Pinggangku terasa pinggang perempuan tua menggendong kayu bakar, membungkuk berjalan tersuruk, setelah tidur cuma tiga jam. Kutulis ini di atas ranjang, mainku dengan hape saja, sambil kaki terangkat menyilang lutut. Masih kubaca Hudan Hidayat dan Taufiq Ismail 20 tahunan silam. Drh. Taufiq masihlah orang yang beriringan denganku di belakang perpustakaan Jakarta menuju PDS HB Jassin. Seumur-umur aku berbincang singkat dengan senior hebat ini. Kini kuakrab dengan lawan polemiknya yang lebih hebat, Drs. Hubungan Internasional Hudan Hidayat. Mereka berbeda latar akademis, tetapi waktu itu sama-sama menyoal selangkangan perempuan. Yang satu jijik yang satu menjiwai tidak sekedar tatap mata. Meski mungkin yang bertaburan cuma tanda-tanda kehadiran di lapis kedua. Tetap drh. Taufiq sudah membiadabkan Drs. Hudan dengan segala label dan saran uji moral di depan pembaca RT sampai provinsi, katakanlah begitu. Sekilas drh. Taufiq mendukung feminisme lama yang menyuarakan kesetaraan perempuan dan lelaki dari fungsi sosial dan individu kodrati dengan batasan-batasan. Sedangkan Drs. Hudan pendukung feminisme Julia Kristeva yang menolak pandangan feminisme lama itu, tetapi feminisme perempuan dalam bahasa merdeka menyimbolkan kemerdekaan perempuan dalam hidup sebagai makhluk utuh. Tak berdikotomi tugas sosial dan individu kodrati berbeda dengan lelaki meski ada kesetaraan gender yang terbatas. Jelas Drs. Hudan memperjuangkan kehadiran manusia seutuhnya. Meski hadir di taman firdaus sebagai Adam dan Hawa telanjang, yang dipersoalkan bukan norma ala drh. Taufiq. Dalam konteks ini terasalah bacaan mereka berbeda. Tetapi tanpa bacaan pun kalau jiwa internal sejujur gunung Batur, akan tetap hadir juga di tanah Jawa. Jawa itu kebenaran Sama-sama benarnya sesuai zamannya toh akhirnya masalah ini tenggelam atau terlewati secara alami? Yang pasti pembahasannya sudah bisu. Mungkin sudah menemukan solusi. Tetapi tugas sastra memang bukan memberi solusi. Maka masalah ini muncul lagi dalam gerakan seni kritik sastra, dan melihatnya dari perspektif seni. Mungkin kau tak pernah memikirkan di grup WA ini ada pembahasan macam ini. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar