Terima kasih Hu, telah kau apresiasi aku orang desa ini. Ndeso sastra, tepatnya sesuai konteks. Desa dianggap bukan sumber kedalaman ilmu dan seni, karena orang-orangnya udik, dan tidak berpendidikan. Itu dulu ya Hu, ketika jalanan masih berbatu. Kini tak. Banyak ahli sastra orang desa. Kita tahulah siapa mereka Hu. Karena desa dan kota tak ada lagi bedanya. Maka di sastra pun begitu. Dalam kedalaman makna perkata yang kau toreh dan bahas sedalam tubir laut itu Hu, maka kudapati bahwa kritik sastra lebih jernih bila kita tidak terpapar virus teori. Oleh karena itu lahir dari hati. Kritik sastra itu. Dan di situlah makna seni hadir mengapung seperti permata yang berat jenisnya kurang dari satu. Artinya kerendahan hatinya telah membuat air rela mengangkatnya tinggi. Air itu asal muasal kehidupan, Hu. Ini dari pandangan Thales, Bapak filsuf dunia kita. Teori hadir karena perjalanan panjang, semestinya teori tidak melupakan sejarah panjangnya sendiri. Terlalu abstraksi dia oleh karena kepongahannya, hanya mengandalkan rumusan-rumusan. Lebih baik ia ikuti Albert Einstein saja, yang setiap hari melamun memegang pensil dan kertas menulis rumus-rumus. Atau dengan kapur dan papan tulis. Tulis saja angka. Bukan huruf dan kata. Begitupun Einstein menjunjung tinggi seni dibanding ilmu. Kalau yang lain tak begitu, biarkan sastrawan nasional seperti Hudan Hidayat yang kenyang asam garam yang merawatnya. Maka tak kusebut lagi pejabat-pejabat institusi sastra yang bertindak seolah-olah hanya mereka yang punya kalung sempritan. Eh sempritannya mana. Itu digondol monyet komidi tandhak bedhes. Hahaha. Prit-prit-prit!!!! Itu si Sarimin meniup peluit. Ia hapal perilaku dan perangai para juragan tembakau. Setuju larangan orang mengisap tembakau di gerejanya. Tetapi dia juragan besar penyuplai perpuluhan dari hasil berdagang tembakau juga. Aku tak ingin begitu Hu. Tetapi kini terpaksa kulakukan tangan besi. Hanya tulisan kritik sastra yang sudah tertoreh seperti polemikmu dengan Taufiq Ismail beredisi-edisi di Jawa Pos yang menarik minatku kini. Biar aku yang hanya beberapa kali menulis kritik sastra kelas dua di media kelas entah dapat belajar menimba air di musim penghujan. Air banyak, tetapi carilah yang dapat diminum. Di sini perlu seni kan? Ayolah, yang lain jangan ragu ya. Kritik sastra itu seni. Dia malah moyangnya seni. Seperti Socrates yang selalu menanyakan segala sesuatu dan mendebat tapi bukan ala kaum sofis. Maka lahirlah puisi yang dirawat anak dan cucu didiknya sampai kini. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar