Kamis, 10 April 2025

Jalan Seni yang Lebih Agung Daripada Ilmu

Baru saja ia baca tulisan Profesor Hudan di Facebook-nya. Cocok dengan batinnya saat di kamar mandi, kakek 56 tahun itu berkata, "Ini kejutan di akhir tulisanku pada buku pertama bersama Profesor Hudan Hidayat tentang Seni Kritik Sastra." Tulisannya bersama Maestro ini tidak diakhiri pada perikop 8 dari pasal 4, tetapi ditambah tiga. Jadi, perikop kesebelas, yaitu ini. Alasannya, ia malu bila hanya mengandalkan ingatan dan intuisinya dalam menulis buku bersama Prof. Hudan. Padahal buku ini harus berkelas. Untuk kewibawaan buku bersama orang berkharisma ini, dia telah memulai dengan dua perikop sebelum perikop ini. Bahwa ia pun membaca tuntas karya-karya pemuncak sastra Indonesia, sebagian yang lain belum ditulisnya sekarang, seperti Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari yang memilih novel Lanangnya menjadi juara, Saman Ayu Utami dan lain sebagainya. Belum dituliskannya karya pemuncak sastra dunia yang dilahapnya sampai kerak. Ia hanya menyebut sekarang sebagian di antaranya, yang menjiwai dirinya sebagai pengarang. Maxim Gorky dengan Ibunda, Leo Tolstoy dengan Anna Karenina, John Steinbeck dengan Amarah, selain buku-buku novel lawas Tom Sawyer, Winnetou, Uncle Tom's Cabin, dan lain sebagainya yang dimakan pikunnya, buku-buku yang jadi menu berangkat tidurnya saat sakit waktu anak kecil diborongkan oleh bapaknya yang agen koran dan majalah, agar ia cepat sembuh. Bentuk bukunya macam-macam, bukan cuma novel berisi hanya kata tetapi juga komik dan cerita bergambar. Tak terbilang betapa banyak buku macam ini yang dibacanya, termasuk Don Xuiqote, Mahabarata, selain majalah-majalah remaja yang memperkenalkannya kepada pengarang Indonesia yang di kemudian hari pernah berfoto bersamanya karena sesama pengarang. Data ini tidak lengkap dan sisanya akan dituliskannya pada buku kedua bebas dari manuver akhir buku kesatu ini. Data-data buku yang disampaikannya kini hanya sebagai sampel dalam sebuah survei untuk menjawab pertanyaan: Apakah kamu sebagai pengarang seni kritik sastra juga membaca buku-buku sastra? Ya, itu sarat mutlak untuk orang yang mengkritik sastra. Bukan cuma HB Jassin, Goenawan Mohamad,  Profesor Hudan Hidayat, Nirwan Dewanto, Anton Kurnia, dan para akademisi sastra di lembaga formal pendidikan sastra yang harus baca buku-buku sastra untuk jadi bahan penilaian. Itu wajib hukumnya. Tinggal pendekatan mereka yang berbeda. Kalau mereka memakai jalan ilmu untuk menilai karya sastra, kakek 56 tahun itu bersama Profesor Hudan Hidayat memakai jalan seni, yang lebih agung daripada ilmu. Dengan manuvernya menambah tiga perikop bagian buku yang menjadi porsinya di bab ke-2, ia tutup bagiannya dengan perikop ini, seraya mengucap hal yang sama dengan sabda  kawan seperjuangannya: "Mari kita membuat buku kita berwibawa." (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Ilmu Kritik Sastra Tumbang Lagi Oleh Seni Kritik Sastra

Sebetulnya kakek 56 tahun itu belum baca karya sastra yang lain sampai ia menulis perikop ini. Tetapi karena Profesor Hudan Hidayat menulis respon terhadap perikop kesatunya untuk buku kedua mereka, ia menulis juga. Faktor pembaca karya sastra juga punya tempat dalam kritik sastra kontemporer yang menempatkan resepsi sebagai bagian penting dalam seni kritik sastra. Siapa pun pembaca dapat memaknai bacaannya terhadap karya sastra itu secara kaya. Ia tidak membentur-benturkan lagi antara seni dan ilmu, itu sudah lewat dengan buku mereka yang pertama. Malah tadi waktu di kamar mandi yang sumber air penghidupan ia mendapat ide menulis tentang Siti Nurbaya yang seharusnya menjadi tonggak kesusastraan Indonesia malah dikalahkan oleh Salah Asuhan. Ia juga sudah membaca buku ini yang berkisah tentang perjodohan paksa melibatkan tokoh antagonis Datuk Meringgih melawan tokoh protagonis Samsul Bahri dalam cintanya terhadap Siti Nurbaya. Ceritanya tidak bisa vis a vis budaya Indonesia melawan budaya Belanda, sehingga oleh tim penentu hari sastra nasional yang dipilih hari lahirnya sebagai hari penting ini adalah Abdoel Moeis. Kakek 56 tahun yang dulu anak SMP itu ingat tokoh penting tim penentu itu adalah drh. Taufiq Ismail yang sama-sama dokter hewan dengan drh. Marah Roesli pengarang Siti Nurbaya. Alasan tematik kedua buku mereka (Siti Nurbaya vs Salah Asuhan) menjadikan dirinya agak trauma dengan politik sastra Indonesia. Karena ia tahu secara waktu Siti Nurbaya lahir duluan (1922) dibanding Salah Asuhan (1928). Dan dalam sejarah sastra rezim HB Jassin yang penandatangan pertama Manifes Kebudayaan itu, sejarah sastra Indonesia modern selalu dimulai dari novel Siti Nurbaya ini. Ah biar saja, alasan dapat dibuat macam-macam yang kelihatan masuk akal. Hanya karena konfliknya cuma konflik asmara maka Siti Nurbaya masuk kotak. Lagi pula Samsul Bahri menjadi tentara Belanda penumpas perlawanan pribumi, tak ada cerminan nasionalisme sama sekali ya. Berbeda jauh dengan konflik di Salah Asuhan. Jadilah ia paham yang pertama hadir belum tentu yang terbesar. Dalam konteks politik sastra berbasis nasionalisme Siti Nurbaya kalah oleh Salah Asuhan. Begitupun Siti Nurbaya tetap tonggak. Bahwa kakek 56 tahun itu dengan novelnya Lanang masuk salah satu dari 79 novel Indonesia yang terbit sejak novel Siti Nurbaya (1922) hingga 2014 masuk Daftar Judul Buku Rekomendasi untuk Program Subsidi Penerjemahan Frankfurt Book Fair 2015, ia sudah mencicipi ketenaran seperti drh. Marah Roesli. Sebelumnya novel otobiografis "Memang Jodoh" drh. Marah Roesli 2013 didapatkannya dari kiriman drh. Tjiptardjo Pronohartono pemimpin redaksinya di majalah peternakan dan kesehatan hewan di Jakarta. Ketahuan wafatnya pengarang Siti Nurbaya ini tanggalnya sama dengan tanggal kelahiran kakek 56 tahun ini. Selisih setahun persis setelah Marah Roesli wafat, ia lahir. Mistisisme macam apa ini? Yang ia ingat tentang mistisisme hanya Immanuel Kant. Dalam filsafat Immanuel Kant, mutu mistis ditemukan di dalam struktur apriori pikiran serta gagasan kebebasan transendental. Pemikiran ini menjadi dasar kemungkinan pengalaman serta tindakan moral yang melampaui sebab akibat empiris dalam ilmu. Glodak. Ilmu kritik sastra tumbang lagi oleh seni kritik sastra. Kini ia baca beberapa sumber agar tulisannya agak berdata seperti tulisan Profesor Hudan Hidayat. Malu cuma mengandalkan ingatan semata, padahal ia sudah terstigma setengah pikun. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Kritik Tidak Harus Menyerang

Seorang anak SMP libur sekolah. Tetapi perpustakaan kota tidak tutup. Seorang tua rambut putih cepak menunggu di dekat pintu masuk. Ruang  persegi panjang dengan meja luas dijajar. Di situ buku-buku tertumpuk belum ditata ulang di rak. Koleksi buku ada dirak didominasi buku terbitan Balai Pustaka. Di situlah anak SMP itu mengambil buku novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang di kemudian hari hari penting siklus hidupnya dijadikan sebagai Hari Sastra Nasional. Anak SMP itu membaca buku itu di perpustakaan itu sampai tuntas. Kalau hari itu belum rampung, dia melanjutkannya lain hari. Mumpung liburan sekolah. Hatinya menjelma menjadi salah asuhan seperti cerita di dalam novel itu. Tidak ada yang dikritiknya tentang novel itu. Malah dia betul masuk dalam cerita anak inlander yang bergaul dan bertata hidup seperti Sinyo Belanda. Main tenis dengan pakaian olah raga putih-putih pula. Kritiknya terhadap pola pendidikan salah asuh itu tidak dikritiknya? Rasanya tidak. Justru sepertinya ia menyerap kisah itu hingga kehidupannya terpengaruh pola salah asuh pendidikan itu. Saat menulis sketsa kisah ini ia sudah 56 tahun. Banyak hal yang tidak beres dalam hidupnya. Tetap dia tidak mengkritik novel yang dibacanya waktu remaja sekolah bercelana pendek di atas dengkul itu. Apakah dengan menulis ini dia tidak menulis kritik sastra? Kritik tak harus diucapkan. Hanya diam di dekat orang tersayang saja seseorang sudah menyampaikan isi hati. Dia tahu apa arti anti klimaks. Maka pada buku Seni Kritik Sastra pertama yang ditulisnya bersama Hudan Hidayat dia sudahi pada pasal 4 perikop 8. Endingnya pada kata Mahaseni. Itu hal tertinggi. Bila ia menulis lagi maka ketinggian Mahaseni akan meluncur ke bawah. Meluncur ya ke bawah, tahu. Tapi ini majas penegasan. Tapi pula, penegasan tidak harus ditulis verbal. Ia sudah mengkritik tanpa bersuara terhadap buku novel Salah Asuhan. Kritiknya ternyata, "Mengapa aku terlalu menjiwai karya sastra Bapak Kesusastraan Indonesia itu?" Coba pikir, apa ungkapan ini termasuk kritik? Buktinya bukunya Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro yang lebih menceritakan tentang perjalanan sejarah sastra di kotanya juga masuk kategori kritik sastra meski hanya menjadi nominator Anugerah Sastra Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur. Oh tidak, di dalamnya juga ada ulasan tentang karya sastra mereka yang menulis karya sastra itu. Jelas, sebelum lebih jauh menulis tentang kritik ia harus baca lagi lebih dalam pengertian tentang kritik. Yang ia hafal cuma filsafat kritisisme itu identik dengan Immanuel Kant. Dengan mengkritisi dua kubu berseberangan rasionalisme Rene Decartes dan Empirisisme David Hume, Kant sudah melakukan suatu pemikiran kritis. Kritik tidak harus menyerang, tetapi dapat juga mendamaikan dan mencumbui seperti dilakukan oleh Tokoh Persuratan Dunia Numera 2017 Hudan Hidayat. Hanya si bocah SMP yang sudah berumur kakek itu kini sudahi di sini saja dan mau baca lagi agar dia menulis seperti berkendara di jalan tol. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra