Jumat, 04 April 2025

Amplitudo Makrifat

Titiyani Sirep Tidhem. Tepat pukul dua belas malam aku terjaga dari tidur soreku. Langsung kugosok gigi, minum air putih, dan mau kembali tidur. Seharusnya begitu. Karena begitu masuk waktu selanjutnya kita masuk waktu Gandayoni. Saat mimpi sesungguhnya alam bawah sadar yang mewujudkan. Hudan Hidayat dengan penuh kearifan menangkap pesanku oleh karena kematangannya dalam bersastra. Tataran tulisannya sudah melampaui bentuk bermakna, tahap yang dianggap terakhir dalam langkah-langkah seni. Tiruan kenyataan, universalisasi nilai-nilai individu, nilai-nilai ketuhanan-kebenaran dan kebaikan, serta bentuk bermakna itu. Kalau Umar Tadjuddin masih mempersoalkan bentuk, aku menganggap itu bukan mengkritik tulisanku tetapi lebih bagus memang anggota grup WA Seni Kritik Sastra berpendapat apapun dan menulis apapun secara bebas di sini. Agar grup hidup. Sekaligus menunjukkan kepada dunia. Kita sedang merenangi seni kritik sastra yang tidak anti kritik. Yang antikritik kuanggap dapat ditandai dengan dia keluar dari grup ini padahal dia sesungguhnya sudah masuk oleh karena mengaku tertarik mengetahui ada grup dahsyat beramplitudo makrifat bernama Seni Kritik Sastra. Aku dan Hudan, ya Allah ya Rabi, bila Kau ridai kami dengan umur kami, izinkan kami terus berkarya dengan seni kritik sastra ini sampai maranatha. Maranatha adalah waktu kedatangan Tuhan Yesus umat Nasrani datang kembali ke bumi sebagai kiamat nanti. Dedy Riyadi sangat paham ini, maka ia menulis tentang metafora Alkitabiah tentang hakikat seni kritik sastra sendiri. Puji Tuhan, bagiku. Tulisanku liar, karena memang itulah berbagai gaya bahasa, bentuk sastra, aliran sastra sudah menyatu dalam diriku. Saat itu, aku menyebut novelku beraliran multidimensi saat bersama Profesor Faruk aku menjadi narasumber dalam acara temu pengarang di depan mahasiswa S2 Universitas Muhammadiyah Malang. Saat itu 2012. Maka 13 tahun kemudian, sekarang. Hudan Hidayat sudah lama bersanding dengan Roland. Barthes, yang mencumbui semiologi mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Ya Hu kau sudah mengalahkan dia Hu, dengan amplitudomu kau sudah menghidupi kerinduan Deddy, sekaligus mengajak Umar memberi tafsir atas koma demi koma. Itu semua bagus Hu, karena grup seni kritik sastra adalah Amplitudo juga. Jarak terjauh dari titik kesetimbangan pada getaran. Dengan amplitudo kita sumbangkan sedikit  parameter pengukuran energi untuk mendeskripsikan gelombang. Jangan dibilang amplitudo ini bertitik pemahaman kita yang superdangkal. Yang kita sadari sehingga terus menulis seni kritik sastra yang sekaligus juga melapangi mengkritik dan dikritik tanpa berpuas diri. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: