Maka seni kritik sastra wajar sebagai sebuah seni. Pelakunya seniman sepertimu. Hasilnya karya seni dengan segala dimensinya. Sayang sekali sudah tua 20 tahun lalu, Taufiq saat itu berpendekatan non seni ya Hu pada karya-karyamu. Pendekatannya moral dan agama. Budaya? Bisa jadi. Tapi budayanya siapa. Toh kita tahu budaya Taufiq adalah baca puisi sambil menangis. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra