2007 akhirnya Hudan Hidayat menulis Nabi Tanpa Wahyu disusul lahir Memo Indonesia di Taman Ismail Marzuki. Keberagaman nilai bebas dari kekuasaan yang membelenggu disuarakan. Tak lama berselang lahir Ode Kampung menyerang TUK karena dominasi sastra oleh satu komunitas. Aku ikut hadir di Rumah Dunia Golagong saat Ode Kampung bikin pernyataan. Lupa aku, ikut tanda tangan atau tidak. Selanjutnya Boemipoetra versus TUK terus hadir hingga Milis Apresiasi Sastra mempertemukan Sitok Srengenge dengan Saut Situmorang di PDS HB Jassin. Hah semua politik sastra. Kini Hudan dan aku juga berpolitik tetapi teks bukan isu gerakan macam itu. Ini gerakan seni kritik sastra, tak perlu lima orang seperti kata drh. Taufiq Ismail. Cukup dua orang saja sudah dapat menjadi gerakan. Dua orang dorong-mendorong saja sudah dapat terjadi duel, gerakan tinju, lempar-lemparan bola. Dan isunya lebih keren. Tidak sekedar tema atau sosiologi sastra. Tetapi menukik pada induk seni atau ilmu. Kalau kau mau jujur, kau pasti merinding akibat kau masuk keheningan berkabut, di baliknya ada Sundelbolong atau Cleopatra. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar