Sabtu, 05 April 2025

Bukan Penadah Teori

Selalu mengingat masa lalu menjadikanku tua. Selalu menatap masa depan menjadikanku selalu muda. Tak lagi saatnya mengingat masa laluku dalam bersastra karena itu. Kini masa depanku yang kupikirkan. Salah satunya bergerak dalam seni kritik sastra bersama Hudan Hidayat. Ini langkah utopis, bisa disebut demikian. Fatamorgana, bisa disebut demikian. Karena kami pelaku sastra saja, tak punya kedudukan apa-apa dalam dunia akademik Sementara kurikulum pendidikan dan teori sudah mengokoh bahwa kritik sastra termasuk ilmu. Semua yang bersifat kritik akan berdasar ilmu. Ya tetapi bagiku ia hanya bagian dari seni. Seorang pelukis akan menggambar sesuai tuntunan keterampilan menggores kuas pada kanvas, membuat bentuk, menggambar bayang-bayang, mewarnainya, itu ada tekniknya. Maka dapat disebut ilmu melukis atau menggambar. Ketika unsur lain dilakukan, mewakili ekspresi, impresi, abstraksi, jiwanyalah yang bermain. Di situlah seni berkuasa. Tak mungkin seorang pelukis disamai oleh pelukis lain, saudara kembar sekalipun. Maka hasil lukisannya disebut sebagai karya seni lukis. Kemudian ada pengkritiknya. Memakai kerangka berpikir yang sama, maka ada ilmu di saat kritik dijalankan. Tetapi seni pun berkuasa atasnya, karena tidak satupun seorang kritikus dapat disamai dengan kritikus lain. Di sinilah aku menawarkan bersama Hudan Hidayat, mengapa kalian tak mengeksplor tentang seni ini lebih liar. Kalian lebih suka memakai teori yang sudah terbentuk secara konvensional oleh para ahli sastra. Tetapi kami tidak. Hanya itu bedanya. Kami lihat peluang untuk mengubah kurikulum itu tidak ada. Kami harus berhadapan dengan semua profesor sastra, semua dosen, semua kritikus. Apa pun yang terjadi, yang kami lakukan terus menulis tentang kritik sastra dengan berbagai eksplorasi seninya. Kami tidak mau menjadi penadah teori yang akhirnya menunjuk jari kepada kita, "Kita kekurangan kritikus sastra. Semua lebih suka menjadi produsen karya sastra daripada produsen kritik sastra." Kami melakukan keduanya sekaligus. Jangan pandang kata produsen dari sudut pandang ekonomi bisnis ya. Dasar matrek. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Logika Sebab Akibat

 "If you want to change the world, pick up your pen and write" (Martin Luther) Tulisan Bapak kita ini dikutip seorang waka kurikulum sebuah sekolah. Dia yang saudara sepupu kita mungkin tak berpikir siapa penulisnya. Hanya isi tulisan Bapak kita ini bagus. Puji Tuhan. Demikian tulisku di grup WA alumni persekutuan doaku waktu di kampus. Tetapi ini dibantah oleh seorang alumni yang pendeta. Menurutnya itu bukan tulisan bapak reformasi Kristen, tetapi tulisan Martin Luther King Jr, seorang pendeta Baptist Amerika yg menjadi salah satu tokoh gerakan kesetaraan orang kulit hitam.. Aku pun kirim link-link keberadaan quotes itu yang menghubungkannya dengan sang bapak reformator. Eh ada link yang isinya menyebut sumber dari bapak reformasi tidak jelas. Lalu kukatakan bahwa tak perlu memperpanjang masalah quotes Bapak Martin Luther, yang kita sama-sama tidak tahu. Kita baca puisinya saja: wow beliau penyair. Judul puisinya yang kukirim: In Peace and Joy I Now Depart. Dengan 96 dalil beliau, semua berupa tulisan. Terlepas quotes tadi milik beliau atau bukan, Martin Luther memang betul telah mengubah dunia dengan tulisannya yang ternyata sangat banyak termasuk puisi-puisinya. Maka saya jadi paham, kataku, mengapa Dik Dwi Cilacap alumni UK3 rajin menulis puisi di Kompasiana dan buku. Kemudian kukirim link wikipedia di mana Martin Luther King Jr di Wiki ini tidak tercatat tulisannya seperti apa, meski ia jago orasi. Sedangkan Martin Luther Bapak Reformasi sangat banyak tulisannya. Aku dan Hudan Hidayat sedang merawat tulisan dengan seni kritik sastra. Maka data semacam ini sebetulnya perlu, dengan sedikit logika awam. Seorang menganjurkan rajin menulis, tentu dia sendiri harusnya juga rajin menulis. Seorang menganjurkan kritik sastra adalah seni, maka sewajarnya dia juga punya jam terbang seni dalam kritik sastra, apalagi sastra yang dikritiknya. Maka wajar Hudan Hidayat mengungkap data tentang kami. Wajar menurutku. Tak berlebihan. Kami sedang berjuang. Mohon doa restunya. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra