Sekarang aku tidak curhat. Anti. Karena terkesan cengeng. Tetapi aku memakai media ini untuk menulis gagasan. Kalian baca, berarti aku sedang menyerap energi kalian.
Kamis, 01 Mei 2025
Rabu, 30 April 2025
SOTO LAMONGAN, Rahasia Orang Lamongan Gairah Sastra
Alasan Setia Pada Gereja Yang Ada Yesusnya
Kini saat menulis lagi. Seorang teman yang nama suaminya sama dengan namaku bertanya aku kok masih setia ke gereja yang beda teologi denganku. Setiaku kuutarakan alasannya. Karena bagiku semua gereja tidak ada yang sempurna.
Selasa, 29 April 2025
MI GODOG PAK ATENG
Dikuduskan Dalam Penantian Menurut Alkitab Saja (1 Korintus 1)
Mistisisme dan Kecerdasan
Suatu hal ajaib terjadi. Aku bilang sesuatu tentang Ih li be dih kepada seorang teman. Tak tahunya besoknya putri teman itu akan menyanyi lagu itu karya Beethoven. Biasanya seorang seniman punya intuisi tentang sesuatu.
Senin, 28 April 2025
KONTEKS TUBUH ADALAH BAIT ALLAH ADALAH TENTANG PERCABULAN BUKAN MASALAH MAKANAN (1 KORINTUS 6)
Begitu tahu alasan di jadual guru sekolah sabat yang sudah dibuat majelis namaku dicoret oleh pendeta muda baptisan 2011, aku langsung melakukan lakukan langkah-langkah strategis. Kubuat tulisan kesaksian kubagi ke semua grup Kristen yang aku aktif di dalamnya, dengan tujuan untuk menjadi pembelajaran bagi sesama Kristen untuk mempertimbangkan masalah menikah beda aliran khususnya antara Advent dan Katolik.
Minggu, 27 April 2025
Jumat, 25 April 2025
Drumband Lintang Sembilan SMA Ahmad Yani Baureno Sarat Prestasi
Dunia marching band kini di Indonesia semakin di minati, terbukti dengan maraknya kompetisi–kompetisi yang diadakan secara regional maupun nasional, bahkan event international pun semakin merebak.
Ketoprak Religi oleh Siswa MTs Mampu Menyedot Penonton Terbanyak di Bojonegoro Bagian Barat
Pertunjukan ketoprak dilakukan secara menawan oleh siswa-siswi MTs Al-Yakin Unggulan YASPIA Pungpungan, Kalitidu, Bojonegoro.
Upacara Basuh Kaki Tradisi Unik di Gereja Advent Jalan Basuki Rahmat Bojonegoro
Gereja Advent di Bojonegoro berdiri sejak 1967 di Jalan Basuki Rahmat, seberang timur kantor PLN (Perusahaan Listrik Negara). Nama lengkap gereja ini adalah Gereja Masehi Advent Ketujuh (GMAHK).
Ramadhan Fest 2025 Kecamatan Babat Tampilkan Seni Patrol, Beragam Lomba, Seni Budaya, dan Berdayakan Ekonomi UMKM
Di Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan di Balai Desa Babat yang sangat bersejarah. Berbagai kegiatan masyarakat yang bersifat umum maupun pribadi keluarga pernah diselenggarakan di sini.
Semua Bencana dan Kecelakaan Adalah Akibat Perbuatan Manusia Sendiri
Bencana alam banjir, kebakaran, kecelakaan bahkan yang menewaskan warga dari Bojonegoro baru-baru ini membawa tim Waskat.id meliput khotbah atau homili terkait hal ini oleh Romo Paroki Antonius Sapta Widada CM di Gereja Katolik Santo Paulus Bojonegoro, Minggu 23 Maret 2025.
Situs Perahu Besi Lambung Kapal di Desa Ngraho Kecamatan Gayam
Desa Ngraho Kecamatan Gayam Kabupaten Bojonegoro merupakan fenomena spektakuler perpaduan kemajuan teknologi dan tradisi budaya luhur. Tim Waskat.id menjadi saksi ketika berada di area makam Eyang Suro Projo (Mbah Pung) dilengkapi dengan situs perahu besi peninggalan zaman dahulu.
Setiap Tanggal 1 Gaji Harus Masuk Klunting di Rekening Pegawai Meski Sedang Tanggal Merah
Wakil Bupati Nurul Azizah memimpin Apel Kegiatan Rutin Pemkab. Bojonegoro di halaman depan Pendopo Malowopati, Senin 24 Maret 2025. Beberapa hal penting disampaikannya di depan peserta apel ASN dari berbagai dinas dan institusi Pemkab.
SMPN 1 Sumberrejo Telah Workshop Literasi dan Menerbitkan Buku
Pada tanggal 22 sampai 24 Oktober 2024 telah dilaksanakan Workshop Pengembangan Literasi dan Numerasi di SMPN 1 Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.
Memori Salat Idul Fitri di Masjid Agung Darussalam Bojonegoro
Mewakili Bupati Bojonegoro Setyo Wahono, Wakil Bupati Bojonegoro Nurul Azizah melaksanakan Salat Idul Fitri di Masjid Agung Darrusalam Bojonegoro. Turut bersamanya adalah keluarga dan jajaran Kepala OPD.
Pentingnya Silaturahmi Bupati dan Wakil Bupati dengan ASN dan Masyarakat Umum Se-Bojonegoro
Setelah melaksanakan salat Idul Fitri di Dolokgede dan Masjid Agung Darussalam Bojonegoro, Senin 31 Maret 2025, pukul 12.00-14.00, Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah menerima segenap Aparatur Sipil Negara (ASN) di gedung bundar putih di kompleks Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Permasalahan UMKM di Bojonegoro
Di Bojonegoro ada 19 asosiasi UMKM, di mana asosiasi induk akan membreakdown program kerja 19 asosiasi, dengan harapan UMKM yang ada di bawah 19 asosiasi tersebut naik kelas.
Kamis, 24 April 2025
SENI KRITIK SASTRA
Rakor Evaluasi dan Hasil Evaluasi Input Data Rencana Umum Pengadaan (RUP) Pemkab Bojonegoro Tahun 2025
Rabu, 23 April 2025
TEORITISI SASTRA MIKHAIL BAKHTIN
Teoritisi Mikhail Bakhtin dari Rusia terkenal dengan teori sastra yang terkait dengan sejarah dan politik. Dia anak zaman pada masa kekuasaan komunisme Stalin begitu kuat di Uni Soviet. (penerbitmajas.com)
Pelatihan Menulis Puisi dan Cerpen SMPN 2 Sugihwaras Bojonegoro
Pelatihan Menulis Puisi dan Cerpen diselenggarakan di SMPN 2 Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro pada Sabtu 19 April 2025. Menghaddirkan narasumber Yonathan Rahardjo sastrawan nasional yang seorang dokter hewan. (penerbitmajas.com)
AYAM PETELUR GAYATRI ENTAS KEMISKINAN RAKYAT BOJONEGORO
Selasa, 22 April 2025
Senin, 21 April 2025
APEL KESIAPSIAGAAN NASIONAL KABUPATEN BOJONEGORO
Bagus Tetapi Tidak Hebat
Kemarin ada yang bilang tulisan Stephen King hebat, ada juga yang bilang tulisannya tidak hebat. Alasannya tidak hebat, karena sepertinya pernah baca tetapi lupa. Karya sastra yang baik menurut tendensinya tidak gampang dilupakan orang setelah membacanya. Jadi tidak hebat bukan berarti tidak bagus ya.
Komite dan Pungutan Sekolah Dihapus
Minggu, 20 April 2025
Ibadat Puncak Hari Raya Paskah
Ibadat pada Minggu 20 April 2025 pagi Paskah dipimpin Romo Adrianus Aman CM, mengenang dan merayakan kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, tanda menang atas iblis, maut dan dosa. (penerbitmajas.com)
Ibadat Sabtu Suci Malam Vigili Paskah
Ibadat Jumat Agung, Jalan Salib, Penyaliban, dan Wafat Kristus
Ibadat Kamis Putih Perjamuan Terakhir, Basuh Kaki dan Tuguran
Ibadat Kamis Putih 17 April 2025 dipimpin Romo Antonius Sapta Widada CM. Mengenang upacara perjamuan terakhir Yesus Kristus dan keduabelas murid, dan pelayanan Yesus Kristus membasuh kaki mereka tanda melayani umat. Dilanjutkan dengan Tuguran doa dan berjaga. (penerbitmajas.com)
Ibadat Rabu Abu Masa Derita Yesus
Tujuh Jumat Jalan Salib Sampai Jumat Agung
Kebangkitan Kritik Sastra Itu Lahirnya Seni Kritik Sastra
Seni kritik sastra sangat penting untuk menjawab kelangkaan kritik sastra di Indonesia. Apa pun proses kelahiran gerakan seni kritik sastra ini, saya dan Hudan Hidayat, Hudan Hidayat dan saya, semula akan menulisnya dalam sebuah buku berdua. Kami pun membuat grup WA Seni Kritik Sastra dan mengundang siapa pun boleh keluar masuk sesukanya.
Sabtu, 19 April 2025
Cara Membuat Puisi yang Baik dan Benar
Nama-nama sastrawan Indonesia kusebut hari ini saat melatih siswa-siswi SMPN 2 Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro menulis puisi dan cerpen. Marah Rusli, Asrul Sani, Taufiq Ismail, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna. Dalam konteks apa nama mereka kutulis di sini sehingga layak dalam bahasan seni kritik sastra?
Jumat, 18 April 2025
Taraf Hidup Itu Macam-macam
Prof. Hudan Hidayat akhirnya keluar dari grup. Kini aku sendiri tentang buku Seni Kritik Sastra. Sebelumnya tadi siang kami sudah ber-WA jalur pribadi. Kuungkap pendapatku dan sudah diizinkannya.
Guncang dengan Makna-makna Baru
Terima kasih Bunda Yeyen. Ya, lebih baik tentang seni kritik sastra terus ditanyakan ke mana dia akan dibawa. Karena novel sebagai seni terkadang ber-ending terbuka. Bahkan jangankan seni, dalam penelitian ilmiah pun acap kita jumpa pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari sebuah ilmu.
Ke Mana Sebetulnya Mau Dibawa Seni Kritik Sastra Itu.
Aku baru saja cari tulisan lamaku untuk masuk buku pertama Seni Kritik Sastraku. Mauku tulisanku di Jawa Pos berjudul Dikotomi Literasi dan Sastra. Kucari di google, eh malah ketemunya wacana di penerbitmajas.com yang berjudul Sastra Bukan Segalanya.
Sastra Bukan Segalanya
Kebebasan berpikir merupakan senjata utama dalam hidup ini. Banyak hal yang tak mampu kita lakukan namun dapat kita pikirkan. Bahkan kita dapat ke surga atau neraka pada saat bersamaan, di dalam pikiran. Namun banyak orang takut terhadap kebebasan berpikir. Tahukan kau sebabnya?
Sayapku Dua Sudah Tumbuh Malah Lebih Dari Dua.
Kemarin Kamis Putih. Aku menemani Vitta ibadah di gerejanya sampai malam karena usai misa dilanjutkan tuguran. Berjaga seperti Yesus berdoa di taman getsemani semalaman. Tadi pagi menemani Vitta Jalan Salib mulai pukul 7 pagi. Tadi sore menemani Vitta Jumat Agung. Mulai pukul 3 sore. Tetapi semua berangkat kami sekitar sejam lebih awal.
Rabu, 16 April 2025
Bantuan Aksi Sosial Paskah GKJW Bojonegoro
Dengan antusias warga menyerahkan kartu warna kuning kepada panitia. Ada nomor di kartu itu. Itulah nomor pengambilan bantuan beras pada aksi sosial Paskah yang diselenggarakan oleh GKJW Bojonegoro pada Kamis 17 April 2025. Setelah diterima petugas, warga itu dipersilakan mengambil beras dari atas meja yang disediakan. (penerbitmajas.com)
PENERIMAAN BANTUAN AKSI SOSIAL PASKAH GKJW BOJONEGORO
Dalam rangka merayakan hari raya Paskah 2025, Gereja Kristen Jawi Wetan Bojonegoro menyelenggarakan aksi sosial berupa pemberian bantuan beras kepada warga sekitar pada Kamis 17 April 2027. Sejumlah warga RT 5, 6, 7 Kelurahan Kadipaten Bojonegoro menerima bantuan setiap keluarga 5 kilogram beras. (penerbitmajas.com)
Seni Kritik Sastra Secara Teka-teki Intel
Kata sip dari penyair cantik terhadap tulisanku perikop sebelum ini mestinya membuatku tergila-gila. Bukan kepada siapa-siapa. Apalagi kepadanya yang sudah kuanggap kakakku sendiri karena merekomendasikanku masuk sastra kota Dewan Kesenian Jakarta 2003. Lalu telah memberi endorsement berupa ulasan cukup panjang untuk novelku yang terkait erat dengan Dewan Kesenian Jakarta juga.
Makna Teks Karya Seni Sastra
Bila tidak menyebut Roland Barthes dengan teori pengarang sudah mati maka tidak lengkaplah buku seni kritik sastra ini. Maksud orang Prancis ini dalam bukunya tahun 1967 itu adalah makna teks karya seni sastra tidak ditentukan oleh penulisnya tetapi pembacanya.
Kesempatan Diskusi Sesuai Referensi dan Preferensi
Bagaimana soal edukasi kepada orang yang tidak sanggup memaknai karyaku? Tidak ada orang yang tidak sanggup, semua sanggup memaknai. Tetapi secara berbeda, tergantung referensi dan preferensi yang dimilikinya. Baik. Jadi begitu jugakah cara menjawab kritik seseorang terhadap karya kita?
Bebas Tafsir
Seorang yang kukritik karya seninya, membela diri. Bebas tafsir pembaca, katanya. Tetapi lanjutnya, yang lebih tahu makna dari karya simbolik hanya penulisnya. Lantas kujawab, itu tidak konsisten. Bebas tafsir itu berarti tidak ada tafsir salah dan benar.
Senja yang Sihir Sastra
Senja yang Sihir Sastra(1)
Yonathan Rahardjo(2)
(1) Dimaksudkan sebagai Review Pementasan Sastra Senja ‘Lima Sihir Sastra’ Dewan Kesenian Jakarta, di Ruang Kreativitas Terbuka Taman Ismail Marzuki Jumat 8 September 2006
Nama-nama Mereka yang Mengabdikan Diri Dalam Dunia Kritik Sastra
Maka ingatan tentang Asep Sambodja mau tak mau muncul. Dalam buku seni kritik sastra ini nama-nama mereka yang mengabdikan diri dalam dunia kritik sastra harus mendapat tempat. Mereka yang menghidupi dan menghidupkan dunia sastra dalam satu sudut pandang ini: kritik. Tanpa kritik tak ada ulasan tentang karya sastra siapa pun.
Tokoh Awal Mula Sastra Indonesia Modern
Terjaga dari tidur. Sayang, sebetulnya harus tidur lagi karena masih pukul dua tepat. Masih ada waktu untuk bermimpi titiyani sampai pukul tiga pagi. Tetapi Vitta berdoa, aku harus tidak tidur saat seperti ini. Maka kutulis ini.
Menghargai Kekayaan Intelektual Semua Pengarang
Gas. Ini perikop kelima dari pasal kelima. Di sebelahku saat Ubud Writers and Readers Festival 2009, novelis papan atas Indonesia Ahmad Tohari bilang Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel karya puncaknya satu-satunya. Karya yang lain hanya pendar-pendarnya.
Tak Usah Terus-Terusan Kau Sodorkan Langkah-langkah Penelitian Ilmiah Moralis Terhadap Suatu Seni Kritik Sastra
Tancap. Ini perikop keempat dari pasal kelima. Aku menulis sambil pusing akibat kebanyakan makan udang. Sebetulnya tidak banyak. Tetapi sudah lama aku tidak makan udang. Ini juga metafora.
Sejarah Sastra Indonesia
Baik, aku berlanjut perikop ketiga dari pasal kelima. Kalian yang terbuai oleh sejarah HB Jassin mungkin tidak pernah dengar nama Bakri Siregar. Beruntung aku pernah aktif berkegiatan di PDS HB Jassin sehingga kenal dengan para sastrawan nasional.
Bertarung dengan Pendapat Profesor Sastra Tertentu yang Menilai Suatu Karya Sastra Tidak Sekaliber Namanya
Ini perikop kedua dari pasal kelima bukuku. Kutulis di depan dua orang temanku yang sedang bertamu dan berbincang. Seperti perikop kesatu juga kutulis di depan mereka. Kalau aku mengandalkan ilmu kritik sastra aku tak bakal dapat menulis kritik sastra ini.
Keseriusan Menulis Seni Kritik Sastra
Luar biasa, Prof. Hudan Hidayat. Aku sampai tak bisa berkata apa-apa atas keseriusannya menulis seni kritik sastra. Betul ini gerakan yang kami pelopori. Dan ia sangat serius tentang hal ini sedari dulu kukenal menulis kritik atas novel Lanang pada 2008. Kini pun, 17 tahun kemudian. 2025. Maka aku putuskan, buku seni kritik sastra yang rencananya akan berisi tulisan kami berdua, harus dipisah.
Selasa, 15 April 2025
SMA Ahmad Yani Baureno juara grup H FKMB Futsal Competition 2025
SMA Ahmad Yani Baureno juara grup H FKMB Futsal Competition 2025
Senin, 14 April 2025
Temu Kangen Lahai Roi di Surabaya
Surabaya, penerbitmajas.com - Temu kangen lazim dilakukan oleh komunitas guna mempersatukan anggota komunitas yang semula bersatu kemudian dipisahkan satu sama lain dalam waktu dan tempat berbeda-beda.
Mengendalikan Inflasi dengan Manfaatkan Tanah Pekarangan
Bojonegoro, penerbitmajas.com - Menyiasati inflasi dapat dilakukan dengan berbagai cara menurunkan angka kemiskinan, salah satunya dengan memanfaatkan tanah pekarangan.
Melestarikan Ajaran Luhur Warisan Nenek Moyang dengan Kesenian Tradisional Wayang
Bus Gratis Si Ganteng Tuban-Bojonegoro PP
Tuban, penerbitmajas.com - Bus gratis rute Tuban-Bojonegoro PP diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Tuban. Nama bus adalah Si Ganteng.
Salah Satu Kepemimpinan Bupati Setyo Wahono di Awal 100 Hari Pertama Saat Bulan Puasa Yang Telah Lewat
Nonton Bareng Sepakbola di Pendopo Malowopati Bojonegoro
Bojonegoro, penerbitmajas.com - Nonton bareng pertandingan sepak bola sangat mengasyikkan. Dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat di mana pun. Tak terkecuali di pendopo Malowopati Kabupaten Bojonegoro.
Misa Minggu Palma di Gereja Katolik Babat
Minggu, 13 April 2025
Pelatihan Menulis Siswa SMP Negeri 2 Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro
Bojonegoro, penerbitmajas.com - Pelatihan menulis bagi siswa SMP Negeri 2 Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro akan diselenggarakan pada Sabtu 19 April 2025 di SMPN 2 Sugihwaras.
Sabtu, 12 April 2025
Tarif Resiprokal Amerika dengan Negara Pemberani
Saling berbalasan tarif pajak perdagangan dilakukan oleh Amerika dengan China dengan nilai fantastis. 125 persen membalas 145 persen. Tarif sebesar 125 persen dikenakan oleh China terhadap Amerika yang telah memberlakukan tarif pajak perdagangan sebesar 145 persen.
Bulog Beli Gabah Kering Panen Petani
Pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) berkomitmen selalu membeli gabah kering panen (GKP) dari petani Rp 6.500 perkilogram.
Jumat, 11 April 2025
Nasi Bakar Jalan Sudirman
Terdiri atas beberapa pilihan, isi ayam, tuna, tengiri. Masing-masing seharga Rp 10.000, Rp 12.000, Rp 12.000. Dibungkus daun pisang, dibakar, dilengkapi sambal pada alas daun pisangnya.
Lansia di Bojonegoro
MENCICIL CABUT RUMPUT
Kamis, 10 April 2025
Jalan Seni yang Lebih Agung Daripada Ilmu
Baru saja ia baca tulisan Profesor Hudan di Facebook-nya. Cocok dengan batinnya saat di kamar mandi, kakek 56 tahun itu berkata, "Ini kejutan di akhir tulisanku pada buku pertama bersama Profesor Hudan Hidayat tentang Seni Kritik Sastra." Tulisannya bersama Maestro ini tidak diakhiri pada perikop 8 dari pasal 4, tetapi ditambah tiga. Jadi, perikop kesebelas, yaitu ini. Alasannya, ia malu bila hanya mengandalkan ingatan dan intuisinya dalam menulis buku bersama Prof. Hudan. Padahal buku ini harus berkelas. Untuk kewibawaan buku bersama orang berkharisma ini, dia telah memulai dengan dua perikop sebelum perikop ini. Bahwa ia pun membaca tuntas karya-karya pemuncak sastra Indonesia, sebagian yang lain belum ditulisnya sekarang, seperti Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari yang memilih novel Lanangnya menjadi juara, Saman Ayu Utami dan lain sebagainya. Belum dituliskannya karya pemuncak sastra dunia yang dilahapnya sampai kerak. Ia hanya menyebut sekarang sebagian di antaranya, yang menjiwai dirinya sebagai pengarang. Maxim Gorky dengan Ibunda, Leo Tolstoy dengan Anna Karenina, John Steinbeck dengan Amarah, selain buku-buku novel lawas Tom Sawyer, Winnetou, Uncle Tom's Cabin, dan lain sebagainya yang dimakan pikunnya, buku-buku yang jadi menu berangkat tidurnya saat sakit waktu anak kecil diborongkan oleh bapaknya yang agen koran dan majalah, agar ia cepat sembuh. Bentuk bukunya macam-macam, bukan cuma novel berisi hanya kata tetapi juga komik dan cerita bergambar. Tak terbilang betapa banyak buku macam ini yang dibacanya, termasuk Don Xuiqote, Mahabarata, selain majalah-majalah remaja yang memperkenalkannya kepada pengarang Indonesia yang di kemudian hari pernah berfoto bersamanya karena sesama pengarang. Data ini tidak lengkap dan sisanya akan dituliskannya pada buku kedua bebas dari manuver akhir buku kesatu ini. Data-data buku yang disampaikannya kini hanya sebagai sampel dalam sebuah survei untuk menjawab pertanyaan: Apakah kamu sebagai pengarang seni kritik sastra juga membaca buku-buku sastra? Ya, itu sarat mutlak untuk orang yang mengkritik sastra. Bukan cuma HB Jassin, Goenawan Mohamad, Profesor Hudan Hidayat, Nirwan Dewanto, Anton Kurnia, dan para akademisi sastra di lembaga formal pendidikan sastra yang harus baca buku-buku sastra untuk jadi bahan penilaian. Itu wajib hukumnya. Tinggal pendekatan mereka yang berbeda. Kalau mereka memakai jalan ilmu untuk menilai karya sastra, kakek 56 tahun itu bersama Profesor Hudan Hidayat memakai jalan seni, yang lebih agung daripada ilmu. Dengan manuvernya menambah tiga perikop bagian buku yang menjadi porsinya di bab ke-2, ia tutup bagiannya dengan perikop ini, seraya mengucap hal yang sama dengan sabda kawan seperjuangannya: "Mari kita membuat buku kita berwibawa." (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Ilmu Kritik Sastra Tumbang Lagi Oleh Seni Kritik Sastra
Sebetulnya kakek 56 tahun itu belum baca karya sastra yang lain sampai ia menulis perikop ini. Tetapi karena Profesor Hudan Hidayat menulis respon terhadap perikop kesatunya untuk buku kedua mereka, ia menulis juga. Faktor pembaca karya sastra juga punya tempat dalam kritik sastra kontemporer yang menempatkan resepsi sebagai bagian penting dalam seni kritik sastra. Siapa pun pembaca dapat memaknai bacaannya terhadap karya sastra itu secara kaya. Ia tidak membentur-benturkan lagi antara seni dan ilmu, itu sudah lewat dengan buku mereka yang pertama. Malah tadi waktu di kamar mandi yang sumber air penghidupan ia mendapat ide menulis tentang Siti Nurbaya yang seharusnya menjadi tonggak kesusastraan Indonesia malah dikalahkan oleh Salah Asuhan. Ia juga sudah membaca buku ini yang berkisah tentang perjodohan paksa melibatkan tokoh antagonis Datuk Meringgih melawan tokoh protagonis Samsul Bahri dalam cintanya terhadap Siti Nurbaya. Ceritanya tidak bisa vis a vis budaya Indonesia melawan budaya Belanda, sehingga oleh tim penentu hari sastra nasional yang dipilih hari lahirnya sebagai hari penting ini adalah Abdoel Moeis. Kakek 56 tahun yang dulu anak SMP itu ingat tokoh penting tim penentu itu adalah drh. Taufiq Ismail yang sama-sama dokter hewan dengan drh. Marah Roesli pengarang Siti Nurbaya. Alasan tematik kedua buku mereka (Siti Nurbaya vs Salah Asuhan) menjadikan dirinya agak trauma dengan politik sastra Indonesia. Karena ia tahu secara waktu Siti Nurbaya lahir duluan (1922) dibanding Salah Asuhan (1928). Dan dalam sejarah sastra rezim HB Jassin yang penandatangan pertama Manifes Kebudayaan itu, sejarah sastra Indonesia modern selalu dimulai dari novel Siti Nurbaya ini. Ah biar saja, alasan dapat dibuat macam-macam yang kelihatan masuk akal. Hanya karena konfliknya cuma konflik asmara maka Siti Nurbaya masuk kotak. Lagi pula Samsul Bahri menjadi tentara Belanda penumpas perlawanan pribumi, tak ada cerminan nasionalisme sama sekali ya. Berbeda jauh dengan konflik di Salah Asuhan. Jadilah ia paham yang pertama hadir belum tentu yang terbesar. Dalam konteks politik sastra berbasis nasionalisme Siti Nurbaya kalah oleh Salah Asuhan. Begitupun Siti Nurbaya tetap tonggak. Bahwa kakek 56 tahun itu dengan novelnya Lanang masuk salah satu dari 79 novel Indonesia yang terbit sejak novel Siti Nurbaya (1922) hingga 2014 masuk Daftar Judul Buku Rekomendasi untuk Program Subsidi Penerjemahan Frankfurt Book Fair 2015, ia sudah mencicipi ketenaran seperti drh. Marah Roesli. Sebelumnya novel otobiografis "Memang Jodoh" drh. Marah Roesli 2013 didapatkannya dari kiriman drh. Tjiptardjo Pronohartono pemimpin redaksinya di majalah peternakan dan kesehatan hewan di Jakarta. Ketahuan wafatnya pengarang Siti Nurbaya ini tanggalnya sama dengan tanggal kelahiran kakek 56 tahun ini. Selisih setahun persis setelah Marah Roesli wafat, ia lahir. Mistisisme macam apa ini? Yang ia ingat tentang mistisisme hanya Immanuel Kant. Dalam filsafat Immanuel Kant, mutu mistis ditemukan di dalam struktur apriori pikiran serta gagasan kebebasan transendental. Pemikiran ini menjadi dasar kemungkinan pengalaman serta tindakan moral yang melampaui sebab akibat empiris dalam ilmu. Glodak. Ilmu kritik sastra tumbang lagi oleh seni kritik sastra. Kini ia baca beberapa sumber agar tulisannya agak berdata seperti tulisan Profesor Hudan Hidayat. Malu cuma mengandalkan ingatan semata, padahal ia sudah terstigma setengah pikun. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Kritik Tidak Harus Menyerang
Seorang anak SMP libur sekolah. Tetapi perpustakaan kota tidak tutup. Seorang tua rambut putih cepak menunggu di dekat pintu masuk. Ruang persegi panjang dengan meja luas dijajar. Di situ buku-buku tertumpuk belum ditata ulang di rak. Koleksi buku ada dirak didominasi buku terbitan Balai Pustaka. Di situlah anak SMP itu mengambil buku novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang di kemudian hari hari penting siklus hidupnya dijadikan sebagai Hari Sastra Nasional. Anak SMP itu membaca buku itu di perpustakaan itu sampai tuntas. Kalau hari itu belum rampung, dia melanjutkannya lain hari. Mumpung liburan sekolah. Hatinya menjelma menjadi salah asuhan seperti cerita di dalam novel itu. Tidak ada yang dikritiknya tentang novel itu. Malah dia betul masuk dalam cerita anak inlander yang bergaul dan bertata hidup seperti Sinyo Belanda. Main tenis dengan pakaian olah raga putih-putih pula. Kritiknya terhadap pola pendidikan salah asuh itu tidak dikritiknya? Rasanya tidak. Justru sepertinya ia menyerap kisah itu hingga kehidupannya terpengaruh pola salah asuh pendidikan itu. Saat menulis sketsa kisah ini ia sudah 56 tahun. Banyak hal yang tidak beres dalam hidupnya. Tetap dia tidak mengkritik novel yang dibacanya waktu remaja sekolah bercelana pendek di atas dengkul itu. Apakah dengan menulis ini dia tidak menulis kritik sastra? Kritik tak harus diucapkan. Hanya diam di dekat orang tersayang saja seseorang sudah menyampaikan isi hati. Dia tahu apa arti anti klimaks. Maka pada buku Seni Kritik Sastra pertama yang ditulisnya bersama Hudan Hidayat dia sudahi pada pasal 4 perikop 8. Endingnya pada kata Mahaseni. Itu hal tertinggi. Bila ia menulis lagi maka ketinggian Mahaseni akan meluncur ke bawah. Meluncur ya ke bawah, tahu. Tapi ini majas penegasan. Tapi pula, penegasan tidak harus ditulis verbal. Ia sudah mengkritik tanpa bersuara terhadap buku novel Salah Asuhan. Kritiknya ternyata, "Mengapa aku terlalu menjiwai karya sastra Bapak Kesusastraan Indonesia itu?" Coba pikir, apa ungkapan ini termasuk kritik? Buktinya bukunya Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro yang lebih menceritakan tentang perjalanan sejarah sastra di kotanya juga masuk kategori kritik sastra meski hanya menjadi nominator Anugerah Sastra Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur. Oh tidak, di dalamnya juga ada ulasan tentang karya sastra mereka yang menulis karya sastra itu. Jelas, sebelum lebih jauh menulis tentang kritik ia harus baca lagi lebih dalam pengertian tentang kritik. Yang ia hafal cuma filsafat kritisisme itu identik dengan Immanuel Kant. Dengan mengkritisi dua kubu berseberangan rasionalisme Rene Decartes dan Empirisisme David Hume, Kant sudah melakukan suatu pemikiran kritis. Kritik tidak harus menyerang, tetapi dapat juga mendamaikan dan mencumbui seperti dilakukan oleh Tokoh Persuratan Dunia Numera 2017 Hudan Hidayat. Hanya si bocah SMP yang sudah berumur kakek itu kini sudahi di sini saja dan mau baca lagi agar dia menulis seperti berkendara di jalan tol. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Selasa, 08 April 2025
433 Embung di Kabupaten Bojonegoro
Sejumlah 433 embung tersebar di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Dari jumlah itu, sebanyak 23 embung rusak. Sejumlah 149 tersedimentasi.
Embung Sumber Air
Memurnikan Kritik Sastra dengan Seni
Memurnikan kritik sastra dengan seni. Membuat hidup sastra sesuai hakikatnya. Sastra seperti pisau, tergantung siapa pemakainya. Untuk kebaikan atau kejahatan. Kritik terhadapnya adalah pendapat penggunaan pisau itu. Keterbatasan ilmu akan membuatnya menghakimi penggunaan pisau sastra itu. Teori-teori terlalu banyak dan semua dapat dipakai sebagai analisis terhadapnya. Oleh karena disiplin ilmu harus dipegang, maka mau tak mau akan muncul perspektif berdasar teori analisis yang dipakai. Itulah mengapa dalam penerapan ilmu selalu terjadi perbedaan antara satu ilmuwan sastra dengan ilmuwan sastra yang lain. Di sini, kritikus sastra adalah ilmuwan sastra itu. Kalaupun ada resepsi sastra, selalu yang dipakai sebagai acuan adalah resepsi oleh orang yang punya legitimasi ilmu sastra. Maka dalam penjurian lomba karya sastra, ilmuwan sastra pun dihadirkan. Kalau mau konsisten bahwa kritik sastra adalah ilmu, seharusnya tidak memberi peluang kepada sastrawan yang bukan ilmuwan sastra untuk menjadi juri. Tetapi nyatanya kan tidak demikian. Sastrawan yang seniman sastra sering jadi juri lomba karya sastra. Bahkan acap semua jurinya pun dari sesama seniman, yang dapat dibilang punya legitimasi nilai seni suatu karya sastra. Well, ilmu atau seni yang dipakai seniman juri macam itu? Selalu dibela bahwa ada kriteria penjurian sesuai dengan kaidah ilmu yang sudah berlaku. Lagipula sebagai seniman pun dapat berasal dari kalangan akademis yang punya legitimasi ilmu. Ilmu pun dapat dimiliki oleh siapa pun, itu yang menjadi pemersatu tolok ukur-tolok ukur. Mentoknya penilaian secara objektif di antara para juri itu, akhirnya menghadirkan voting untuk menentukan siapa pemenangnya. Lalu masuklah argumen masing-masing berdasar imajinasi keindahan yang berbeda-beda. Saya mau ambil analogi praktis. Sifat asli seseorang dapat diketahui ketika ia berada pada kondisi kritis. Pada saat kritis untuk menentukan siapa juara sebuah lomba karya sastra, nyata toh, semua akhirnya diserahkan pada unsur seni setiap juri yang ada. Terjawab sudah. Penjurian karya seni adalah wilayah seni. Setiap ilmu yang dipakai untuk menilai sebuah karya seni, ia tak lebih dari hanya bersifat membantu. Kebetulan alat bantunya sudah terukur. Selebihnya, serahkan kepada seni. Tak mampu lagi, serahkan kepada Mahaseni. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Motivasi Kita Suci Menjawab Kelangkaan Kritik Sastra
Sejak ada teknologi AI, Hu, kujumpai seorang yang sangat rajin membuat lukisan AI dan tulisan AI. Tulisan AI? Ya, aku ragu itu tulisannya sendiri. Lukisan AI saja diakuinya sebagai lukisannya meski ada titel dengan menggunakan AI. Lagi pula aku lihat ia rajin sekali membuat tulisan yang sangat panjang tentang berbagai hal dengan data yang detail. Aku yakin itu tidak terbebas dari dominasi sentuhan AI. Kalaupun kita menulis di grup WA Seni Kritik Sastra ini, memang dibantu AI hanya sebagai pengganti mesin ketik zaman kita membuat artikel tahun 1980-an yang kita kirim ke media massa untuk mendapat honor. Beda dengan tulisan kita yang menggunakannya sebagai mesin ketik, terhadap tulisan dibantu AI macam bukan kita itu, memang komplet dan runtut, tetapi aku merasa ada kurangnya. Seperti makan sajian restoran hotel berbintang lima. Lebih enak masakan istri sendiri, Hu. Aku jadi malas baca tulisan orang yang rajin menulis karena bantuan AI itu. Lebih baik aku membaca sambil mencari artikel terkait di google, itu lebih melatih kecerdasan. Bahkan sejak dari dalam pikiran kita sudah membela kejujuran dan keadilan. Tidak adil dong Hu, saat kita menulis sebegitu mewah ternyata itu semua berkat bantuan AI. Meski banyak pembelaan terhadapnya bahwa untuk minta AI membantu itu juga dibutuhkan kata kunci dari kita sendiri sebagai pembuktian keaslian ide juga dari pikiran kita sendiri. Ah Hu, aku yakin dengan sering kita bahas seni kritik sastra, maka AI juga akan mencuri pikiran kita. Kan tempo hari ada yang memposting titel seni kritik sastra. Hahaha. Gerakan kita sudah menjadi virus nih, Hu. Aku sekarang menulisnya di kamar kecil, kok, Hu, sambil buang hajat. Ya, di mana saja aku menulis di WA HP. Yang paling nyaman memang yang telentang di atas kasur. Bukan terlentang ya Hu. Terima kasih atas koreksi secara tidak langsung darimu. Gerakan seni kritik sastra juga senyawa dengan hal ini. Karena motivasi kita suci. Menjawab kelangkaan kritik sastra oleh karena terlalu dominan nafsu teman-teman kita dikenal sebagai sastrawan. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Imajinasi Seni Tanpa Batas Membuka Berbagai Penafsiran
Kami terjaga dari tidur, Vitta berdoa, aku menulis Hudan. Bukan Hujan menulis Ayam-nya Sutardji Calzoum Bachri. Kutulis bidikan Hudan pada Goenawan Mohamad yang bersama Taufiq Ismail selain banyak lagi, pemrakarsa Manifes Kebudayaan yang disebut Presiden Soekarno sebagai Manifesto Kebudayaan karena bermuatan politik. Ya, jelas, ditulis di Manifes tentang garis politik kebudayaan mereka yang membawa jati diri kebudayaan manusia Indonesia untuk kebaikan manusia Indonesia sendiri, dan jati dirinya adalah Pancasila. Ternyata operasi dari politik kebudayaan yang disebut sebagai seni universal ini telah menggerus nilai-nilai idealisme Plato adanya suatu bentuk sejati pada ide. Secara umum mereka terlalu Aristotelian dalam mewujudkan suatu maksud. Kalau tidak begitu bakal tidak mungkin mewujudkan ide-ide mereka dalam praksis sampai begitu kebablasan. Dua tokoh Manifes Kebudayaan lho yang membayang-bayangi Hudan. Goenawan dalam lawan imajinernya, dan Taufiq dalam lawan polemik nyatanya di Jawa Pos secara beruntun berbalas esai keras. Kau lihat kaliber Hudan di sini kan? Jangan ragukan intuisinya. Yang dapat menjernihkan seni budaya hanya seni budaya sendiri. Lekra yang seni untuk politik revolusioner rakyat telah digerus oleh Manikebu (mani, kerbau, istilah oleh Lekra). Ternyata universalisme seni dalam Manikebu ini telah dipakai oleh mereka membawa politik sendiri, yang ujung-ujungnya membunuh karakter Hudan dengan stigma Sastra selangkangan ditabalkan oleh oknum Taufiq kepada Hudan. Mungkin Hudan kawan Sutardji ya sehingga Sutardji menulis cerpen Hudan Menulis Ayam, eh Hujan Menulis Ayam. Hahaha. Yang pasti langkah Hudanlah yang paling tepat menyucikan kritik sastra adalah dengan membingkainya sebagai seni. Hanya seni yang dapat memurnikan seni. Di luar itu, kepentingan. Ilmu itu sarat kepentingan dengan pembatasan demi pembatasan. Sedang seni, membuka berbagai penafsiran karena dia mempersilakan imajinasi berimajinasi tanpa batas berimajinasi dan berimajinasi. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Yang Mau Membuat Kritik Sastra Sebagai Seni
Biasanya orang menulis dengan segepok tumpukan referensi, lalu kutip sana kutip sini. Menjahit istilahnya. Maka dia menulis seperti menggoreng bakwan dengan irisan wortel, daun kol, tauge, tepung, diaduk, dimasukkan wajan berminyak panas. Repot sekali, tangan pegang ini pegang itu. Itu tidak efektif untuk menulis. Aku tak mau begitu lagi. Tak kuceritakan masa laluku lagi karena aku tak mau menua. Aku tulis masa kini dan mendatang saja. Dengan menulis santai sembari terlentang di atas ranjang aku merasa terbantu grup WA. Di sini ada energi. Aku baru saja menelusuri jejak Goenawan Mohamad yang menjadi lawan imajinasi Hudan Hidayat untuk pemicu tulisan kritik sastranya. Kini diarahkan energinya ke seni. Aku tahu betul Goenawan penandatangan Manifes Kebudayaan. Aku pernah jadi moderatornya di Galeri Nasional saat bedah karya pelukis-pelukis Bumi Tarung yang pejuang Lembaga Kebudayaan Rakyat. Aku sadar betul bidikan Hudan tidak bakal meleset. Goenawan sudah terlalu jauh menyeret dunia seni sastra ke dunia politik. Jadi tak ada yang dapat dipercayai lagi bila orang sudah main politik. Mungkin aku juga bila ketahuan aku baca puisi untuk Pilkada Bojonegoro barusan. Puisiku adalah hasil operasi puisi di bukuku Pertobatan Seorang Golput yang kuterbitkan 2019 saat aku relawan Joko Widodo di Arus Bawah Jokowi. Jadi kalau kau sekarang melihat aku bergandengan tangan dengan Hudan yang apolitis untuk menerbitkan buku Seni Kritik Sastra, kau boleh skeptis. Tetapi aku sudah punya kesepakatan dengan Hudan, buku kami murni seni untuk seni. Di luarnya boleh berpolitik praktis tetapi jangan di grup WA Seni Kritik Sastra. Tidak seperti di grup kami sebelumnya sebagai tamu di situ. Maka kejernihan seni untuk seni menjadi pedoman hidup kami dalam menyusun buku kami. Juga di grup ini. Itu yang tidak diteladankan oleh Goenawan Mohamad yang ujung-ujungnya menjadi Taufiq Ismail kedua. Goenawan menangis menyesal sudah tertipu Joko Widodo. Taufiq menangis setiap baca puisinya. Ah, malu aku sebagai pengagum Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ternyata lawan Lekra adalah orang cengeng. Tetapi menangis kan juga manusiawi. Biar tidak mudah mati. Jadi soal seni kritik sastra juga begitulah. Kalau kau mendukung atau tidak mendukung, kamu boleh saja menangis. Dengan menangis mungkin kamu akan paham betapa seninya seni kritik sastra. Tetapi jangan kaku, yang tidak cengeng seperti Hudan Hidayat pun dapat dengan jernih menilai betapa seninya seni kritik sastra. Kami butuh musuh agar tulisan seni kritik sastra itu hidup. Sudah kusebut dua nama di sini. Sebelumnya aku pernah sebut Sutardji Calzoum Bachri yang kredo seni sastranya kalau boleh kubilang suka berubah. Hehe. Lalu Leon Agusta yang tiru-tiru penyair asing agar kubilang keren. Kau tahulah arti orisinalitas. Maka Hudan tidak suka ada yang menulis tentang plagiat yang maknanya bisa ke mana saja termasuk kami. Coba cari di muka bumi ini, mana ada orang yang mau membuat kritik sastra sebagai seni kecuali kami berdua. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Senin, 07 April 2025
Kuasa Seni Atas Ilmu Sastra
Sekarang kubongkar tentang bedah novel Lanang yang membantainya dari berbagai pisau analisis ilmu sastra dan jurnalistik pada 2008. Mana mungkin pisau bedah jurnalistik dan bahasa dilakukan untuk memahami seni novel itu. Lha pendekatannya bahasa sebagai ilmu pasti. Kunilai dia lupa tentang unsur sastra dari karya sastra. Dia lebih suka bergincu unsur bahasa untuk menciumi karya sastra. Belepotan. Maka hadirlah tiga pendekar pemilih novelku itu. Yang profesor seni bilang, dalam bahasaku, kita sisihkan dulu problematika bahasa pada karya novel ini. Rasakan denyut nadi kesusastraan mutakhir Indonesia. Apalagi yang dibicarakan kalau bukan wilayah seni. Dan profesor itu Sani, menghormati, melayani, memuja, memenangkannya dalam kancah sastra rezim bahasa yang telah membuat kita seperti robot-robot AI tak berjiwa, seperti katamu sendiri. Seberjiwa-jiwamya robot AI, tetap terasa ketidakberjiwaannya. Sedangkan soal seni yang coba dirumuskan dengan lahirnya fakultas jurusan seni murni, bagiku itu bukan mencoba merumuskan apa seni itu. Kita semacam meraba bentuk seni, sementara kita tak sanggup, tetapi hanya sanggup merasakan dan memuja. Ada ilmu seni. Bahkan studi seni ilmu murni itu juga dilembagakan. Ia hanya upaya untuk melihat bayang-bayang seni. Wujud sempurna seni murni itu, ia ada di sana yang kau sebut dengan ide. Jangan sebut ini ketinggalan zaman, terlalu lama, sementara sudah kau timbuni dia dengan berbagai tumpukan kertas teori demi teori yang tak lebih juga sekedar pengembangan atau perlawanan terhadapnya. Tetap arus utama sebagai akar pemikiranmu itu berpijak padanya. Jujuri saja. Aku sudah jujur kok. Jujur itu pondasi seni. Hudan punya cara sendiri untuk jujur. Kamu juga. Kalau kita sudah jujur, dalam mencari dan melayani, kita sedang berseni. Lihat itu. Seni. Sani. Taklukkan kesombongan ilmumu yang penuh klasifikasi teori para ahli sastra yang membuatmu jadi beo-beo SKS teori seni. Jelas, seni kritik sastra, adalah kuasa seni atas kritik sastra. Kuasa seni atas ilmu sastra. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Berhasil Mengalami Seni
Kau bilang jangan percayai ilmu, itu artinya kamu skeptis terhadap kebenaran rasional sekaligus pengalaman yang jadi dasar kritisisme ilmumu. Kamu skeptis terhadap ilmu. Tapi kamu punya peluang setelah itu, percaya terhadap yang di atas ilmu yang tidak kamu percayai. Katakanlah Tuhan. Sebaliknya kamu juga dapat menjadi tidak percaya kepadanya, yang di atas ilmu itu. Jadi kamu tidak percaya Tuhan. Toh kamu yang percaya atau tidak percaya terhadap yang di atas ilmu itu, kamu dapat merasakan keindahannya. Jangan bilang keindahan bunga dan pemandangan Basoeki Abdullah semata ya. Tapi bisa keindahan tai orang Affandi. Yang pasti tanpa percaya ilmu, kamu bergairah pada adanya sesuatu. Itulah seni. Selamat, kamu berhasil mengalami seni. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Kredo Ilmu di Bawah Kekuasaan Kita, Seni di Atas Kekuasaan Kita
Kuingin bilang tentang asal kata seni yang lain, dari kata Sani dalam bahasa Sansekerta. Artinya pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan, pencarian dengan hormat dan jujur. Kalau sudah begini akan terasa bedanya dengan ilmu. Mana pernah ada pencarian ilmu yang dilandasi dengan diksi-diksi itu. Tolong sebutkan bila sudah kau temukan. Kita sering dengar bahwa dengan seni dunia menjadi indah, dengan ilmu semua menjadi mudah. Kukawinkan dah, dengan seni semua menjadi indah karena ada pemujaan dan penghormatan terhadap apa pun, termasuk terhadap sesuatu yang tak kita ketahui batasnya. Tetapi kita merumuskan dengan abstraksi dan klasifikasi kritis dengan metode ilmiah untuk sebuah kepastian ilmu. Kalau belum ketemu, sementara kita pakai teori ilmiah yang lama. Setelah ketemu, barulah kita pakai yang baru, sembari mencari pembaruan lagi, begitu seterusnya sampai ketahuan semakin berilmu semakin tampak kebodohan kita. Ada yang tak dapat kutaklukkan dengan ilmu dan mau tak mau aku memujanya, menghormatinya, melayaninya, semua dengan rasa jujur. Ya seni, aku tak tahu siapa kamu. Kita tahu karena kita merasa menguasai secara pasti rumusan suatu hal. Kita tidak tahu karena kita berada dalam kekuasaannya yang lebih tahu tentang kita daripada kita sendiri. Dengan ilmu kau bilang aku berpikir maka aku ada. Dengan seni aku bilang aku tak tahu maka aku hormat, melayani, memuja. Ilmu di bawah kekuasaan kita. Seni di atas kekuasaan kita. Itu kredoku. Maka aku yakin, Profesor Filsafat seni tidak sembarangan memilih novelku nomor lima dari 252 novel yang bertarung cari muka. Aku yakin itu termasuk novelmu. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Memenangkan Seni Atas Ilmu pada Kritik Sastra
Aku baru mandi. Juga baru mandi teori-teorimu yang bikin handukku melorot. Kubilang tiruan kenyataan tapi tidak berhenti di situ. Kita sudah tambahkan semua hingga teori terkini yang memenangkan seni atas ilmu pada kritik sastra. Hudan Hidayat pun sudah berikan teorinya tentang di atas ilmu yang paling tinggi adalah seni. Lalu kalian permasalahkan seni rendah dan seni tinggi yang kubilang. Seni adalah seni. Kebenaran dan keindahan adalah satu, maka di sinilah letak ilmu dan seni adalah satu. Tetapi oleh karena kita terlalu pintar sebagai manusia, maka menganggap semua hal sudah kita rumuskan sebagai ilmu. Padahal... Jangankan jagat luas tak terhingga semesta. Jagat celana dalamku yang robek saja aku tak mampu menyelami yang paling terkecil dari benangnya yang lepas dan digondol tikus untuk kehangatan sarangnya di dasar tiang kayu lapuk rumahku yang sudah kutimbun semen. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tentukan Seni Kritik Sastramu
Temanku baru pulang. Ini seni. Seni pulang. Lalu kau katakan kalau begitu semua juga seni. Seni datang. Seni pergi. Seni hidup. Seni mati. Sudah kau jawab sendiri. Tapi katamu, itu juga ilmu. Ilmu makan. Ilmu lompat. Ilmu anu. Jadi katamu. Semua bisa seni. Semua bisa ilmu. Aku pun katakan ini seni ilmu kritik sastra. Karena bagimu kritik sastra itu ilmu. Bukan seni. Aku hanya mau katakan, ketika unsur ilmu lebih dominan daripada unsur seni, jadilah ia ilmu. Lalu ketika unsur seni lebih dominan daripada unsur ilmu, jadilah itu seni. Kau sudah utarakan semua filsafat kontemporer yang memenangkan unsur seni daripada unsur ilmu pada kritik sastra. Ya, katamu, tapi kan bukan seni murni. Aku sedang bicara seni, bukan seni murni atau seni terapan pada kritik sastra. Sangat sederhana, penyebab pertarungan antar juri karena mereka punya jiwa seni kubatasi pada dunia kritik sastra. Bukan dunia hukum, RT atau perkelahian antar anak TK. Dan filsafat kontemporer yang dijelaskan Deddy Riyadi jelas memenangkan seni pada saat pilihan anggapan adalah seni. Berarti subjektif, katamu, yang subjektif belum tentu seni. Art. Artificial. Tiruan kenyataan. Itulah seni di tahap awal. Lalu kita tambahkan semua yang lain memperkuat kategori seni. Aku tak pisahkan lagi sastra dan filsafat. Semua adalah seni. Apa pun. Kalaupun kau bilang itu ilmu, berarti bagimu seninya rendah. Bagiku sederhana saja. Semua adalah seni. Tinggal masalahnya seninya tinggi atau seninya rendah. Kritik sastra adalah seni. Tinggal tentukan, seni kritik sastramu tinggi, atau rendah. Mungkin punyaku yang kering. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Membuktikan Kritik Sastra Adalah Seni
Aku mau kasih hal sederhana yang membuktikan bahwa kritik sastra adalah seni. Syukurlah dengan pertempuran kecil hari ini aku makin mantap dengan langkahku bersama Hudan Hidayat. Mau kan kukasih tahu keyakinanku itu? Ya, kalian kan sering ikut lomba sastra, menulis puisi, cerpen, novel. Lalu kalian kalah dan marah-marah. Jurinya tidak adil, jurinya KKN, ini bukan lomba tapi arisan! Begitu kata kalian. Ayo benar atau tidak? Nah, kok bisa jurinya berkelahi menentukan siapa juaranya, lalu setelah kalian kalah, kalian pun menawur mereka. Padahal sudah jelas dikatakan, keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Dah, gitu aja. Mana ada ilmu yang dapat dipertengkarkan begitu. Lomba cerdas cermat itu ilmu. Karena pertanyaannya punya jawaban pasti. Lalu kalian bilang kritik sastra itu parameternya ilmu sosial, ilmu budaya, jadi tetap berkaidah ilmu. Bukan seni. Oh, itu mah berarti ilmu budaya kalian berhenti pada eksplorasi yang sampai itu saja. Lalu sesudah berhenti ya berhenti, mati. Aduh, jadi huruf latin aku. Sudahlah, soal selera juri itu tidak muncul dari sekedar penguasaan ilmu budaya mereka, tetapi lebih oleh karena mereka mempunyai rasa, selera, jiwa. Kalau soal jiwa kalian bilang urusannya sudah agama. Kalau rasa? Selera? Nah ilmu apa yang akan kalian pakai? Psikologi? Halo..., psikologi pun itu masih kategori pseudo ilmu. Ilmu palsu. Nah di sini aku masuk, ini wilayah seni. Maka kritik sastra itu wilayah seni. Aku belum bicara filsafat kontemporer soal ini. Lebih baik menunggu Hudan Hidayat menulis kritik sastra yang gaya penulisannya sungguh membuat angan, perasaan, logikaku terus hidup. Ars Longa Vita Brevis. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Debat Tertulis Bukan Lisan
Saya sendiri senang dengan pendapat berbeda. Termasuk dari H.A. Dan saya malah terpacu bahwa kritik sastra adalah seni. Jadi pelan-pelan saya akan keluarkan jurus-jurus saya dalam tulisan-tulisan pendek tanpa spasi ala Arie M.P. Tamba dalam novelnya Lorong Pusar Rumah yang kubeli di Mejabudaya PDS HB Jassin sebelum wafatnya Bang Arie pra-2009. Bagi saya itu juga debat tertulis, bukan debat lisan. Tidak saya sebut debat karena biasanya berkonotasi lisan. Kalaupun tulisan saya masuk kategori debat, saya menulisnya bercitarasa seni, biar sekalian menabung tulisan. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Perjalanan Panjang Pemikiran Demi Pemikiran
Suer aku senang dengan kalian yang punya pendapat berseberangan. Dan aku tak kan debat kalian karena aku sedang berkarya. Kuyakin Hudan juga begitu. Kalian juga begitu kan, maka tulislah di sini pikiran dan perasaan kalian. Anggaplah itu catatan harian. Kumpulkan suatu saat menjadi karya utuh. Punyakmu itu. Mainkan. Ini musik bukan gambang kromong. Tapi boleh kau bilang itu pula. Dulu pun kedokteran dibilang seni. FK Unair zaman Belanda adalah Medical Art. Seni kedokteran, seni pengobatan. Sun Zu juga punya seni perang.Kau bilang itu makna konotatif? Denotatif atau bukan, kami sedang menghidupinya. Hudan Hidayat sudah berperang dengan seni sastranya sedari dulu. Maka ketika aku dan dua Rumpun Jerami lain yang sama berambut panjang buka lapak jualan Padang Bunga Telanjang di Graha Cipta 3 TIM 2003, aku pun beli Keluarga Gila-nya Hudan dengan CWI-nya. Creative Writing Institute. Ini dunia kreatif, hehe, kita sudah sama paham dan menjiwa. Dari Martin pun aku belajar, ini catatan perjalanan panjang pemikiran demi pemikiran manusia. Kata Plato kita kan punya Sema dan Soma. Mana tubuh dan mana jiwa. Pilih sendiri. Dan jiwa pun kita punya sais rasio untuk dua kuda bersayap kita. Satu perjuangan naik ke atas, satu nafsu turun ke bawah. Untung dua hari lalu aku sudah bersama Mahadewa di surga kesatu. Jadi tahu arti mayapada. Dan aku tak akan hanyut di mayapada penuh fatamorgana. Puah! Ini bukan mantra Tardji sang menantu pengusaha obat hewan kita. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Dikotomi Sastra Versus Literasi
Ratusan judul buku lahir di penerbitanku. Aku tak bilang penerbit, tetapi jasa penerbitan. Karena bagi Vitta penerbit itu harus keluar duit untuk menerbitkan buku penulis. Sedangkan pada kami, penulislah yang membiayai penerbitannya. Penerbit Indie, nama bekennya. Paling banyak adalah buku puisi, lalu cerpen. Umumnya karya sastra literasi. Di sinilah muncul pergolakan batinku tentang sastra versus literasi sehingga kutulis esai di Jawa Pos. Lalu jadi perbincangan kami, aku dan Mashuri Alhamdulillah di mimbar Bojonegoro Literary Festival 2019. Lalu belum lama ini di grup WA penulis puisi kuakhiri sendiri Dikotomi sastra versus literasi. Kuanggap kau mengertilah, lebih baik kuselami setiap tulisan mereka dan kalian agar aku semakin kaya. Apalagi modalku untuk kaya selain kaya batin maka kutulis ini. Ini budaya Boeng. Bukan sekedar seni. Kebetulan kita bertajuk Seni Kritik Sastra. Memangnya sastra punyak elo sorangan dhewe. Ini kritikku sedari dulu. Maka saat kami terbitkan sekumpulan puisi Padang Bunga Telanjang 2003 bersama Sihar Ramses Simatupang dan Badri AQT kubikin statement, kembalikan puisi kepada pemiliknya yang sejati. Penyair pun GeEr, merasa pemilik sejati puisi itu mereka. Salah Boeng. Pemilik sejati puisi itu Plato lalu Aristoteles hahaha. Tanpa mereka tak hadir istilah puisi. Lalu kau bawa ke tulisan Mazmur zaman Daud dengan kaidah puisi Yahudi. Aduh, Bung, aku cuma main-main. Ini cuma kritik bercitarasa seni bahwa puisi itu juga milik petani. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Fitrah Sastra dan Filsafat
Vitta sedang berkicau di sebelahku sementara burung walet menunggangi gemuruh kipas angin. Kubilang gemuruh karena dulu pernah begitu, meski kini tak. Masa lalu Hudan Hidayat katakan ditinggalkan oleh yang berenang sendiri. Aku pelajari filsafat ilmu, tidak ada yang sama antar para filsufnya. Bahkan semua filsafat juga begitu. Bahkan tugas filsafat memang itu, untuk memberi ruang pemikiran-pemikiran baru. Yang kreatif. Yang alternatif. Maka ketika gerakan seni kritik sastra ini kami munculkan bersama, sesungguhnyalah ia sedang mewujudkan fitrah sastra dan filsafat, filsafat dan sastranya sendiri. Vitta masih mengoceh sementara perutku berkokok memanggil terang bulan atau martabak manis yang kami beli tadi malam. Ini seni kritik sastra bukan hendak menjadi pengganti HB Jassin yang tidak pernah ada penggantinya meskipun seribu kritikus muncul. Seperti Galileo bilang, seribu Plato dan seribu Aristoteles tidak mungkin dapat memecahkan misteri alam semesta, maka eksplorasilah ia. Kami juga begitu. Hudan seniorku di sastra, 5 tahunan lebih tua dariku. Aku sendiri sejak dulu menulis di media sosial dan menjadi buku. Ilmu gratis kubagi karena aku pun mendapatkannya gratis. Cuma besok kalau jadi buku maka urusannya dengan buku. Kritik sastra dapat seperti itu. Ia akan bersifat itu karena ia sedang mengeksplorasi alam semesta dengan berbagai kemungkinan, kreativitas, alternatif demi alternatif. Kita bukan tukang batu yang harus memakai batu untuk membangun rumah baru. Kita dapat memakai batu. Bata itu batukah? Aku tidak hendak jadi kaum sofis yang membedakan kuda dengan kuda hitam demi sebuah kemenangan debat kusir. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Dikotomi yang Sudah Runtuh
Aku sering mencari jalan pintas untuk sebuah pengertian, dengan jawaban ya atau tidak, benar atau salah. Pendidikanku memang begitu, sedari ada kertas THB, Tes Hasil Belajar, waktu aku SD. Juga pilihan tunggal, atau pilihan berganda. Maka pola pikirku masih saja begitu sampai aku 56 tahun ini. Bahkan untuk sebuah ilmu budaya pun aku masih suka berhitung matematika. Satu ditambah satu sama dengan dua. Padahal filsafat barat klasik dengan dikotominya sudah runtuh, dengan adanya perantara di antaranya yang juga ada. Masih saja pikiranku sesuatu ada tidak bisa bersamaan dengan tidak ada. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya yang tidak bisa berenang. Maka gaya batulah aku, ketika Putin dan PM Jepang konon sudah naik sepeda motor terbang. Semoga berita mereka begitu itu hoaks. Sehingga aku bisa berkata, aku secerdas petugas dinas pendidikan yang dulu bernama dinas P dan K. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Seni untuk Mengkritik Karya Seni
Dulu saya sering menjadi juri lomba baca puisi. Di situ ada kriteria penilaian. Penjiwaan, pengucapan, penampilan. Seperti kata Galileo Galilei semua hal dapat diangkakan. Maka penilaian diberikan dengan angka demi angka berdasar kriteria. Pada akhir penilaian untuk menentukan juara, juri memaparkan penilaian umum berdasar kriteria. Disampaikanlah kritik dan masukan. Maka jadilah, kritik pun berlaku. Saat ini saya menulis proses kritik itu dalam tulisan gaya saya. Ini kusebut seni. Kritik yang kulakukan sudah menjadi seni. Ada banyak cara untuk berkesenian. Sesungguhnya saat mengkritik pun ada cara yang berseni. Seni itu ibarat ada 1000 dokter berarti ada 1000 diagnosis untuk suatu penyakit. Penyakitnya sama, tetapi diagnosisnya dapat bermacam-macam. Pemeriksaan kesehatan oleh dokter juga sebuah seni. Apalagi kritik terhadap karya seni. Bukankah yang kita maksud dengan sastra adalah sebuah seni? Mengapa tidak mau memakai seni untuk mengkritik sebuah karya seni? (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Kritik dengan Cara Sastra
Seorang penulis puisi mengamuk akibat puisinya disebut jelek. Wajar, kritik sehalus apa pun tetaplah kritik dan sesungguhnya menyakitkan. Kritik terhadap karya sastranya pun terasa sebagai perlakuan yang tidak sastrawi meski dilakukan di ruang sastra. Dengan menghidupkan seni kritik sastra sesungguhnya kita sedang menghidupkan seni bagi yang dikritik sekaligus seni yang mengkritik. Sekaligus kita menghidupkan budaya tulis yang sekarang tenggelam oleh budaya lisan meski secara fisik tertulis di layar grup WA. Ini sekaligus tabungan kita menghasilkan karya, alih-alih menguar budaya lisan yang terlalu hiruk pikuk di era post truth saat ini. Yang terlalu sering berbicara seolah-olah pemilik kebenaran. Kita dapat memilih langkah kita sendiri dengan memberikan kritik secara tertulis untuk membangun seni sastra kita sendiri. Mari tuliskan kritik-kritik kita terhadap karya-karya sastra siapapun itu, dan fenomena kesusastraan umum, dengan cara sastra kita. Mari bangun kepribadian kita yang lebih berbudaya dan bercitarasa seni. Hal ini secara rasio dan pengalaman akan lebih berguna. Dan membuat kita semakin cinta pada proses yang telah dan akan terus kita jalani. (YR)
Kritik Sebagai Seni Tersendiri
Filsafat kritisisme Imanuel Kant menjembatani rasionalisme Rene Decartes dan empirisme David Hume, pada abad pencerahan abad 18 dan 19. Bahwa bukan hanya rasio dan bukan hanya pengalaman yang dapat dipakai sebagai alat mendapatkan kebenaran. Kritik sastra tentu juga kritis terhadap sastra yang masuk ranah seni. Tetapi selama ini kritik sastra sering kering sebagai ilmu, berbeda dengan seni. Memang ada lomba kritik sastra, tetapi kemunculannya lebih sebagai pendukung munculnya karya seni bermutu daripada kritik sebagai seni tersendiri. Bagaimana menjembatani kutub-kutub ini? Amanlah kita yang pelaku seni sastra yang dapat berekspresi menuangkan kritik sebagai suatu seni tersendiri. Pernah saya coba lakukan saat mengkritik karya-karya sastra yang dibacakan pada acara Lampion Sastra Dewan Kesenian Jakarta sekitar 2004. Ternyata asyik, narasi kritik itu selayaknya cerita tersendiri, prosa ataupun puisi. Maka kritik sastra menemukan jalan seninya. (YR)
Tulisan Lisan yang Panjang
Vitta mengaku terheran-heran membaca tulisan di grup ini yang panjang-panjang saling bersahutan. Ini media hebat, katanya. "Mas Yo bersamaku beli teh jumbo," kata Vitta seraya mengucap, "Seperti di grup ini. Banyak ilmu kudapat." "Mas Yo memang begitu, suka belajar filsafat sendiri. Saya baca tulisannya dengan teman-temannya di grup seni kritik sastra ini," kata Vitta seraya menambahkan, "sehingga saya tahu tentang Hudan Hidayat dan teman-temannya yang lain." Vitta sedang makan bakso granat sebesar granat tidak jauh dari tempat Fathur Rohman yang pernah menulis di sini. Baru pertama kali dijumpainya grup semacam ini. Grup pembela budaya menulis bukan budaya lisan. "Meski tulisan Mas Yo dapat pula disebut sebagai tulisan lisan yang panjang," kilahnya sambil mengunyah granat. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Sastra Tidak Sempit
Mengalir kok Senior Hu, aku menulisnya, jadi seakan tanpa teori. Teoriku sebetulnya banyak sekali, mulai dari teori ayam mencari makan sampai babi kuda disuntik mati. Tapi aku lupa semua caranya, hanya kuambil saripatinya untukku menulis ketika harus menulis dengan isi hati. Terlalu oon aku bila harus persis nama-nama sel-sel dan jaringan sehat serta sel-sel dan jaringan sakit. Teorinya ada di ilmu jaringan sehat dan sakit. Histologi dan histopatologi. Kalau hafal ya aku akan jadi dosen. Aku yakin temanku yang pintar juga sudah lupa semua. Namun aku yakin ada strukturalisme untuk semua hal itu. Maka kupakai hal itu untuk menulis. Dunia berbeda kutub secara ekstrim kulakoni, maka kalau aku menulis sastra termasuk seni kritik sastra, ya semua keluar begitu saja. Sangat asyik Hu, cara ini. Ini bukan kebenaran aksioma Hu. Tapi ini yang kumiliki. Lalu terceliklah mata batinku ternyata yang ilmunya linier sastra atau bidang yang digeluti tak berjauhan dan kurang variatif, maka mereka akan punya cara pandang versi mereka sendiri yang macam itu. Hanya ini yang kubilang, seni sastra itu kan dunia budaya, mengapa begitu diperlakukan sekaku itu. Pakai kaidah jurnalistik lagi. Jurnalistik dan sastra jelas beda. Adanya jurnalistik sastrawi itu bukan solusi, karena itu perkawinan semu bila yang ditunjukkan wujudnya seperti itu. Sastra tak sesempit pandangan mereka. Aliran sastra saja yang kubikin konten tempo hari ada 12. Itu yang dapat ditandai. Firman atau Kata Tuhan itu kan sastra, Hu, seperti katamu. Dunia roh dari Firman itu lebih heboh dalam senyap. Maka ada doa yang tak terucap. Lalu dipermiskin dengan mantra Sutardji Calzoum Bachri. Miskin amat, mantra dibikin seperti itu. Orang berbahasa Roh ya gagap kalau akhirnya harus berpura-pura menyebut kata-kata tertulis di buku-buku Tardji yang belakangan berkredo lain lagi. Terlalu luaslah bahasa Roh itu. Mantra itu hanya secuil upil. Sastra kok dikerdilkan dengan aturan-aturan seperti pasang kateter untuk orang tua jompo. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Seni Kritik Sastra Produk Budaya
Hudan Hidayat, polemikmu dengan Taufiq Ismail 20 tahunan lalu (2007) dikomentari seseorang di blogspot sebagai pertarungan orang tua melawan orang muda. Kamu yang disebut muda itu, Hu. Yang tua takut norma dilibas, yang muda semangat dengan pembaruan. Lalu kedua-duanya dibilang emosional sehingga tidak saling apresiasi. Taufiq tidak mengapresiasi tulisanmu, Hu. Aku baru makan nasi pecel bungkus daun jati, maka segar pikiranku menulis hal itu kini. Masa kamu sekarang masih muda Hu. Masa kamu masih emosional seperti Taufiq yang saat itu dibilang tua. Tidak Hu, tulisan-tulisanmu kini tenang air menyelami air. Kau air yang menjadi air. Hanya lelaki ikan yang mampu berbuat demikian. Absurd sekali rasanya polemik itu saat ini. Sudah lewat ya kasusnya. Semua sudah kembali ke air. Seperti semua berasal air. Seperti, kataku. Karena hanya Thales yang bilang asal muasal semua adalah air. Maka ketika tulisanmu disorot membandingkan kitab suci yang memuat Adam dan Hawa yang telanjang dengan tulisanmu yang dianggap Taufiq porno, banyak yang alergi. Kitab suci kok dibandingkan fiksi. Ah kasusmu mirip Rocky Gerung yang bilang kitab suci itu fiksi. Untung kalian punya Agil Siradj yang memposisikan agama dan budaya secara manis. Kini antar budaya sendiri dalam sastra orang juga berselisih paham. Maksudku soal kritik sastra ini. Bagiku bagaimana pun ia produk budaya. Seni itu juga produk budaya. Ilmu juga produk budaya. Mengapa aku memilih seni untuk kritik sastra Hu? Bukankah dengan demikian aku menjadikan penulisnya hanya sebagai seniman? Dan seniman itu sempit dunianya dibanding budaya. Tidak Hu. Karena yang dihasilkan kritik sastra adalah tulisan. Maka seni kritik sastra wajar sebagai sebuah seni. Pelakunya seniman sepertimu. Hasilnya karya seni dengan segala dimensinya. Sayang sekali sudah tua 20 tahun lalu, Taufiq saat itu berpendekatan non seni ya Hu pada karya-karyamu. Pendekatannya moral dan agama. Budaya? Bisa jadi. Tapi budayanya siapa. Toh kita tahu budaya Taufiq adalah baca puisi sambil menangis. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Minggu, 06 April 2025
Ahli Klinis Sastra
Vitta curhat terus kepadaku dan aku mendengarkan sambil menulis ini. Nanti akhirnya Vitta puas dan aku akan punya tulisan satu ayat paragraf panjang. Nanti tulisanku jadi buku bersama Hudan. Akan aku tulis terus seperti ini. Temanya tentang seni kritik sastra dari sudut apa pun. Jadi ini seni yang dinamis. Hudan baru menulis tentang karyanya di Facebook, maka aku akan membahasnya sambil menanggung efek minum decolsin. Kegilaan dalam menulis ala Hudan mirip dengan caraku ini. Dilabraknya pagar-pagar, baik yang virtual maupun nyata. Eksperimentalis seperti ini akan mampu menggali kedalaman jiwa manusia yang kecerdasannya tercatat setidaknya 9 kecerdasan bukan cuma IQ yang diagung-agungkan. Emosi diulas sedemikian mendalam bukan hanya gaya impresionis dan ekspresionis, apa pun dapat muncul. Kalau kau bilang ini analisis psikologi menyatu dalam sastra kau akan sadar bahwa sastra Hudan bukan cuma alat komunikasi seperti dilakukan oleh pejabat lembaga seni sastra yang baru muncul setelah sekian lama menjadi wartawan. Hudan lebih canggihlah dari sosok seperti ini. Sastra tak sekedar alat komunikasi. Di karya-karya Hudan ia pisau analisis yang menyilet dan menguak selapis demi selapis kata dan makna. Sebagai ahli klinis sastra, metode berkarya Hudan tak mungkin dapat diikuti oleh mereka yang berpikir linier. Kau sudah sering membaca tentang metode berpikir itu tak terhingga. Mungkin kau belum pernah dengar tentang pemikiran horizontal. Dan cara berpikirmu masihlah cara berpikir vertikal. Aku tak menyalahkanmu. Aku tahu tentang cara berpikir kontemporer ini juga setelah baca buku Filsafat kontemporer. Maka kalau mau tahu cara berpikir Hudan dan kaitan karyanya dengan seni kritik sastra, harusnya kau juga baca dulu buku macam ini. Eh, tidak, eksplor saja semua dengan indra-indramu. Lalu tulis dengan pemikiran-pemikiranmu yang merdeka. Mungkin kau tabrak marka konvensional. Tapi apa marka itu ada sesungguhnya, jangan-jangan ia ilusi. Kalau kau tak mampu menjalankan hal ini mungkin kau akan merasa waras. Tetapi manusia itu elemen jiwanya tidak cuma waras. Di lawan katanya, waras bukan cuma berhadapan dengan gila lho. Maka bagiku Keluarga Gila Hudan itu bukan posisi dikotomis macam itu. Siap-siap kau masuk dunia riil lhoh kalau kamu mampu membaca Keluarga Gila Hudan yang miniatur dunia. Kan miniatur ini juga mimesis Plato. Tapi jangan berhenti di sini. Nanti kau hang. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Sabtu, 05 April 2025
Bukan Penadah Teori
Selalu mengingat masa lalu menjadikanku tua. Selalu menatap masa depan menjadikanku selalu muda. Tak lagi saatnya mengingat masa laluku dalam bersastra karena itu. Kini masa depanku yang kupikirkan. Salah satunya bergerak dalam seni kritik sastra bersama Hudan Hidayat. Ini langkah utopis, bisa disebut demikian. Fatamorgana, bisa disebut demikian. Karena kami pelaku sastra saja, tak punya kedudukan apa-apa dalam dunia akademik Sementara kurikulum pendidikan dan teori sudah mengokoh bahwa kritik sastra termasuk ilmu. Semua yang bersifat kritik akan berdasar ilmu. Ya tetapi bagiku ia hanya bagian dari seni. Seorang pelukis akan menggambar sesuai tuntunan keterampilan menggores kuas pada kanvas, membuat bentuk, menggambar bayang-bayang, mewarnainya, itu ada tekniknya. Maka dapat disebut ilmu melukis atau menggambar. Ketika unsur lain dilakukan, mewakili ekspresi, impresi, abstraksi, jiwanyalah yang bermain. Di situlah seni berkuasa. Tak mungkin seorang pelukis disamai oleh pelukis lain, saudara kembar sekalipun. Maka hasil lukisannya disebut sebagai karya seni lukis. Kemudian ada pengkritiknya. Memakai kerangka berpikir yang sama, maka ada ilmu di saat kritik dijalankan. Tetapi seni pun berkuasa atasnya, karena tidak satupun seorang kritikus dapat disamai dengan kritikus lain. Di sinilah aku menawarkan bersama Hudan Hidayat, mengapa kalian tak mengeksplor tentang seni ini lebih liar. Kalian lebih suka memakai teori yang sudah terbentuk secara konvensional oleh para ahli sastra. Tetapi kami tidak. Hanya itu bedanya. Kami lihat peluang untuk mengubah kurikulum itu tidak ada. Kami harus berhadapan dengan semua profesor sastra, semua dosen, semua kritikus. Apa pun yang terjadi, yang kami lakukan terus menulis tentang kritik sastra dengan berbagai eksplorasi seninya. Kami tidak mau menjadi penadah teori yang akhirnya menunjuk jari kepada kita, "Kita kekurangan kritikus sastra. Semua lebih suka menjadi produsen karya sastra daripada produsen kritik sastra." Kami melakukan keduanya sekaligus. Jangan pandang kata produsen dari sudut pandang ekonomi bisnis ya. Dasar matrek. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Logika Sebab Akibat
"If you want to change the world, pick up your pen and write" (Martin Luther) Tulisan Bapak kita ini dikutip seorang waka kurikulum sebuah sekolah. Dia yang saudara sepupu kita mungkin tak berpikir siapa penulisnya. Hanya isi tulisan Bapak kita ini bagus. Puji Tuhan. Demikian tulisku di grup WA alumni persekutuan doaku waktu di kampus. Tetapi ini dibantah oleh seorang alumni yang pendeta. Menurutnya itu bukan tulisan bapak reformasi Kristen, tetapi tulisan Martin Luther King Jr, seorang pendeta Baptist Amerika yg menjadi salah satu tokoh gerakan kesetaraan orang kulit hitam.. Aku pun kirim link-link keberadaan quotes itu yang menghubungkannya dengan sang bapak reformator. Eh ada link yang isinya menyebut sumber dari bapak reformasi tidak jelas. Lalu kukatakan bahwa tak perlu memperpanjang masalah quotes Bapak Martin Luther, yang kita sama-sama tidak tahu. Kita baca puisinya saja: wow beliau penyair. Judul puisinya yang kukirim: In Peace and Joy I Now Depart. Dengan 96 dalil beliau, semua berupa tulisan. Terlepas quotes tadi milik beliau atau bukan, Martin Luther memang betul telah mengubah dunia dengan tulisannya yang ternyata sangat banyak termasuk puisi-puisinya. Maka saya jadi paham, kataku, mengapa Dik Dwi Cilacap alumni UK3 rajin menulis puisi di Kompasiana dan buku. Kemudian kukirim link wikipedia di mana Martin Luther King Jr di Wiki ini tidak tercatat tulisannya seperti apa, meski ia jago orasi. Sedangkan Martin Luther Bapak Reformasi sangat banyak tulisannya. Aku dan Hudan Hidayat sedang merawat tulisan dengan seni kritik sastra. Maka data semacam ini sebetulnya perlu, dengan sedikit logika awam. Seorang menganjurkan rajin menulis, tentu dia sendiri harusnya juga rajin menulis. Seorang menganjurkan kritik sastra adalah seni, maka sewajarnya dia juga punya jam terbang seni dalam kritik sastra, apalagi sastra yang dikritiknya. Maka wajar Hudan Hidayat mengungkap data tentang kami. Wajar menurutku. Tak berlebihan. Kami sedang berjuang. Mohon doa restunya. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Jumat, 04 April 2025
Membicarakan Karya Sastra
Aku menulis ini di depan warung makan sambil menunggu temanku datang. Caraku membuat bahasan seni kritik sastra memang berbeda dengan cara Hudan Hidayat. Aku mengalir seperti sungai dari bukit Sion ke lembah Hermon. Dedy Riyadi paham itu. Bagiku itu seni. Bahkan cara menulis novel-novelku juga demikian, di antaranya. Aku tak mau memotong tulisan-tulisanku menjadi rapi berekonomi kata seperti kata Ezra Pound dalam membuat puisi, seperti yang Hudan tulis. Maka kalau buku kami berdua jadi, demikian juga. Semoga jadi. Lagipula aku tak peduli ini puisi atau prosa atau dibilang non sastra sekalipun. Bagiku ini seni, yang boleh jadi belum dirumuskan oleh para hakim sastra guna memudahkan klasifikasi. Martin Aleida pernah bilang di Mejabudaya tentang emosi yang terpelihara dalam tulisan yang ditulis secara langsung. Apakah tulisanku ini seni kritik sastra. kujawab ya. Sebagai kritik sastra ia membicarakan tentang karya sastra yang pasti kan kau temui di halaman-halaman berikutnya. Bukuku Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro pernah jadi nominasi Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur kategori kritik sastra. Nominasi karena pesertanya sedikit. Kalah oleh disertasi doktor fakultas pendidikan bahasa. Menang atas buku lain tentang apa aku lupa.Semua kategori kritik sastra. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Menjadi Karya Sastra
Sekarang aku di dalam warung pasang kuping ada tiga wartawan sedang berbincang. Banyak wartawan sekaligus sastrawan di negeri ini. Di WAG Ruang Sastra, Kongkow Sastra, Partey Penulis Puisi, itu tempat mereka berkumpul. Wartawan sekaligus penyair, atau sastrawan jenis lain. Bahkan ketua komite sastra kota megapolitan yang pernah di WAG Seni Kritik Sastra ini juga kukenal sebagai wartawan di kota pantai berbatas dengan Singapura. Yalah kau tahu, Hasan Aspahani adalah redaktur Batam Pos waktu itu. Puisi-puisiku pernah dimuatnya di koran ini. Kritik puisiku bertema makanan itu pernah dibahas di Newseum Cafe Jakarta dengan pembahas Binhad Nurrohmat dan Pakcik Ahmad, 2009. Pada banyak acara bedah buku sangat sering kudengar ungkapan pisau bedah analisis buku bila tidak tepat akan dapat merusak segalanya. Bahkan dibilang dapat membikin kasihan penulis atau penyairnya. Misal, seharusnya pakai pisau bedah kok pakai kampak. Yalah, kalau itu bedah hewan sungguhan. Kan aku berpengalaman soal ini. Setidaknya pernah. Lalu penerapan untuk sebuah karya seni budaya. Apakah juga demikian? Hudan Hidayat menulis apakah yang kita rasakan saat membaca puisi. Ini juga sebuah kritik sastra. Begitu kita terpaku membahas suatu karya dengan satu metode. Ketika Hudan menulis ini lalu menguraikannya, dengan caranya, sesungguhnya ia sedang membuat kritik sastra. Ini contoh konkret filsafat kontemporer yang secara panjang lebar diuraikan oleh Dedy Riyadi, bahwa kritikus punya kekuasaan mutlak dalam membahas suatu karya sastra sehingga ulasannya menjadi karya sastra sendiri. Ini contoh konkret dari analogi membedah buku puisi dengan pisau analisisnya adalah kapak raksasa. Jangan sebut ini salah atau benar. Bahasan seni bukanlah tentang salah atau benar. Itu urusan agama. Hanya aku pernah salah langkah tidak daftar ulang sebagai mahasiswa jurusan seni murni. Padahal aku diterima di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB 1987 jurusan itu. Aku lulus ujian masuknya. Bila aku teruskan masuk di situ, mungkin akan menjadi seperti kamu yang suka berteori seni sehingga malah menjadikan seni terasa kering karena berdisiplin ilmu. Mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan terutama yang lulus sarjana seni murni. Biarkan aku ikut memurnikan seni murni kritik sastra dengan caraku sendiri. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Nafsu Berbalut Sastra
Tadi kulihat Dedy Riyadi menulis di Grup WA Seni Sastra. Tapi ternyata tulisannya tidak muncul. Lalu muncul puisi yang memuat kata alibi dan ranum oleh Umar Tajjudin. Hudan Hidayat pun menulis tantangan kepenulisan yang mengasyikkan. Sementara aku mau tidur karena kurang tidur. Makananku kritik sastra karena tiga bukuku diteliti menjadi puluhan skripsi, tesis dan jurnal ilmiah. Terus kau bilang logika kuantitas dibanding kualitas untuk sebuah kebenaran. Kepalaku berdenyut terlalu banyak minum es teh. Dalam tulisan ilmiah tiga buku itu ada kritik sastra yang bikin penulisnya menjadi sarjana dan magister, dan doktor makin motor. Makanlah itu kalau kau bilang itu kritik sastra yang matang. Mari kita bermain-main seni yang menggoreng nasi kritik sastra tidak kering kerontang nasi karak. Kita mulai dari mana? Terlalu banyak buku kesepian sekarang. Kesepian karena nafsu disebut sastra. Hitung buku puisi yang saban tahun dikirim untuk hari puisi. Pret. Aku juga menerbitkan buku puisi salah seorang pesertanya. Orangnya bukan aku. Dan kalah. Tapi ia punya jalan sendiri. Di Amerika buku puisinya dibahas orang. Meski di dalam kelas. Hanya namanya keren. Seperti university poetry day. Itu buku yang beruntung. Bukan. Penulisnya yang beruntung. Lihat aku tidak bahas instrinsik buku itu. Tapi aku juga belajar ada sosiologi sastra. Aku tidur saja. Setutup mata orang cari peruntungan di dunia literasi dan sastra. Maunya jadi pahlawan sastra. Eh nyatanya lebih suka demonstrasi politik dengan puisi daripada menulis sepertiku. Menulis catatan harian dengan dalih seni kritik sastra. Kalau begitu aku dan mereka sama saja. Mbelgedes. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Amplitudo Makrifat
Titiyani Sirep Tidhem. Tepat pukul dua belas malam aku terjaga dari tidur soreku. Langsung kugosok gigi, minum air putih, dan mau kembali tidur. Seharusnya begitu. Karena begitu masuk waktu selanjutnya kita masuk waktu Gandayoni. Saat mimpi sesungguhnya alam bawah sadar yang mewujudkan. Hudan Hidayat dengan penuh kearifan menangkap pesanku oleh karena kematangannya dalam bersastra. Tataran tulisannya sudah melampaui bentuk bermakna, tahap yang dianggap terakhir dalam langkah-langkah seni. Tiruan kenyataan, universalisasi nilai-nilai individu, nilai-nilai ketuhanan-kebenaran dan kebaikan, serta bentuk bermakna itu. Kalau Umar Tadjuddin masih mempersoalkan bentuk, aku menganggap itu bukan mengkritik tulisanku tetapi lebih bagus memang anggota grup WA Seni Kritik Sastra berpendapat apapun dan menulis apapun secara bebas di sini. Agar grup hidup. Sekaligus menunjukkan kepada dunia. Kita sedang merenangi seni kritik sastra yang tidak anti kritik. Yang antikritik kuanggap dapat ditandai dengan dia keluar dari grup ini padahal dia sesungguhnya sudah masuk oleh karena mengaku tertarik mengetahui ada grup dahsyat beramplitudo makrifat bernama Seni Kritik Sastra. Aku dan Hudan, ya Allah ya Rabi, bila Kau ridai kami dengan umur kami, izinkan kami terus berkarya dengan seni kritik sastra ini sampai maranatha. Maranatha adalah waktu kedatangan Tuhan Yesus umat Nasrani datang kembali ke bumi sebagai kiamat nanti. Dedy Riyadi sangat paham ini, maka ia menulis tentang metafora Alkitabiah tentang hakikat seni kritik sastra sendiri. Puji Tuhan, bagiku. Tulisanku liar, karena memang itulah berbagai gaya bahasa, bentuk sastra, aliran sastra sudah menyatu dalam diriku. Saat itu, aku menyebut novelku beraliran multidimensi saat bersama Profesor Faruk aku menjadi narasumber dalam acara temu pengarang di depan mahasiswa S2 Universitas Muhammadiyah Malang. Saat itu 2012. Maka 13 tahun kemudian, sekarang. Hudan Hidayat sudah lama bersanding dengan Roland. Barthes, yang mencumbui semiologi mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Ya Hu kau sudah mengalahkan dia Hu, dengan amplitudomu kau sudah menghidupi kerinduan Deddy, sekaligus mengajak Umar memberi tafsir atas koma demi koma. Itu semua bagus Hu, karena grup seni kritik sastra adalah Amplitudo juga. Jarak terjauh dari titik kesetimbangan pada getaran. Dengan amplitudo kita sumbangkan sedikit parameter pengukuran energi untuk mendeskripsikan gelombang. Jangan dibilang amplitudo ini bertitik pemahaman kita yang superdangkal. Yang kita sadari sehingga terus menulis seni kritik sastra yang sekaligus juga melapangi mengkritik dan dikritik tanpa berpuas diri. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Bukan Lagi Non Sastra
Hudan Hidayat, jangankan tulisan kita, Hu. Lirik lagu Bob Dylan yang menerima anugerah sastra Nobel 2016 juga membuat pelaku sastra Indonesia meriang. Juga terhadap puisi naratif atau prosa liris Denny Januar Ali tidak kusebut nama pilihannya karena aku tidak bersetuju oleh sebab sudah ada tulisan model begini. Meski dengan berbagai pembelaan yang disebut Umar Tadjuddin sebagai alibi. Jadi aku termasuk juga meriang ya, Hu, terhadap kelahiran gerakan mereka. Hahaha. Karma ya Hu. Maka ketika gerakan seni kritik esai kita lahir, kita pun bikin mereka juga meriang. Tapi aneh mereka tidak meriang dengan novel model autobiografi atau autobiografi sebagai novel Annie Ernaux penerima nobel sastra 2022. Ah Hu, memangnya aku pembawa termometer tubuh orang. Di Mejabudaya 2000-an pernah dibahas Diary Anne Frank juga kok Hu menjadi sastra berkelas dunia. Jadi mengapa kita membahas meriang-meriang model begitu. Dunia kreatif memang tak terbatas. Dan Dedy Riyadi sudah membahas novel Eddy D Iskandar, yang tak pernah dilirik pemuja sastra itu. Biarlah Hu. Maka aku pun tak membahas puisi Sonian Sony Farid Maulana yang pernah membahas kumpulan puisiku bersama Sihar Ramses Simatupang dan Badri AQT di Ultimus Bandung 2004. Apalagi puisi Sugiono Empe yang selalu diduetkan dengan Denny Januar Ali selalu digempur dengan meriang oleh para tidak setujunya. Kita lain sih Hu. Kita tidak lagi ribet soal aliran sastra. Malah kita melampauinya. Mau membuat kritik seni bukan lagi non sastra. Tetapi ia sastra. Bahkan seni. Hahaha. Tentu saja kurikulum akan berubah Hu. Padahal yang kita persoalkan adalah soal hakikat. Dengannya kita melakukan makrifat. Kau Muslim yang taat, Pak Haji. Perkenankan aku yang di luar domainmu menyebut -permisi- dalam konteks Islam, khususnya tasawuf, makrifat merupakan pengetahuan atau pengenalan mendalam tentang Allah SWT. Tidak berhenti di situ, tetapi ada jalannya. Yaitu, pengenalan itu dicapai melalui hati serta pengalaman rohani. Bukan sekedar pengetahuan intelektual. Maka di sini seni berbicara. Aku terlalu sering melihat pegiat partai politik menjadi kalah berpolitik karena kaku sesuai ilmu politik yang mereka pelajari. Kau lihat Joko Widodo, apa dia bukan canggih dalam politik? Itu bukan karena dia menguasai ilmu politik. Dalam hal ilmu ini ada Pratikno. Tetapi seni politik Joko Widodo lebih kampiun. Ini hanya sekedar ilustrasi. Ini pun sudut pandang lain tentang seni kritik sastra, bahwa ia adalah seni. Semoga para meriang tidak terpaku pada ilustrasinya ya Hu. Aku sudah belajar ribuan jam mendengarkan perbincangan ilustrasi kok Hu. Dan dengan jernih aku dapat menangkap esensi. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra