Aku menulis ini di depan warung makan sambil menunggu temanku datang. Caraku membuat bahasan seni kritik sastra memang berbeda dengan cara Hudan Hidayat. Aku mengalir seperti sungai dari bukit Sion ke lembah Hermon. Dedy Riyadi paham itu. Bagiku itu seni. Bahkan cara menulis novel-novelku juga demikian, di antaranya. Aku tak mau memotong tulisan-tulisanku menjadi rapi berekonomi kata seperti kata Ezra Pound dalam membuat puisi, seperti yang Hudan tulis. Maka kalau buku kami berdua jadi, demikian juga. Semoga jadi. Lagipula aku tak peduli ini puisi atau prosa atau dibilang non sastra sekalipun. Bagiku ini seni, yang boleh jadi belum dirumuskan oleh para hakim sastra guna memudahkan klasifikasi. Martin Aleida pernah bilang di Mejabudaya tentang emosi yang terpelihara dalam tulisan yang ditulis secara langsung. Apakah tulisanku ini seni kritik sastra. kujawab ya. Sebagai kritik sastra ia membicarakan tentang karya sastra yang pasti kan kau temui di halaman-halaman berikutnya. Bukuku Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro pernah jadi nominasi Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur kategori kritik sastra. Nominasi karena pesertanya sedikit. Kalah oleh disertasi doktor fakultas pendidikan bahasa. Menang atas buku lain tentang apa aku lupa.Semua kategori kritik sastra. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar