1
Kalau yang disebut pendeta muda atau calon pendeta pada saat ini ya anak/cucu kita. Penatua berfungsi sebagai orangtua dan orang tua. Jadi jelaslah sebagai sesepuh mesti harus bersikap bagaimana.
Berdasar pengamatan dan pengalaman, ketegangan antara pendeta muda dengan penatua menimbulkan permasalahan yang dapat berdampak serius.
Pendeta muda belum berpengalaman dan cenderung kaku menerapkan ilmu kependetaan sesuai doktrin gereja masing-masing. Maunya disiplin padahal realitas penggembalaan butuh keluwesan.
Di sisi lain penatua merasa lebih berpengalaman bahkan lebih matang rohani sesuai doktrin gereja. Apalagi dibanding pendeta muda yang merupakan "petobat baru" dari gereja lain. Tanpa label petobat baru saja, senioritas penatua merasa terusik.
Penatua sering harus menjadi pendengar yang baik dan semua jadual khotbah dan pengajaran ditangani anak kecil yang sedang belajar.
Mereka sudah didoktrin pendeta adalah wakil Tuhan untuk umat. Diakui atau tidak kecenderungan platform imamat seperti ini sulit menjauh dari pola di Katolik. Padahal status pendeta di Protestan tidak seperti itu lagi. Realitasnya bicara lain.
Dimaklumi bila penatua sering gamang bersikap. Tetapi tetap ada penatua yang vokal, hubungan pendeta muda dan penatua golongan inilah yang sering menjadi sumber keributan di gereja.
Agaknya penatua butuh wadah lain agar keseniorannya dalam pengajaran dan pengetahuan Alkitab tersalurkan. Tawaran solusi ini saya ajukan. Gereja memang ada birokrasi organisasi kolegial dan pekerja lembaganya. Penatua dan anggota mesti punya ruang pelayanan sendiri yang tidak bentrok momentum.
Tidak semua energi pelayanan harus disalurkan dalam satu ruang yang sudah jenuh elemen pelayanan dan pekerjanya.
Maka di sini tampak gereja kecil lebih efektif daripada gereja besar. Tapi kebenaran ini relatif. Tinggal orkestranya semua pihak merasa berarti dalam porsi masing-masing atau tidak.
Selebihnya kembali ke akar. Kita melakukan semua itu untuk apa. Dan untuk siapa. Serta, sudahkah masing-masing pihak itu sudah jelas: Diri sendiri ini siapa. Diri sendiri ini apa.
2
Bahkan mantan penatua pun potensial bikin keributan oleh karena mengidap post power syndrome.
Contoh kasus karena ada tamu yang vokal dalam setiap diskusi pemahaman Alkitab, pendeta mudanya merasa tersaingi oleh pernyataan-pernyataan pintar dari sang tamu.
Pendeta muda naik pitam, si tamu dianggap biang keributan, dihentikan ujarannya. Bahkan ditafsir, diusir keluar ruang gereja yang dipakai diskusi.
Mantan penatua tidak terima. Jadilah keributan berbuntut panjang. Bahkan masalah naik sampai daerah sinode gereja. Ujung-ujungnya pendeta muda dimutasi. Entah karena pelaporan sang mantan penatua atau karena sudah waktu roling.
Itu realitas. Kusebut dampaknya serius, karena pada saat terjadi peristiwa berkepanjangan itu jemaat terpecah kubu.
Telisik punya telisik, biang keributan punya masalah di rumah. Pesan sementaranya, ketika kita jadi biang keributan di manapun komunitas kita, perlu diintrospeksi masalah internal kita sendiri. Di rumah. Di hati sendiri.
Apa masalah pada mantan penatua terkait dengan post power syndrome? Ia pernah penatua, pendidikannya level tinggi di perguruan tinggi milik gereja, posisi pekerjaannya saat pensiun kepala sekolah.
Jelaslah, menghadapi kenyataan "pahit" dikhotbahi calon pendeta yang berarti paling banter S1 plus asistensi untuk profesi pendeta... Bagaimana rasanya.
Bocah kecil kemarin sore. Paling Gen Z. Sedang dia Baby Boomer. Bocah sekecil itu jam khotbah pasti. Jam mengajar pemahaman Alkitab pasti. Sedangkan dia yang keberatan ilmu, pengalaman, gelambir dagu dan leher, terpaksa patuh.
Setiap organisasi ada hirarki sendiri. Post power syndrome mesti dikantungi di saku tanpa bolong.
Kalau bolong, bahaya. Apalagi umur sedang antre. Dan masalah pribadi tidak beres-beres pula.
Nas Alkitab yang kemudian menjadi terdahulu, yang terdahulu menjadi terkemudian pun berlaku.
Jangan oleh karena hal semacam ini maka semua ingin jadi pendeta. Kalau ngotot, jadilah pendeta di panggung pertunjukan wayang masing-masing. Misalnya menjadi Pendeta Durna.
3
Calon pendeta itu sebuah pilihan yang bukan mainan. Enaknya di Protestan termasuk gerejaku, sebelum menjadi pendeta penuh, pendeta muda malah dihimbau untuk segera menikah.
Ini sebuah pertimbangan yang masuk akal. Penggembalaan itu butuh pengalaman. Jadi memakai empirisisme David Hume juga. Kalau tidak menikah bagaimana dapat memberi nasihat tentang kehidupan berumah tangga. Ini humor, jangan dianggap serius.
Penekanan bahasan ini tertuju pada calon pendeta atau pendeta muda. Ia hidup yang diserahkan kepada Tuhan. Ingat pelajaran dari Samuel dan Yohanes pembaptis. Kelahiran mereka dilatarbelakangi sebuah nazar orangtua mereka.
Dan hidup dalam penyerahan itu punya konsekuensi kesetiaan. Disiplin.
Disiplin ilmu saja membuat kita tidak boleh tidak fokus dalam ilmu yang tekuni. Yang tidak disiplin ilmu kita lihat contoh alumni yang tidak bekerja sesuai dengan akademis kuliahnya. Ini ilustrasi. Jangan tersinggung yang profesinya seperti ini.
Jadi pendeta muda, calon pendeta butuh disiplin ilmu itu. Maka mimbar jadi ajang latihannya yang akan dipakainya sepanjang umur hidupnya. Sepintar apa pun penatua atau majelis, mundur dari mimbar ketika pendeta muda atau calon pendeta ada. Ini sindiran. Jangan dimasukkan hati.
Agaknya pendeta Protestan termasuk gerejaku terdidik terhegemoni pelayanan pendeta adalah pelayanan mimbar. Tepatnya bicara di mimbar agar didengar umat.
Kesimpulan risiko paling besar, calon pendeta, pendeta muda, pendeta, pendeta senior, pendeta emeritus menjadi lemah mendengarkan kata-kata orang lain.
Jangan dimasukkan hati. Karena itu minimal dilakukan seminggu sekali saat jam kebaktian di gereja. Ingat, selama 6 hari yang lain mereka dituntut melayani umat 24 jam, bukan hanya berkhotbah, tetapi juga melawat, mendengar keluh kesah orang, mendoakan.
Jadi wajar bila seminggu sekali mereka berkhotbah. Penatua jangan iri, apalagi yang berprofesi pengajar, guru. Lima-enam hari mengajar di kelas, layak di hari ketujuh menjadi pendengar yang baik.
Cuma ya itu, biasanya merasa menjadi pendengar yang baik kalau sanggup memproduksi kritikan pedas terhadap sang pendeta apalagi calon pendeta.
4
Bagaimanapun keberadaan penatua sangat vital dalam pekerjaan dan pelayanan pendeta muda yang calon pendeta. Sebab sesungguhnya penatualah yang menggembalakan jemaat secara paten. Bukan pendeta yang diroling tiap dua tahun. Ini khusus yang model organisasi gerejanya begini.
Ibarat tanaman, penatua itu tunas dan tumbuh sampai layu dan gugur di jemaat dia berada. Kecuali ia suka pindah-pindah akibat tuntutan pekerjaan dinas tentara, pemerintah, karyawan perusahaan swasta tertentu yang suka mutasi atau mencapai masa pensiun.
Penatua model apa pun berpengaruh besar terhadap penggembalaan umat karena rata-rata kalaupun pindah kota tidak sesering pendeta yang cuma dua tahun melayani gereja macam itu. Dengan kondisi ini penatua lebih menjiwai kondisi umat.
Penatua bertugas membantu pelayanan pendeta. Mereka adalah wakil-wakil pendeta. Bahkan diakon terkenal sebagai benteng gereja untuk menjaga keamanan kerohanian umat. Tanpa penatua sesungguhnya pendeta tidak dapat bertindak banyak.
Hubungan yang baik antara pendeta dan penatua akan sangat menentukan karir dan pelayanannya. Penatua yang rajin akan dengan suka cita mengajak pendeta baru untuk menjangkau jiwa-jiwa baru.
Bahkan penatua yang sudah dekat dengan pendeta muda akan dengan semangat mendorong si calon pendeta segera ditahbiskan tahun itu juga. Bagi penatua, rasanya sidang gerejanya kurang afdol hanya dilayani oleh seorang pendeta muda.
5
Betul, tak dapatlah kau samakan organisasi satu gereja dengan gereja lain. Maka soal penatua, yang kau sebut sebagai penatua secara berulang-ulang itu sesungguhnya penatua menurut dan di dalam gerejamu.
Jangan kau anggap sama terminologi ini pada semua gereja. Kau sering dikotomikan antara pendeta dan penatua. Itu di gerejamu yang mungkin menganut sistem klerikal di mana pengambilan keputusan kepemimpinan ada pada seorang pendeta, dan penatua hanya pembantunya. Dan keputusan tertingginya hanya soal non rohani, manajemen gereja. Sedangkan soal rohani di tangan pendeta. Itu gerejamu.
Kalau gereja lain ada yang kepemimpinan tertinggi juga soal rohani di tangan penatua. Karena yang disebut penatua di sini adalah juga pendeta, yang lebih dari satu. Penatua itu pendeta senior yang bersama menjadi sesepuh, orang yang dituakan, penatua. Jelas mereka pendeta, bahkan ada yang cuma para pendeta senior. Bukan orang awam yang diangkat jadi anggota majelis, penatua sepertimu. Cara pandang setiap aliran gereja berbeda kan, tentang penatua ini.
Tapi kau juga boleh membela diri kok, mungkin gerejamu menganut sistem penatua itu ya pendeta dan orang awam yang diangkat menjadi anggota majelis. Jadi mereka semua disebut penatua. Ya, mungkin saja terjadi.
Tetapi supaya tidak rancu tentang penyebutan penatua itu, ya suka-sukalah kamu menulis ini. Toh kamu tidak punya otoritas atas kebenaran material terhadap hal kerohanian dalam tulisan-tulisanmu di buku ini. Ini ranahnya berbeda. Ranah di mana kamu memaknai hal-hal kerohanian dalam Kekristenan dengan tulisanmu yang berada di ranah budaya sastra. Beda toh.
Hah, kamu singgung budaya? Lha ranah budaya kan juga berusaha dimasuki kaum rohaniwan gereja? Kok ranah budaya terbatas tidak bisa masuk ranah rohani?
Halah. Suka-sukamulah. Tugasmu memang tidak memberi kebenaran, bahkan mencari rumusan kebenaran pun tidak dengan karya sastramu. Tugasmu memaknai kebenaran yang diberikan dan ditawarkan kepada umat. Bukan mencari hakikatnya. Bukan merumuskannya dengan eksperimen.
Kamu cuma memaknai. Memaknai dan memaknai. Termasuk soal penatua, pendeta, pendeta muda, yang sering dipersoalkan umat di gerejamu yang juga terdiri atas berbagai sifat manusia. Pendeta juga manusia. Penatua juga manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar