Kamis, 03 April 2025

Menarik Ilmu Kritik Sastra ke Sastra

Terima kasih Bunda Yeyen. Ini sangat keren. Menarik ilmu apa pun ke ranah sastra. Dilakukan oleh banyak orang dari masa ke masa. Kini Hudan Hidayat menarik ilmu kritik sastra ke sastra itu sendiri. Wow superkeren. Bukan sekedar ilmu yang memutari sastra, tetapi ia sastra, seni sendiri. Dulu waktu Prof. Apsanti yang guru besar sastra Prancis Universitas Indonesia memberi blurb pada novelku, beliau menyambut gembira ada langkah menarik dunia kedokteran hewan ke sastra. Yang saat itu jarang. Bahkan nyaris tiada. Demikian juga saat bedah buku Rahmat Ali yang kuterbitkan, yang menarik dunia marinir ke sastra. Tematik. Kita butuh tema-tema yang kaya untuk sastra kita. Kini apakah upaya Hudan Hidayat menarik ilmu kritik sastra menjadi seni sastra dapat disebut juga sebagai hal tematik juga? Terlepas dari perbedaan di antara teman-teman di grup WA ini, yang peru digarisbawahi adalah pernyataan Bunda Yeyen itu, menghidupi dan menghidupkan sastra. Persis yang dilakukan Hudan Hidayat sepanjang umurnya, dia bertaruh hidup untuk menghidupi dan menghidupkan sastra dengan tulisan-tulisan sastranya. Dia tidak main-main. Maka dia sterilkan diri dari sosiologi sastra di luar intrinsik sastra. Aku tak mampu seperti itu, tetapi selalu tarik ulur tentang hal ini. Tetapi Hudan? Kita amati sendiri semua tulisannya. Ia menusuk tajam dengan jarum suntiknya untuk menjangkau unsur piko, lebih kecil dari nano, apalagi inti atom, apalagi atom. Apalagi sel. Dan Bunda Yeyen dengan cantik mengungkap pemahaman Bunda tentang langkah Hudan ini. Alhamdulillah! (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra


DNA Kritik Sastra

Bunda Yeyen, aku tidak melawan gerakan Denny Januar Ali tentang politik uang dalam relasi kuasa terhadap puisinya. Aku memilih tidak menyebut nama jenis puisinya itu. Itu jelas sudah ada sebelumnya. Memang tulisanku banyak menyinggung sosiologi sastra. Itu sebagai penerang jalan hubungan sastra dengan dunia lainnya. Tetapi soal sastranya sendiri aku tidak akan lari dari filsafat adanya, eksistensinya, kebenarannya. Hal-hal ini hanya dapat dilihat secara fenomena pada subjek sastranya. Lalu inderaku melihatnya ia tak seperti yang dimaui jenis puisinya itu sendiri. Meski Djamal D. Rahman membelanya soal catatan kaki, itu tak dapat menampik kenyataan puisi semacam itu sudah ada sebelumnya. Meskipun pasukannya membela dengan berbagai moda, itu tak akan mengereknya lebih dari sekedar hadirnya saat ini. Lebih keren gerakan Hudan Hidayat kan Bunda Yeyen. Kritik sastra tidak pernah hadir sebagai karya seni, selama ini. Ia hanya dianggap sebagai buah pikir ilmu kaum kutu buku. Lha ya kutu kupret gimana dong, masa tidak bisa secara filosofis memaknainya dengan filsafat kutu kupretnya. Gerakan ini sungguh menjawab kelangkaan kritik sastra yang sejak 2000-an kuaktif di Taman Ismail Marzuki dan PDS HB Jassin selalu dibilang kita kekurangan kritik sastra. Lha standarnya ditembok sendiri, Bunda Yeyen. Kini ditawarkan ia adalah seni, malah semua gamang. Padahal ini laksana juru selamat. Tak perlu menyelamatkan Indonesia dari relasi kuasa uang untuk melawan Denny Januar Ali dengan puisinya. Bidik pada DNA puisi itu sendiri. Seperti Hudan Hidayat membidik kritik sastra pada DNA-nya: seni. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Kejujuran Hara

Website kami lemot. Tetapi kami sabar. Kritikmu tentang plagiat kuat. Tapi kami tawakal. Kita bukan plagiat dalam arti itu. Kita dapat ilmu dari semesta. Ia ibu kita. Bahkan panteisme menganggapnya Tuhan. Mahamurahlah ia. Mahakasihlah ia. Kutulis ia huruf kecil. Ini dalam arti luas. Takkan tanda besar-kecil mencederai kasihnya. Bahkan kebesarannya. Dia pun rela jadi manusia debu hara. Dia tahu siapa pencuri kemuliaannya. Palsukan kuasanya. Kini kita anak mereka. Saat palsukan, anak setan. Saat jujur anak Tuhan. Benarkah semua anak setan tidak jujur? Benarkah semua anak Tuhan bukan pendusta? Ini bukan soal kita siapa. Karena kita cuma makan buah kuldi. Buah hati. Celikkan mata tahu kekekalan dusta. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra