Aku mau kasih hal sederhana yang membuktikan bahwa kritik sastra adalah seni. Syukurlah dengan pertempuran kecil hari ini aku makin mantap dengan langkahku bersama Hudan Hidayat. Mau kan kukasih tahu keyakinanku itu? Ya, kalian kan sering ikut lomba sastra, menulis puisi, cerpen, novel. Lalu kalian kalah dan marah-marah. Jurinya tidak adil, jurinya KKN, ini bukan lomba tapi arisan! Begitu kata kalian. Ayo benar atau tidak? Nah, kok bisa jurinya berkelahi menentukan siapa juaranya, lalu setelah kalian kalah, kalian pun menawur mereka. Padahal sudah jelas dikatakan, keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Dah, gitu aja. Mana ada ilmu yang dapat dipertengkarkan begitu. Lomba cerdas cermat itu ilmu. Karena pertanyaannya punya jawaban pasti. Lalu kalian bilang kritik sastra itu parameternya ilmu sosial, ilmu budaya, jadi tetap berkaidah ilmu. Bukan seni. Oh, itu mah berarti ilmu budaya kalian berhenti pada eksplorasi yang sampai itu saja. Lalu sesudah berhenti ya berhenti, mati. Aduh, jadi huruf latin aku. Sudahlah, soal selera juri itu tidak muncul dari sekedar penguasaan ilmu budaya mereka, tetapi lebih oleh karena mereka mempunyai rasa, selera, jiwa. Kalau soal jiwa kalian bilang urusannya sudah agama. Kalau rasa? Selera? Nah ilmu apa yang akan kalian pakai? Psikologi? Halo..., psikologi pun itu masih kategori pseudo ilmu. Ilmu palsu. Nah di sini aku masuk, ini wilayah seni. Maka kritik sastra itu wilayah seni. Aku belum bicara filsafat kontemporer soal ini. Lebih baik menunggu Hudan Hidayat menulis kritik sastra yang gaya penulisannya sungguh membuat angan, perasaan, logikaku terus hidup. Ars Longa Vita Brevis. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar