Baru saja ia baca tulisan Profesor Hudan di Facebook-nya. Cocok dengan batinnya saat di kamar mandi, kakek 56 tahun itu berkata, "Ini kejutan di akhir tulisanku pada buku pertama bersama Profesor Hudan Hidayat tentang Seni Kritik Sastra." Tulisannya bersama Maestro ini tidak diakhiri pada perikop 8 dari pasal 4, tetapi ditambah tiga. Jadi, perikop kesebelas, yaitu ini. Alasannya, ia malu bila hanya mengandalkan ingatan dan intuisinya dalam menulis buku bersama Prof. Hudan. Padahal buku ini harus berkelas. Untuk kewibawaan buku bersama orang berkharisma ini, dia telah memulai dengan dua perikop sebelum perikop ini. Bahwa ia pun membaca tuntas karya-karya pemuncak sastra Indonesia, sebagian yang lain belum ditulisnya sekarang, seperti Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari yang memilih novel Lanangnya menjadi juara, Saman Ayu Utami dan lain sebagainya. Belum dituliskannya karya pemuncak sastra dunia yang dilahapnya sampai kerak. Ia hanya menyebut sekarang sebagian di antaranya, yang menjiwai dirinya sebagai pengarang. Maxim Gorky dengan Ibunda, Leo Tolstoy dengan Anna Karenina, John Steinbeck dengan Amarah, selain buku-buku novel lawas Tom Sawyer, Winnetou, Uncle Tom's Cabin, dan lain sebagainya yang dimakan pikunnya, buku-buku yang jadi menu berangkat tidurnya saat sakit waktu anak kecil diborongkan oleh bapaknya yang agen koran dan majalah, agar ia cepat sembuh. Bentuk bukunya macam-macam, bukan cuma novel berisi hanya kata tetapi juga komik dan cerita bergambar. Tak terbilang betapa banyak buku macam ini yang dibacanya, termasuk Don Xuiqote, Mahabarata, selain majalah-majalah remaja yang memperkenalkannya kepada pengarang Indonesia yang di kemudian hari pernah berfoto bersamanya karena sesama pengarang. Data ini tidak lengkap dan sisanya akan dituliskannya pada buku kedua bebas dari manuver akhir buku kesatu ini. Data-data buku yang disampaikannya kini hanya sebagai sampel dalam sebuah survei untuk menjawab pertanyaan: Apakah kamu sebagai pengarang seni kritik sastra juga membaca buku-buku sastra? Ya, itu sarat mutlak untuk orang yang mengkritik sastra. Bukan cuma HB Jassin, Goenawan Mohamad, Profesor Hudan Hidayat, Nirwan Dewanto, Anton Kurnia, dan para akademisi sastra di lembaga formal pendidikan sastra yang harus baca buku-buku sastra untuk jadi bahan penilaian. Itu wajib hukumnya. Tinggal pendekatan mereka yang berbeda. Kalau mereka memakai jalan ilmu untuk menilai karya sastra, kakek 56 tahun itu bersama Profesor Hudan Hidayat memakai jalan seni, yang lebih agung daripada ilmu. Dengan manuvernya menambah tiga perikop bagian buku yang menjadi porsinya di bab ke-2, ia tutup bagiannya dengan perikop ini, seraya mengucap hal yang sama dengan sabda kawan seperjuangannya: "Mari kita membuat buku kita berwibawa." (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra