Vitta sedang berkicau di sebelahku sementara burung walet menunggangi gemuruh kipas angin. Kubilang gemuruh karena dulu pernah begitu, meski kini tak. Masa lalu Hudan Hidayat katakan ditinggalkan oleh yang berenang sendiri. Aku pelajari filsafat ilmu, tidak ada yang sama antar para filsufnya. Bahkan semua filsafat juga begitu. Bahkan tugas filsafat memang itu, untuk memberi ruang pemikiran-pemikiran baru. Yang kreatif. Yang alternatif. Maka ketika gerakan seni kritik sastra ini kami munculkan bersama, sesungguhnyalah ia sedang mewujudkan fitrah sastra dan filsafat, filsafat dan sastranya sendiri. Vitta masih mengoceh sementara perutku berkokok memanggil terang bulan atau martabak manis yang kami beli tadi malam. Ini seni kritik sastra bukan hendak menjadi pengganti HB Jassin yang tidak pernah ada penggantinya meskipun seribu kritikus muncul. Seperti Galileo bilang, seribu Plato dan seribu Aristoteles tidak mungkin dapat memecahkan misteri alam semesta, maka eksplorasilah ia. Kami juga begitu. Hudan seniorku di sastra, 5 tahunan lebih tua dariku. Aku sendiri sejak dulu menulis di media sosial dan menjadi buku. Ilmu gratis kubagi karena aku pun mendapatkannya gratis. Cuma besok kalau jadi buku maka urusannya dengan buku. Kritik sastra dapat seperti itu. Ia akan bersifat itu karena ia sedang mengeksplorasi alam semesta dengan berbagai kemungkinan, kreativitas, alternatif demi alternatif. Kita bukan tukang batu yang harus memakai batu untuk membangun rumah baru. Kita dapat memakai batu. Bata itu batukah? Aku tidak hendak jadi kaum sofis yang membedakan kuda dengan kuda hitam demi sebuah kemenangan debat kusir. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar