Jumat, 04 April 2025

Bukan Lagi Non Sastra

Hudan Hidayat, jangankan tulisan kita, Hu. Lirik lagu Bob Dylan yang menerima anugerah sastra Nobel 2016 juga membuat pelaku sastra Indonesia meriang. Juga terhadap puisi naratif atau prosa liris Denny Januar Ali tidak kusebut nama pilihannya karena aku tidak bersetuju oleh sebab sudah ada tulisan model begini. Meski dengan berbagai pembelaan yang disebut Umar Tadjuddin sebagai alibi. Jadi aku termasuk juga meriang ya, Hu, terhadap kelahiran gerakan mereka. Hahaha. Karma ya Hu. Maka ketika gerakan seni kritik esai kita lahir, kita pun bikin mereka juga meriang. Tapi aneh mereka tidak meriang dengan novel model autobiografi atau autobiografi sebagai novel Annie Ernaux penerima nobel sastra 2022. Ah Hu, memangnya aku pembawa termometer tubuh orang. Di Mejabudaya 2000-an pernah dibahas Diary Anne Frank juga kok Hu menjadi sastra berkelas dunia. Jadi mengapa kita membahas meriang-meriang model begitu. Dunia kreatif memang tak terbatas. Dan Dedy Riyadi sudah membahas novel Eddy D Iskandar, yang tak pernah dilirik pemuja sastra itu. Biarlah Hu. Maka aku pun tak membahas puisi Sonian Sony Farid Maulana yang pernah membahas kumpulan puisiku bersama Sihar Ramses Simatupang dan Badri AQT di Ultimus Bandung 2004. Apalagi puisi Sugiono Empe yang selalu diduetkan dengan Denny Januar Ali selalu digempur dengan meriang oleh para tidak setujunya. Kita lain sih Hu. Kita tidak lagi ribet soal aliran sastra. Malah kita melampauinya. Mau membuat kritik seni bukan lagi non sastra. Tetapi ia sastra. Bahkan seni. Hahaha. Tentu saja kurikulum akan berubah Hu. Padahal yang kita persoalkan adalah soal hakikat. Dengannya kita melakukan makrifat. Kau Muslim yang taat, Pak Haji. Perkenankan aku yang di luar domainmu menyebut -permisi- dalam konteks Islam, khususnya tasawuf, makrifat merupakan pengetahuan atau pengenalan mendalam tentang Allah SWT. Tidak berhenti di situ, tetapi ada jalannya. Yaitu, pengenalan itu dicapai melalui hati serta pengalaman rohani. Bukan sekedar pengetahuan intelektual. Maka di sini seni berbicara. Aku terlalu sering melihat pegiat partai politik menjadi kalah berpolitik karena kaku sesuai ilmu politik yang mereka pelajari. Kau lihat Joko Widodo, apa dia bukan canggih dalam politik? Itu bukan karena dia menguasai ilmu politik. Dalam hal ilmu ini ada Pratikno. Tetapi seni politik Joko Widodo lebih kampiun. Ini hanya sekedar ilustrasi. Ini pun sudut pandang lain tentang seni kritik sastra, bahwa ia adalah seni. Semoga para meriang tidak terpaku pada ilustrasinya ya Hu. Aku sudah belajar ribuan jam mendengarkan perbincangan ilustrasi kok Hu. Dan dengan jernih aku dapat menangkap esensi. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: