Rabu, 16 April 2025

Makna Teks Karya Seni Sastra

Bila tidak menyebut Roland Barthes dengan teori pengarang sudah mati maka tidak lengkaplah buku seni kritik sastra ini.  Maksud orang Prancis ini dalam bukunya tahun 1967 itu adalah makna teks karya seni sastra tidak ditentukan oleh penulisnya tetapi pembacanya.

Sepenuh-penuhnya. Maka tak perlu mengamuk dan alergi bila tulisanmu dibantai oleh pengkritik karya sastramu itu. Tak perlu biduren bila dalam launching buku pemenang lomba karya sastra malah menghadirkan pembahas yang membantai buku itu. Mereka menjiwai teori itu. Dan bila pengarangnya sadar ada teori yang berpengaruh dalam kritik sastra ini, mereka hanya diam. Mungkin tidak akan bilang terima kasih seperti saranku. Lha dalam teori The Death of Author itu pengarang sudah mati. Mungkin berterima kasihnya kalau sudah ketemu di neraka atau surga. Itu pun kalau ada, katamu. Kalau tidak ada ya bagaimana mungkin berterima kasih. Juga apa perlu berterima kasih. Itu kalau kamu menggali terus tak henti sampai bahasan ini tembus di sisi bumi sebelah sana, di bawahmu. Sedangkan bagimu yang sadar bahwa teori itu hanya teori orang yang dituntut berteori akademis karena pekerjaannya memang begitu, kamu boleh membantah juga kok. Pengarang tidak pernah mati. Dia dapat memosisikan diri secara objektif sebagai pembaca karyanya sendiri. Lebih halus dari kata membantah adalah kata mempertanggungjawabkan. Bertanggung jawab itu perlu. Apalagi kalau ia berlatar belakang kapujanggan Jawa yang punya strata brahmana untuk menasihati raja. Setiap kata yang tertulis adalah ajaran moral penentu harkat manusia pembaca. Ceile.... Lagipula pengarang dapat mencelikkan mata pembaca juga kok kalau ia mau mendidik pembaca yang kurang berpendidikan bahwa maksud karyanya ini sebetulnya ini lho. Itu lho. Mungkin pembacanya hanya baca Nick Carter maka akan bilang karya Hudan Hidayat Keluarga Gila itu kata Taufiq Ismail porno kok aku tidak terangsang ya. Malah yang berkembang malah otakku yang rasanya makin membesar karena olah raga dengan baca tulisannya. Bahkan hatiku malah penuh kehangatan oleh karena ternyata ia memperkaya jiwa kemanusiaan yang kompleks yang semula tak kumiliki. Lha humaniora milikku sebelumnya cuma humaniora kamar mandi. Hahahaha. Jadi boleh juga kok pengarang cerewet mempertahankan karyanya. Tidak salah. Tetapi juga tidak salah bila ia membisu. Tinggal ia mau jadi pengarang yang sudah mati atau pengarang yang masih hidup setelah karya sastranya jadi, terbit, bahkan dijual ke pembaca meski secara printed on demand alias POD. Yang jadi masalah kan bukan soal pengarang sudah atau belum mati. Katanya pengarang itu retorikanya hebat. Penguasaan berbahasanya tingkat dewa. Lha ini pertanggung jawabanmu dengan teknik yang orang marketing bilang how to say. Aku mau membandingkannya dengan pelukis Sudjojono yang suka koar-koar itu tentang pertanggungjawaban karya lukisnya. Nggak ah, ntar kau bilang aku aliran pembelot secara kau tahu pelukis ini dengan Sanggar Bambunya sudah meninggalkan teman-temannya yang berbasis revolusioner. Tolong koreksi kalau keliru, nama sanggarnya ini yang hampir setiap hari kulewati saat naik mikrolet, Kopaja, Bus kota saat ke atau dari Pasar Minggu dulu. Kucari di google untuk justifikasi ingatanku ini belum ketemu.

Tidak ada komentar: