Sejumlah 433 embung tersebar di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Dari jumlah itu, sebanyak 23 embung rusak. Sejumlah 149 tersedimentasi.
Selasa, 08 April 2025
Embung Sumber Air
Memurnikan Kritik Sastra dengan Seni
Memurnikan kritik sastra dengan seni. Membuat hidup sastra sesuai hakikatnya. Sastra seperti pisau, tergantung siapa pemakainya. Untuk kebaikan atau kejahatan. Kritik terhadapnya adalah pendapat penggunaan pisau itu. Keterbatasan ilmu akan membuatnya menghakimi penggunaan pisau sastra itu. Teori-teori terlalu banyak dan semua dapat dipakai sebagai analisis terhadapnya. Oleh karena disiplin ilmu harus dipegang, maka mau tak mau akan muncul perspektif berdasar teori analisis yang dipakai. Itulah mengapa dalam penerapan ilmu selalu terjadi perbedaan antara satu ilmuwan sastra dengan ilmuwan sastra yang lain. Di sini, kritikus sastra adalah ilmuwan sastra itu. Kalaupun ada resepsi sastra, selalu yang dipakai sebagai acuan adalah resepsi oleh orang yang punya legitimasi ilmu sastra. Maka dalam penjurian lomba karya sastra, ilmuwan sastra pun dihadirkan. Kalau mau konsisten bahwa kritik sastra adalah ilmu, seharusnya tidak memberi peluang kepada sastrawan yang bukan ilmuwan sastra untuk menjadi juri. Tetapi nyatanya kan tidak demikian. Sastrawan yang seniman sastra sering jadi juri lomba karya sastra. Bahkan acap semua jurinya pun dari sesama seniman, yang dapat dibilang punya legitimasi nilai seni suatu karya sastra. Well, ilmu atau seni yang dipakai seniman juri macam itu? Selalu dibela bahwa ada kriteria penjurian sesuai dengan kaidah ilmu yang sudah berlaku. Lagipula sebagai seniman pun dapat berasal dari kalangan akademis yang punya legitimasi ilmu. Ilmu pun dapat dimiliki oleh siapa pun, itu yang menjadi pemersatu tolok ukur-tolok ukur. Mentoknya penilaian secara objektif di antara para juri itu, akhirnya menghadirkan voting untuk menentukan siapa pemenangnya. Lalu masuklah argumen masing-masing berdasar imajinasi keindahan yang berbeda-beda. Saya mau ambil analogi praktis. Sifat asli seseorang dapat diketahui ketika ia berada pada kondisi kritis. Pada saat kritis untuk menentukan siapa juara sebuah lomba karya sastra, nyata toh, semua akhirnya diserahkan pada unsur seni setiap juri yang ada. Terjawab sudah. Penjurian karya seni adalah wilayah seni. Setiap ilmu yang dipakai untuk menilai sebuah karya seni, ia tak lebih dari hanya bersifat membantu. Kebetulan alat bantunya sudah terukur. Selebihnya, serahkan kepada seni. Tak mampu lagi, serahkan kepada Mahaseni. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Motivasi Kita Suci Menjawab Kelangkaan Kritik Sastra
Sejak ada teknologi AI, Hu, kujumpai seorang yang sangat rajin membuat lukisan AI dan tulisan AI. Tulisan AI? Ya, aku ragu itu tulisannya sendiri. Lukisan AI saja diakuinya sebagai lukisannya meski ada titel dengan menggunakan AI. Lagi pula aku lihat ia rajin sekali membuat tulisan yang sangat panjang tentang berbagai hal dengan data yang detail. Aku yakin itu tidak terbebas dari dominasi sentuhan AI. Kalaupun kita menulis di grup WA Seni Kritik Sastra ini, memang dibantu AI hanya sebagai pengganti mesin ketik zaman kita membuat artikel tahun 1980-an yang kita kirim ke media massa untuk mendapat honor. Beda dengan tulisan kita yang menggunakannya sebagai mesin ketik, terhadap tulisan dibantu AI macam bukan kita itu, memang komplet dan runtut, tetapi aku merasa ada kurangnya. Seperti makan sajian restoran hotel berbintang lima. Lebih enak masakan istri sendiri, Hu. Aku jadi malas baca tulisan orang yang rajin menulis karena bantuan AI itu. Lebih baik aku membaca sambil mencari artikel terkait di google, itu lebih melatih kecerdasan. Bahkan sejak dari dalam pikiran kita sudah membela kejujuran dan keadilan. Tidak adil dong Hu, saat kita menulis sebegitu mewah ternyata itu semua berkat bantuan AI. Meski banyak pembelaan terhadapnya bahwa untuk minta AI membantu itu juga dibutuhkan kata kunci dari kita sendiri sebagai pembuktian keaslian ide juga dari pikiran kita sendiri. Ah Hu, aku yakin dengan sering kita bahas seni kritik sastra, maka AI juga akan mencuri pikiran kita. Kan tempo hari ada yang memposting titel seni kritik sastra. Hahaha. Gerakan kita sudah menjadi virus nih, Hu. Aku sekarang menulisnya di kamar kecil, kok, Hu, sambil buang hajat. Ya, di mana saja aku menulis di WA HP. Yang paling nyaman memang yang telentang di atas kasur. Bukan terlentang ya Hu. Terima kasih atas koreksi secara tidak langsung darimu. Gerakan seni kritik sastra juga senyawa dengan hal ini. Karena motivasi kita suci. Menjawab kelangkaan kritik sastra oleh karena terlalu dominan nafsu teman-teman kita dikenal sebagai sastrawan. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Imajinasi Seni Tanpa Batas Membuka Berbagai Penafsiran
Kami terjaga dari tidur, Vitta berdoa, aku menulis Hudan. Bukan Hujan menulis Ayam-nya Sutardji Calzoum Bachri. Kutulis bidikan Hudan pada Goenawan Mohamad yang bersama Taufiq Ismail selain banyak lagi, pemrakarsa Manifes Kebudayaan yang disebut Presiden Soekarno sebagai Manifesto Kebudayaan karena bermuatan politik. Ya, jelas, ditulis di Manifes tentang garis politik kebudayaan mereka yang membawa jati diri kebudayaan manusia Indonesia untuk kebaikan manusia Indonesia sendiri, dan jati dirinya adalah Pancasila. Ternyata operasi dari politik kebudayaan yang disebut sebagai seni universal ini telah menggerus nilai-nilai idealisme Plato adanya suatu bentuk sejati pada ide. Secara umum mereka terlalu Aristotelian dalam mewujudkan suatu maksud. Kalau tidak begitu bakal tidak mungkin mewujudkan ide-ide mereka dalam praksis sampai begitu kebablasan. Dua tokoh Manifes Kebudayaan lho yang membayang-bayangi Hudan. Goenawan dalam lawan imajinernya, dan Taufiq dalam lawan polemik nyatanya di Jawa Pos secara beruntun berbalas esai keras. Kau lihat kaliber Hudan di sini kan? Jangan ragukan intuisinya. Yang dapat menjernihkan seni budaya hanya seni budaya sendiri. Lekra yang seni untuk politik revolusioner rakyat telah digerus oleh Manikebu (mani, kerbau, istilah oleh Lekra). Ternyata universalisme seni dalam Manikebu ini telah dipakai oleh mereka membawa politik sendiri, yang ujung-ujungnya membunuh karakter Hudan dengan stigma Sastra selangkangan ditabalkan oleh oknum Taufiq kepada Hudan. Mungkin Hudan kawan Sutardji ya sehingga Sutardji menulis cerpen Hudan Menulis Ayam, eh Hujan Menulis Ayam. Hahaha. Yang pasti langkah Hudanlah yang paling tepat menyucikan kritik sastra adalah dengan membingkainya sebagai seni. Hanya seni yang dapat memurnikan seni. Di luar itu, kepentingan. Ilmu itu sarat kepentingan dengan pembatasan demi pembatasan. Sedang seni, membuka berbagai penafsiran karena dia mempersilakan imajinasi berimajinasi tanpa batas berimajinasi dan berimajinasi. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Yang Mau Membuat Kritik Sastra Sebagai Seni
Biasanya orang menulis dengan segepok tumpukan referensi, lalu kutip sana kutip sini. Menjahit istilahnya. Maka dia menulis seperti menggoreng bakwan dengan irisan wortel, daun kol, tauge, tepung, diaduk, dimasukkan wajan berminyak panas. Repot sekali, tangan pegang ini pegang itu. Itu tidak efektif untuk menulis. Aku tak mau begitu lagi. Tak kuceritakan masa laluku lagi karena aku tak mau menua. Aku tulis masa kini dan mendatang saja. Dengan menulis santai sembari terlentang di atas ranjang aku merasa terbantu grup WA. Di sini ada energi. Aku baru saja menelusuri jejak Goenawan Mohamad yang menjadi lawan imajinasi Hudan Hidayat untuk pemicu tulisan kritik sastranya. Kini diarahkan energinya ke seni. Aku tahu betul Goenawan penandatangan Manifes Kebudayaan. Aku pernah jadi moderatornya di Galeri Nasional saat bedah karya pelukis-pelukis Bumi Tarung yang pejuang Lembaga Kebudayaan Rakyat. Aku sadar betul bidikan Hudan tidak bakal meleset. Goenawan sudah terlalu jauh menyeret dunia seni sastra ke dunia politik. Jadi tak ada yang dapat dipercayai lagi bila orang sudah main politik. Mungkin aku juga bila ketahuan aku baca puisi untuk Pilkada Bojonegoro barusan. Puisiku adalah hasil operasi puisi di bukuku Pertobatan Seorang Golput yang kuterbitkan 2019 saat aku relawan Joko Widodo di Arus Bawah Jokowi. Jadi kalau kau sekarang melihat aku bergandengan tangan dengan Hudan yang apolitis untuk menerbitkan buku Seni Kritik Sastra, kau boleh skeptis. Tetapi aku sudah punya kesepakatan dengan Hudan, buku kami murni seni untuk seni. Di luarnya boleh berpolitik praktis tetapi jangan di grup WA Seni Kritik Sastra. Tidak seperti di grup kami sebelumnya sebagai tamu di situ. Maka kejernihan seni untuk seni menjadi pedoman hidup kami dalam menyusun buku kami. Juga di grup ini. Itu yang tidak diteladankan oleh Goenawan Mohamad yang ujung-ujungnya menjadi Taufiq Ismail kedua. Goenawan menangis menyesal sudah tertipu Joko Widodo. Taufiq menangis setiap baca puisinya. Ah, malu aku sebagai pengagum Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ternyata lawan Lekra adalah orang cengeng. Tetapi menangis kan juga manusiawi. Biar tidak mudah mati. Jadi soal seni kritik sastra juga begitulah. Kalau kau mendukung atau tidak mendukung, kamu boleh saja menangis. Dengan menangis mungkin kamu akan paham betapa seninya seni kritik sastra. Tetapi jangan kaku, yang tidak cengeng seperti Hudan Hidayat pun dapat dengan jernih menilai betapa seninya seni kritik sastra. Kami butuh musuh agar tulisan seni kritik sastra itu hidup. Sudah kusebut dua nama di sini. Sebelumnya aku pernah sebut Sutardji Calzoum Bachri yang kredo seni sastranya kalau boleh kubilang suka berubah. Hehe. Lalu Leon Agusta yang tiru-tiru penyair asing agar kubilang keren. Kau tahulah arti orisinalitas. Maka Hudan tidak suka ada yang menulis tentang plagiat yang maknanya bisa ke mana saja termasuk kami. Coba cari di muka bumi ini, mana ada orang yang mau membuat kritik sastra sebagai seni kecuali kami berdua. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra