Kata sip dari penyair cantik terhadap tulisanku perikop sebelum ini mestinya membuatku tergila-gila. Bukan kepada siapa-siapa. Apalagi kepadanya yang sudah kuanggap kakakku sendiri karena merekomendasikanku masuk sastra kota Dewan Kesenian Jakarta 2003. Lalu telah memberi endorsement berupa ulasan cukup panjang untuk novelku yang terkait erat dengan Dewan Kesenian Jakarta juga.
Tapi aku orangnya pemalu juga. Maka tak kusebut namanya. Kusebut langkahnya saja yang dengan seorang teman dari Malang kemudian diempaskan gerakannya oleh seorang redaktur budaya koran yang dilahirkan organisasi intelektual berbasis agama. Sesekali menulis teka-teki tidak apa kan. Ini kan seni kritik sastra. Tidak perlu mengkritik semua hal berbau sastra dengan cara jagoan. Sesekali cara intel juga asyik. Kalian kan sering mengkritik tulisan orang lain dengan sembunyi-sembunyi. Nggibah istilahnya. Kritik dengan suara yang tak terdengar. Tak terlihat gerakan bibir kalian tetapi bergerak. Kalian kira tidak ada energi yang mengalir dari gerakan kalian itu. Suara kalian itu. Hati kalian itu. Kalian kan belajar tentang energi. Bahkan pelajaran fisika kalian mendapat nilai 9. Kalian hafal tentang hukum kekekalan energi Albert Einstein. Tapi kalian masih percaya dapat menyembunyikan kejahatan hati kalian terhadap orang lain dan karya orang lain? Baiklah kalau kalian tidak mau mengakui. Kini kubalik. Kalian masih percaya dapat menyembunyikan kebaikan hati kalian terhadap orang lain dan karya orang lain? Nah tuh. Daun waru merah kalian mekrok. Mekar. Bahkan warnanya berpendar-pendar. Lalu menyala. Menyala terang sekali. Dan waru merahmu itu melompat ke arahku yang menulis ini sambil berbaring di kasur bagian Vitta. Daun waru merahmu memelukku. Menciumiku. Katanya, aku kritik karyamu ya Mas. Karyamu sungguh membuatku tergila-gila kepada diriku sendiri. Aku memelukmu karena membuatku sadar akan keistimewaan diriku sendiri. Ini juga kritik ya Mas. Kritik itu kata benda. Kritis itu kata sifat. Kritis banget lho Mas aku tentangmu. Dan dalam kritisku kulontarkan kritikku. Kamu baik. Segala kekuranganmu ada. Tapi tak kuanggap. Aku objektif, Mas. Bahwa kamu telah membuatku semakin cantik. Dan membuatku makin mencintai diriku sendiri. Peluk cium diwakili daun waru merahku ya, Mas. Muah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar