Gas. Ini perikop kelima dari pasal kelima. Di sebelahku saat Ubud Writers and Readers Festival 2009, novelis papan atas Indonesia Ahmad Tohari bilang Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel karya puncaknya satu-satunya. Karya yang lain hanya pendar-pendarnya.
Umumnya semua pengarang begitu. Karya masterpiece cuma satu, tak mungkin ia dapat membuat karya lain yang dapat menyamai karya puncak ini. Kamu siap bila kondisi ini menimpamu? Aku tak akan bahas ini sekarang, karena aku baru saja bertelepon dengan Hudan Hidayat tentang ini. Nanti orisinalitasku berkurang. Aku mau bahas karya tunggal saja. Alih-alih bikin karya berdua, meski bakal jadi pembicaraan orang ada Hudan-Yonathan dalam karya masterpiece Seni Kritik Sastra, akhirnya aku memilih buku tunggal masing-masing saja. Karena aku menghargai kekayaan intelektual semua pengarang. Termasuk Profesor Hudan. Biar kami bikin gelombang yang lain daripada gelombang tulisan dua orang dalam satu buku. Gelombang yang lain itu adalah gelombang gerakan seni kritik sastra. Maka kami akan lebih tancap gas menulis dan menulis. Setebal apa pun buku seni kritik sastra. Seberkualitas tertinggi apa pun seni kritik sastra. Aku tahu proporsi. Prof Hudan punya massa sendiri, juga di dunia sebagai Tokoh Persuratan Dunia oleh Numera Malaysia. Bila mereka berhadapan dengan buku tunggal Prof. Hudan, itu lebih adil. Aku bukan penumpang gelap. Memang gerakan ini gerakan kami berdua. Soal karya itu bisa ditinjau dari perspektif gerakan, juga dapat dipandang dari perspektif karya intelektual. Untuk itu penilaiannya harus jernih. Bening. Minum air putih yang jernih dan bening lebih menyehatkan bila minumnya sepuluh gelas perhari. Daripada minum es susu kurma delapan gelas sehari. Soal bening ini aku tidak orisinal. Karena Prof. Hudan sore tadi bilang tentang itu. Kutambahi metaforanya. Selain ia bilang, sikapku itu objektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar