Rabu, 16 Juli 2025

Menguak Tirai "Bedhug": Sebuah Perjalanan Sastra dari Djajus Pete, Sastrawan Jawa Pengukir Kata dari Bojonegoro


Penerbitmajas.com - Di tengah siang hari terang benderang Minggu, 13 Juli 2025, suasana syahdu menyelimuti sekretariat Sanggar Sastra Djajus Pete di Jalan K.S. Tubun Gang Iro 5 Kadipaten, Bojonegoro. Bukan gempita riuh yang terdengar, melainkan kekhusyukan Tadarus Cerkak "Bedhug" karya mendiang Djajus Pete, sebuah persembahan bagi sang maestro sastra Jawa.

Lantunan Kata dan Renungan Hati

Pada giliran pertama, suara Slamet Widodo, seorang guru dari MTsN 3 Kepohbaru, mengalun lembut, mengisi ruang dengan narasi "Bedhug." Delapan kali karyanya menghiasi halaman Jawa Pos Radar Bojonegoro menjadi saksi kepiawaiannya, namun kali ini, ia mengaku terkesima oleh kedalaman kisah Djajus Pete. Menyusul kemudian, Moh. Alim, guru SMAN 1 Kepohbaru, dan Fathur Rohman, dosen sekaligus guru SMA Ahmad Yani Baureno, melanjutkan pembacaan, menarik para hadirin menyelami makna di balik setiap diksi.

Kisah Surealis "Bedhug"

"Bedhug" sendiri bukan sekadar cerita tentang bedug di surau yang bersuara "keplek," sumbang tak sedap didengar. Ia adalah alegori, sebuah cerminan kehidupan. Seorang tokoh dalam cerkak ini berupaya mengganti bedug tua dengan yang baru, berharap suara yang lebih indah akan tersembur. Berbagai cara telah diupayakan, namun bedug baru tetap diam, bisu dari nada-nada merdu yang diidamkan. Hingga suatu hari, dentum bedug lama mendadak nyaring, indah memecah keheningan. Sebuah kejutan, sebab disangkanya itu suara bedug baru, namun nyatanya, sang bedug lama-lah yang kembali mengumandangkan kidung indahnya.

Inilah kejeniusan Djajus Pete. Dengan sentuhan surealisnya, ia mengisyaratkan sebuah pesan mendalam: suara bedug, baik nyaring ataukah tidak, sesungguhnya bergantung pada kejernihan pikiran dan kebersihan hati nurani pendengarnya. Sebuah tamparan lembut bagi siapa saja yang terlalu terpaku pada wujud luar, melupakan esensi di dalam.

Mengenang Djajus Pete: Sang Pengukir Kata dari Bojonegoro

Selepas pembacaan yang memukau, suasana beralih pada kajian karya dan kesaksian tentang Djajus Pete. Selain ketiga pembaca, Kang Zen Samin, Ketua Dewan Kebudayaan Bojonegoro, dan Yonathan Rahardjo dari Komite Sastra, turut berbagi kisah, mengenang sosok Djajus Pete.

Djajus Pete, lahir di Ngawi pada 1 Agustus 1948 dan menghembuskan napas terakhir di Bojonegoro pada 19 Juli 2022, adalah pengarang sastra Jawa terkemuka yang mendedikasikan hidupnya untuk dunia literasi di Bojonegoro. Produktivitasnya tak diragukan lagi; cerita pendek (cerkak) dan puisi (geguritan) karyanya sering menghiasi majalah-majalah Jawa ternama seperti Penjebar Semangat, Jaya Baya, dan Djaka Lodang.

Gaya penulisannya yang unik, kerap surealis, dan kaya akan simbolisme, selalu mengajak pembaca untuk merenung lebih dalam. Tak heran, pada tahun 2001, Djajus Pete dianugerahi Penghargaan Sastra Rancage atas kumpulan cerita pendeknya yang berjudul "Kreteg Emas Jurang Gupit." Slamet Widodo sendiri mengaku terkesan dengan kepribadian Djajus Pete yang ikhlas berbagi ilmu, bahkan pernah mengikuti pelatihan menulis cerkak di bawah bimbingannya pada tahun 2020.

Estafet Warisan Sastra: Sanggar Sastra Djajus Pete

Tadarus karya Djajus Pete ini bukan sekadar acara rutin, melainkan sebuah ikrar. Sebuah cara bagi Sanggar Sastra Djajus Pete untuk menghormati, mengenang, dan meneruskan warisan sastra dari sastrawan Jawa terkemuka ini. Sanggar Sastra Djajus Pete sendiri adalah cerminan dari dampak dan pengaruh abadi Djajus Pete terhadap sastra Jawa, bertekad melestarikan warisan sastra Jawa.

Berpusat di Desa Purwosari, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro, tadarus kali ini sengaja diselenggarakan di sekretariat sanggar di pusat kota Bojonegoro. Lokasi strategis ini dipilih untuk memudahkan komunikasi dan menjangkau masyarakat luas, demi kegiatan seni sastra dan budaya yang lebih bermanfaat.

Gagasan pendirian Sanggar Sastra Djajus Pete sudah lama digagas oleh Kang Zen Samin, bahkan saat Djajus Pete masih hidup. Pengumuman kelahirannya pada Minggu, 12 Februari 2025, menjadi penanda dimulainya babak baru. Kemudian, pada Maret 2025, kekuatan sanggar bertambah dengan bergabungnya Fathur Rohman, Slamet Widodo, Moh. Alim dari Kecamatan Kepohbaru, dan Soeheri dari Kecamatan Kalitidu. Bersama Yonathan Rahardjo, mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari Dewan Kebudayaan Bojonegoro yang diketuai Kang Zen Samin, yang pada 6 Mei 2025 lalu telah beraudiensi dengan Bupati Bojonegoro, Setyo Wahono, demi pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bojonegoro.

Semoga nyaring suara "Bedhug" Djajus Pete terus bergema, tak hanya dalam tadarus, namun juga dalam hati dan pikiran setiap insan yang merindukan makna. (foto: yonathan)

Tidak ada komentar: