Senin, 07 April 2025

Tentukan Seni Kritik Sastramu

Temanku baru pulang. Ini seni. Seni pulang. Lalu kau katakan kalau begitu semua juga seni. Seni datang. Seni pergi. Seni hidup. Seni mati. Sudah kau jawab sendiri. Tapi katamu, itu juga ilmu. Ilmu makan. Ilmu lompat. Ilmu anu. Jadi katamu. Semua bisa seni. Semua bisa ilmu. Aku pun katakan ini seni ilmu kritik sastra. Karena bagimu kritik sastra itu ilmu. Bukan seni. Aku hanya mau katakan, ketika unsur ilmu lebih dominan daripada unsur seni, jadilah ia ilmu. Lalu ketika unsur seni lebih dominan daripada unsur ilmu, jadilah itu seni. Kau sudah utarakan semua filsafat kontemporer yang memenangkan unsur seni daripada unsur ilmu pada kritik sastra. Ya, katamu, tapi kan bukan seni murni. Aku sedang bicara seni, bukan seni murni atau seni terapan pada kritik sastra. Sangat sederhana, penyebab pertarungan antar juri karena mereka punya jiwa seni kubatasi pada dunia  kritik sastra. Bukan dunia hukum, RT atau perkelahian antar anak TK. Dan filsafat kontemporer yang dijelaskan Deddy Riyadi jelas memenangkan seni pada saat pilihan anggapan adalah seni. Berarti subjektif, katamu, yang subjektif belum tentu seni. Art. Artificial. Tiruan kenyataan. Itulah seni di tahap awal. Lalu kita tambahkan semua yang lain memperkuat kategori seni. Aku tak pisahkan lagi sastra dan filsafat. Semua adalah seni. Apa pun. Kalaupun kau bilang itu ilmu, berarti bagimu seninya rendah. Bagiku sederhana saja. Semua adalah seni. Tinggal masalahnya seninya tinggi atau seninya rendah. Kritik sastra adalah seni. Tinggal tentukan, seni kritik sastramu tinggi, atau rendah. Mungkin punyaku yang kering. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: