Tulisanku tentang website lemot tadi kulempar ke banyak sekali grup sastra, dikasih jempol, hati, dan lain-lain, dan di salah satunya ditanya teman kita juga: Website apa? Kujawab begini: dilepaskan dari sebab musababnya saja .... itu sudah jadi karya utuh. Senyawa dengan tips dari Hudan Hidayat bahwa respon kita terhadap postingan kawan (setidaknya di grup WA ini) mestilah tulisan utuh. Eh kubaca respon teman kita yang merespon, katanya ya tidak bisa dan seterusnya. Pendeknya harus dijawab yang terungkap biar tidak dibilang asbun (asal bunyi). Seperti kata beliau itu terhadap tulisanku. Juga tentang hal-hal lain yang kutulis di satu pasal paragraf itu. Tentang plagiat, tentang ini, tentang itu. Beliau meminta penerang kata. Tidak kusebut nama beliau, karena aku orang sopan dan rendah hati. Malah kukasih gambar hati merah. Super. Aku tak akan membantah. Sekarang energiku akan kucurahkan untuk menyebut nama-nama dewa kritik sastra di Indonesia. Setidaknya mereka yang didewakan oleh masyarakat sastra di kepulauan milik moyangku ini. Tulisan mereka sudah nyata dalam kritik-kritik sastra yang tercetak di media massa. Dan media sosial sejak Facebook bukan lagi ala-ala Friendster. Ayo kalian juga begitu. Kalian gunakan waktu kalian untuk yang bermutu. Hidup ini singkat, keabadian itu panjang. Jangan sia-siakan waktumu untuk yang... Ah. Tak tega aku. Aku bukan orang pintar. Kemarin dibilang tidak tahu paragraf. Tadi dibilang asbun. Baik, para kritikus sastra itu butuh sabun. Agar busanya punya teman. Kira-kira begitu ya pikirmu. Hahaha. Semoga kita baik-baik saja. Setelah tahu ternyata masih ada yang bilang bumi ini datar. Kritik sastra juga datar, katanya. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar