Senin, 07 April 2025

Seni Kritik Sastra Produk Budaya

Hudan Hidayat, polemikmu dengan Taufiq Ismail 20 tahunan lalu (2007) dikomentari seseorang di blogspot sebagai pertarungan orang tua melawan orang muda. Kamu yang disebut muda itu, Hu. Yang tua takut norma dilibas, yang muda semangat dengan pembaruan.  Lalu kedua-duanya dibilang emosional sehingga tidak saling apresiasi. Taufiq tidak mengapresiasi tulisanmu, Hu. Aku baru makan nasi pecel bungkus daun jati, maka segar pikiranku menulis hal itu kini. Masa kamu sekarang masih muda Hu. Masa kamu masih emosional seperti Taufiq yang saat itu dibilang tua. Tidak Hu, tulisan-tulisanmu kini tenang air menyelami air. Kau air yang menjadi air. Hanya lelaki ikan yang mampu berbuat demikian. Absurd sekali rasanya polemik itu saat ini. Sudah lewat ya kasusnya. Semua sudah kembali ke air. Seperti semua berasal air. Seperti, kataku. Karena hanya Thales yang bilang asal muasal semua adalah air. Maka ketika tulisanmu disorot membandingkan kitab suci yang memuat Adam dan Hawa yang telanjang dengan tulisanmu yang dianggap Taufiq porno, banyak yang alergi. Kitab suci kok dibandingkan fiksi. Ah kasusmu mirip Rocky Gerung yang bilang kitab suci itu fiksi. Untung kalian punya Agil Siradj yang memposisikan agama dan budaya secara manis. Kini antar budaya sendiri dalam sastra orang juga berselisih paham. Maksudku soal kritik sastra ini. Bagiku bagaimana pun ia produk budaya. Seni itu juga produk budaya. Ilmu juga produk budaya. Mengapa aku memilih seni untuk kritik sastra Hu? Bukankah dengan demikian aku menjadikan penulisnya hanya sebagai seniman? Dan seniman itu sempit dunianya dibanding budaya. Tidak Hu. Karena yang dihasilkan kritik sastra adalah tulisan. Maka seni kritik sastra wajar sebagai sebuah seni. Pelakunya seniman sepertimu. Hasilnya karya seni dengan segala dimensinya. Sayang sekali sudah tua 20 tahun lalu, Taufiq saat itu berpendekatan non seni ya Hu pada karya-karyamu. Pendekatannya moral dan agama. Budaya? Bisa jadi. Tapi budayanya siapa. Toh kita tahu budaya Taufiq adalah baca puisi sambil menangis. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: