Rabu, 16 April 2025

Bertarung dengan Pendapat Profesor Sastra Tertentu yang Menilai Suatu Karya Sastra Tidak Sekaliber Namanya

Ini perikop kedua dari pasal kelima bukuku. Kutulis di depan dua orang temanku yang sedang bertamu dan berbincang. Seperti perikop kesatu juga kutulis di depan mereka. Kalau aku mengandalkan ilmu kritik sastra aku tak bakal dapat menulis kritik sastra ini. 

Maka kritik sastra itu seni. Aku dapat mengkritik tulisan tokoh-tokoh Balai Pustaka dari sisi seperti ini. Aku pernah mengkritik di depan Prof. Faruk HT, yang kemudian menjadi Prof. Faruk Tripoli, kemudian menjadi hanya Prof. Faruk. Saat itu kami pembicara di depan mahasiswa S2 Universitas Muhammadiyah Malang. Acaranya temu pengarang. Aku ungkap sejarah sastra Indonesia versi HB. Jassin yang ujungnya orang pertama Manifes Kebudayaan. Oh maka sejarah sastra Indonesia mandeg sesudah 1970. Angkatan berikutnya 1980, 2000 lahir di tangan-tangan lain yang tidak mendapat pengakuan sebagai paus sastra sebagaimana HB Jassin. Aku pun tahu banyak nama sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat hilang atau tidak diakui oleh HB Jassin. Padahal karya mereka berkelas. Bahkan Martin Aleida pernah bilang puisi Taufik Ismail itu paralel dengan tulisan seorang penyair Lekra. Dari sini saja, aku dapat menilai, sejarah sastra itu tergantung pemenang dari sebuah peperangan. Sejarah dicipta oleh penguasa. Maka aku mengambil sikap tegas. Sejarah itu versi-versi. Maka bersama Profesor Hudan Hidayat kita dapat membuat sejarah sastra sendiri. Bahkan konon pendapat Prof. Hudan berani bertarung dengan pendapat profesor sastra tertentu yang menilai suatu karya sastra tidak sekaliber namanya. Ahoi! Maka jangan takut hai teman-teman yang meragukan teori baru di dunia sastra ini. Kritik sastra itu hanya dapat mencapai puncaknya bila ia bergantung pada gantole seni.

Tidak ada komentar: