Maka ingatan tentang Asep Sambodja mau tak mau muncul. Dalam buku seni kritik sastra ini nama-nama mereka yang mengabdikan diri dalam dunia kritik sastra harus mendapat tempat. Mereka yang menghidupi dan menghidupkan dunia sastra dalam satu sudut pandang ini: kritik. Tanpa kritik tak ada ulasan tentang karya sastra siapa pun.
Bahkan dimulai dari pengarangnya sendiri dan pembaca karyanya itu, semua hanya akan membaca karya sastra seperti menelan makanan tanpa mengunyah. Makan karya sastra tanpa pencernaan karya sastra. Alat cerna karya sastra ini bernama kritik sastra. Tanpa dirumuskan keberadaannya sebagai objek ilmu kedokteran karya sastra, alat pencernaan ini tetap ada. Dia ada meski kau tak merumuskannya sebagai ilmu. Seni ada tanpa kau merumuskannya. Wow indah sekali. Maka aku yang sedari 2000-an menulis kritik sastra dalam kapasitasku pun menapak pasti bersama Hudan Hidayat yang sudah lebih lama menggeluti kritik sastra, sedari 1990-an, kini dalam naungan seni. Dan kini saatnya mengingat aktivis yang satu ini: Asep Sambodja. Kukenal saat ia di milis penyair sebagai kelanjutan dari cybersastra.net. 2000. Dan acara-acaranya. 2002. Kulihat ia di temu sastra Jakarta 2003. Selanjutnya kukenal dia sebagai dosen ilmu sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Tulisan kritik sastranya lebih berpihak kepada sastra kiri. Maka Bakri Siregar dan Mas Marco bersemayam di hatinya. Bukunya ada sekian banyaknya. Kuterbayang saat ia aktif di kantin Irin bawah PDS HB Jassin. Saat itu ada polemik. Ah entah apa aku lupa. Ia menyuarakan sejarah sastra Indonesia yang berbeda dari HB Jassin yang kantor PDS-nya saat itu ada di atas tempatnya beracara bersama kawan-kawan itu. Namun kita akan terus rindu kepadanya. Oleh karena setelah acara itu ia tiada. Pergi tak kembali. Kembali kini dalam tulisanku Seni Kritik Sastra ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar