Jumat, 04 April 2025

Nafsu Berbalut Sastra

Tadi kulihat Dedy Riyadi menulis di Grup WA Seni Sastra. Tapi ternyata tulisannya tidak muncul. Lalu muncul puisi yang memuat kata alibi dan ranum oleh Umar Tajjudin. Hudan Hidayat pun menulis tantangan kepenulisan yang mengasyikkan. Sementara aku mau tidur karena kurang tidur. Makananku kritik sastra karena tiga bukuku diteliti menjadi puluhan skripsi, tesis dan jurnal ilmiah. Terus kau bilang logika kuantitas dibanding kualitas untuk sebuah kebenaran. Kepalaku berdenyut terlalu banyak minum es teh. Dalam tulisan ilmiah tiga buku itu ada kritik sastra yang bikin penulisnya menjadi sarjana dan magister, dan doktor makin motor. Makanlah itu kalau kau bilang itu kritik sastra yang matang. Mari kita bermain-main seni yang menggoreng nasi kritik sastra tidak kering kerontang nasi karak. Kita mulai dari mana? Terlalu banyak buku kesepian sekarang. Kesepian karena nafsu disebut sastra. Hitung buku puisi yang saban tahun dikirim untuk hari puisi. Pret. Aku juga menerbitkan buku puisi salah seorang pesertanya. Orangnya bukan aku. Dan kalah. Tapi ia punya jalan sendiri. Di Amerika buku puisinya dibahas orang. Meski di dalam kelas. Hanya namanya keren. Seperti university poetry day. Itu buku yang beruntung. Bukan. Penulisnya yang beruntung. Lihat aku tidak bahas instrinsik buku itu. Tapi aku juga belajar ada sosiologi sastra. Aku tidur saja. Setutup mata orang cari peruntungan di dunia literasi dan sastra. Maunya jadi pahlawan sastra. Eh nyatanya lebih suka demonstrasi politik dengan puisi daripada menulis sepertiku. Menulis catatan harian dengan dalih seni kritik sastra. Kalau begitu aku dan mereka sama saja. Mbelgedes. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: