Tancap. Ini perikop keempat dari pasal kelima. Aku menulis sambil pusing akibat kebanyakan makan udang. Sebetulnya tidak banyak. Tetapi sudah lama aku tidak makan udang. Ini juga metafora.
Aku lama tidak menulis kritik sastra karena pembacaan karya utuh olehku dapat dikatakan miskin. Tetapi aku berani maju mengkritik sastra. Aku pernah mengangkat derajat pegiat literasi kupromosikan sebagai sastrawan. Ternyata diakui orang juga. Dan aku tidak berpikir lagi tentang nasibku. Aku menulis saja, seperti kawan seperjuanganku dalam seni kritik sastra. Hudan. Sekali lagi kukatakan. Meskipun sekarang tidak kubahas buku karya sastra, ini pun masuk kategori kritik sastra. Sudut pandang sastra macam-macam. Saat aku menonton pertarungan Taufiq Ismail diserbu mantan anggota Lekra (disebut mantan karena Lekra sudah mati) di Teater Utan Kayu, aku bilang, tidak ada karya sastra yang dibahas di situ seperti Profesor Hudan Hidayat membahas sedalam itu terhadap novelku Lanang. Kecuali yang khusus seperti Profesor Hudan, umumnya kritikus Indonesia lebih suka berpolitik sastra menyerang kompetitor sesama profesinya. Dan kalau membahas karya sastra lebih karena dibayar. Hahahaha. Aku pernah lihat akademisi yang profesor sastra bawa pulang banyak buku (satu judul) yang baru saja dibahasnya di acara sastra Dewan Kesenian Jakarta. Untuk apa? Tahulah kau. Sekarang ini kuungkap sebagai satu kritik juga. Gunakan intuisi keindahanmu untuk memberi makna terhadap fenomena yang kau indera. Tak usah terus-terusan kau sodorkan langkah-langkah penelitian ilmiah moralis terhadap suatu seni kritik sastra. Kau akan beku tidak pernah berkesenian kalau begitu. Kamu yang rugi sendiri. Sudah terlalu banyak pengajaran cara membaca dengan langkah-langkah mengeja ini Budi, ini bapak Budi, ini ibu Budi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar