Senin, 07 April 2025

Dikotomi Sastra Versus Literasi

Ratusan judul buku lahir di penerbitanku. Aku tak bilang penerbit, tetapi jasa penerbitan. Karena bagi Vitta penerbit itu harus keluar duit untuk menerbitkan buku penulis. Sedangkan pada kami, penulislah yang membiayai penerbitannya. Penerbit Indie, nama bekennya. Paling banyak adalah buku puisi, lalu cerpen. Umumnya karya sastra literasi. Di sinilah muncul pergolakan batinku tentang sastra versus literasi sehingga kutulis esai di Jawa Pos. Lalu jadi perbincangan kami, aku dan Mashuri Alhamdulillah di mimbar Bojonegoro Literary Festival 2019. Lalu belum lama ini di grup WA penulis puisi kuakhiri sendiri Dikotomi sastra versus literasi. Kuanggap kau mengertilah, lebih baik kuselami setiap tulisan mereka dan kalian agar aku semakin kaya. Apalagi modalku untuk kaya selain kaya batin maka kutulis ini. Ini budaya Boeng. Bukan sekedar seni. Kebetulan kita bertajuk Seni Kritik Sastra. Memangnya sastra punyak elo sorangan dhewe. Ini kritikku sedari dulu. Maka saat kami terbitkan sekumpulan puisi Padang Bunga Telanjang 2003 bersama Sihar Ramses Simatupang dan Badri AQT kubikin statement, kembalikan puisi kepada pemiliknya yang sejati. Penyair pun GeEr, merasa pemilik sejati puisi itu mereka. Salah Boeng. Pemilik sejati puisi itu Plato lalu Aristoteles hahaha. Tanpa mereka tak hadir istilah puisi. Lalu kau bawa ke tulisan Mazmur zaman Daud dengan kaidah puisi Yahudi. Aduh, Bung, aku cuma main-main. Ini cuma kritik bercitarasa seni bahwa puisi itu juga milik petani. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: