Jumat, 04 April 2025

Kritik Sastra Tidak Sekedar Ilmu

Ketika Denny Januar Ali menyiarkan telah menemukan genre puisi baru yang tak kusebutkan namanya karena sudah ada jenis ini dengan nama lain puisi naratif atau prosa liris, banyak sekali pelaku sastra protes, "Sudah ada genre ini sebelumnya, yang kami protes adalah gerakannya yang memakai uang, tetapi kami menerima adanya genre ini." Ini analog dengan perlakuan terhadap yang dilakukan Hudan Hidayat dan aku dengan gerakan seni kritik sastra. Kata mereka, "Sudah ada jenis penulisan kritik sastra secara indah tidak kaku, bahkan penulisannya jauh sebelumnya. Lihat penanggalannya, tahun 1945." Maka otomatis jenis seni kritik sastra bukan barang baru dan tidak pantas disebut dipelopori oleh Hudan Hidayat dan aku. Memang bukan hal baru bila hanya dilihat dari sisi ada penulisan indah untuk kritik sastra, tidak kaku kritik akademis. Untuk bahasan ini aku bisa menerima. Namun itu hanya salah satu pasal alinea dari tulisanku (di sini gaya penulisanku panjang tanpa alinea untuk satu pasal seperti gaya novel Arie MP Tamba "Lorong Pusar Rumah"). Tetapi bagaimana dengan pasal alinea lain? Kami, aku dan Hudan mengangkat derajat kritik sastra tidak sekedar ilmu, tetapi seni. Dari begitu banyak penjelasanku di pasal alinea lain, aku juga terilhami oleh pernyataan Albert Einstein bahwa imajinasi lebih penting dari ilmu. Selebihnya aku tidak mengulang lagi di pasal alinea ini lagi tentang hal itu. Karena sekarang masih dalam rangka semangat bermaaf-maafan Hari Raya Lebaran (lebaran itu ya hari raya) maka mari kita rayakan perbedaan kita dengan makan kupat lontong tahu sayur. Jangan lupa kerupuk kriuk. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: