Sabtu, 21 Agustus 2021

Catatan Hidangan bekas oleh pengarang untuk pembacanya yang menyelundup di benakku pagi ini setelah semalam mengisi materi pelatihan menulis cerpen di WAG setelah kepergian sastrawan besar dari Surabaya

Catatan Hidangan bekas oleh pengarang untuk pembacanya yang menyelundup di benakku pagi ini setelah semalam mengisi materi pelatihan menulis cerpen di WAG setelah kepergian sastrawan besar dari Surabaya

 

Oleh: Bekas penulis buku harian waktu SD yang setiap halaman tulisannya dilengkapi dengan ilustrasi gambar gambar sendiri bukan gambar orang lain

 

Bila sastrawan yang itu mengatakan adalah bekas bila menyiarkan karyanya sebelumnya di media sosial baru mempersembahkan kepada pembaca dan pelatihan itu terasa membongkar ingatan tentangnya saat membahas  buku kumpulan cerpenku tetaplah menulis saja dan beraktivitas sastra apa pun karena kalau tidak begitu kesastraanmu akan mati seperti yang dikatakan oleh sastrawan besar yang baru berpulang kemarin.

Sebutan hidangan basi adalah karena latar belakangnya yang sudah menulis pada masa sebelum zaman digital saiber di mana proses menulis merupakan ruang privat oleh karena alatnya tidak terkoneksi teknologi dengan orang padahal zaman sudah berubah saat ini di mana ruang proses kreatif ada di mana-mana dan terkoneksi dengan orang lain bahkan menjadi pemicu adrenalin kepenulisan dan ini modal kuar untuk berproses kreatif seperti yang kualami sejak zaman milis sampai malam tadi melatih beberapa anggota grup dari seluruh Indonesia dan menjadi jalan bagus untuk melangkah seperti yang dikatakan sastrawan yang banyak dipuja orang itu.

Zaman sekarang memang sulit memisahkan privasi atau tidak bahkan begitu banyak orang yang menyiarkan kehidupannya hampir 24 jam bahkan itu menjadi sumber mata pencaharian bahkan dia dapat menghidupi orang banyak karena itu sehingga paradigma demi paradigma sudah berubah jadi mengapa harus mengekang kreativitas hanya oleh karena ambigu menyikapi pendapat demi pendapat hanya untuk sebuah kenyamanan hati yang sementara.

 

Bojonegoro, 22 Agustus 2021

Memahami Kebutuhan Informasi dan Pokok Keahlian Menulis Cerpen

Memahami Kebutuhan Informasi dan Pokok Keahlian Menulis Cerpen

 

Oleh: Yonathan Rahardjo

 

Lomba-lomba dalam rangka tujuhbelasan makin variatif, adakah lomba makan pentol bakso? Mungkin yang ada lomba dengan mulut mencabut uang logam yang ditancapkan pada bakso besar yang digantung dengan tali. Kalau benar ada, ini modifikasi lomba makan kerupuk gantung.

Setuju kata Anda, kalau lomba ini ada, modalnya lebih besar, padahal lomba-lomba tujuhbelasan umumnya berbiaya murah. Setuju pendapat Anda, kalau ada, sebelum lomba baksonya sudah habis ditelan panitia.

Semua lomba tujuhbelasan cenderung berbiaya murah karena konon menurut sejarahnya lomba-lomba ini memakai bahan dan peralatan apa adanya. Ini sesuai kondisi masyarakat Indonesia yang dijajah Belanda, mesti bisa menghibur mereka sang ndoro tuan dan gubermen pada hari-hari perayaan nasional Belanda seperti HUT Ratu Wilhelmina.

Konon lomba makan kerupuk, lomba lari karung, lomba panjat pinang, semua diadakan untuk menghibur sang penjajah, dengan bahan dan alat seadanya serta menunjukkan kekonyolan-kekonyolan peserta lomba sebagai penghinaan terhadap bangsa pribumi. Sedangkan lomba tarik tambang adalah hiburan para pekerja romusha saat zaman penjajahan Jepang. Lomba egrang? Sepertinya hinaan pribumi terhadap bule Belanda karena dengan naik egrang pribumi dapat menjadi lebih tinggi dibanding orang Belanda.

 

Membaca Sumber Informasi dan Menuliskannya

Sumber penulisan artikel tentang lomba tujuhbelasan ini adalah internet. Ya banyak sekali hal dapat diperoleh informasinya di internet. Biasanya penulis mempunyai berbagai cara untuk menulisan ulang hasil pembacaan informasi itu. Setidaknya adaempat cara penulisan itu: (1) kopi paste apa adanya, (2) kopi paste disertai beberapa modifkasi/perubahan, (3) menulis ulang sesuai dengan ingatan/pikiran sendiri sebagai informasi, (4) menulis ulang informasi itu disertai opini/analisa.

Jelas yang benar secara etika dan kecerdasan adalah cara ketiga dan keempat. Untuk memelhara etika dan mengembangkan kecerdasan sendiri, jangan pernah melakukan cara kesatu dan kedua.

Sebagai perbandingan, pada saat ini muncul beragam berita tentang Taliban yang tumpang tindih antara yang memberitakan perilaku Taliban sudah berubah dan mau mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan tidak seperti Taliban 2001 dan yang sebaliknya. Tentu kita menuliskan dengan cara masing-masing berdasar berbagai informasi itu seraya memperhatikan perkembangan yang terjadi.

Artinya bagi pengembangan keterampilan penulis kita, sumber informasi kita mesti memadai, untuk itu kita membutuhkan pengalaman. Yang dimaksud pengalaman di sini bukan hanya mengalami peristiwanya secara langsung, tetapi pengalaman inderawi dengan membaca juga adalah pengalaman.

 

Menulis Pengalaman Sebagai Berita atau Sebagai Fiksi

Pengalaman sangat penting untuk dituliskan guna memelihara ingatan. Bila penulisannya sesuai dengan kejadian yang dapat diindera dengan pancaindera, penulisannya dapat menjadi berita yang akurat. Secara objektif akurat.

Bila sudah masuk opini, perasaan, sentimen, mungkin dapat tersusupi berita-berita lama yang sudah terjadi dan dicampur aduk dengan berita yang sedang terjadi. Dan, menimbulkan imaji. Di sini akan sangat hebat sebagai sebuah karya sastra. Dan karya sastra umumnya adalah karya fiksi. Untuk menjadi karya sastra cerpen, novel, puisi, hal-hal subjektif itu sangat dibutuhkan. Seolah-olah hal itu yang sesungguhnya terjadi sebagai realitas baru. Maka realitas fiksi adalah realitas yang berbeda dengan realitas jurnalistik berita.

Keunggulan fiksi inilah yang dapat menghidupkan cerita peristiwa sederhana seperti seorang guru yang jenuh dengan penjara epidemi yang memaksa semua aktivitas belajar-mengajar harus secara daring. Penulis dapat memasukkan unsur-unsur kegelisahan tokoh guru ini, dideskripsikan dengan perasaan, perilaku merebahkan diri di tempat tidur, berdebar ketika ternyata setelah sekian lama aktivitas daring, akan ada upacara secara langsung ... ternyata hari diancam dengan turunnya hujan.

Plot sederhana ini akan dapat terus berkembang dengan berbagai peristiwa yang terjadi selanjutnya, baik beralur maju ataupun mundur. Tentu lebih baik disertai dengan kehadiran tokoh lain yang dapat menimbulkan konflik. Sehingga dalam bangunan cerpen akan terpenuhi semua unsurnya: tokoh dan perwatakan, latar peristiwa, alur, konflik, solusi permasalahan, dengan ada pesan moral.

 

Kerangka karangan

Masa pandemi juga menjadi tantangan bagi siswa (dan semua orang). Narasi lugas dari siswa sebagai penulis membuat cerita terus maju ke depan dengan tindakan dan kegiatan serta tindakan kegiatan baru dari siswa. Penceritaan memakai sudut narator orang pertama (aku) bertindak memakai kata kerja demi kata kerja. Jalinan penceritaan terus melaju dari satu permasalahan ke permasalahan lain hingga berakhir bahagia si siswa punya toko sendiri dengan pemasukan Rp 50 ribu perhari.

Bila dikembangkan lebih lanjut dengan jalinan cerita selanjutnya, narasi yang telah ditulis dapat berfungsi dua: (1) Sebagai pembuka, (2) Sebagai kerangka karangan. Sebagai pembuka, artinya dapat akan terjadi lagi jalinan tindakan dan peristiwa selanjutnya. Sebagai kerangka karangan, artinya setiap tindakan dapat diuraikan lagi rinciannya. Jadi setiap tindakan merupakan satu pokok pikiran.

Misalnya si siswa berdiskusi dengan ibunya, di situ dapat dikembangkan percakapanya dengan kalimat langsung. Dapat ada konflik di situ misalnya dengan perbedaan mendapat. Ini merupakan bahan yang bagus untuk membuka peristiwa-peristiwa lain. Jadi setiap pokok pikiran dapat dikembangkan baik dengan: narasi (penceritaan), deskripsi (uraian), eksposisi (paparan), percakapan (dialog), monolog (berpikir/berbicara sendiri).

 

Monolog

Salah satu cara paling efektif dan dekat dengan diri pribadi pengarang adalah menceritakan secara monolog. Berpikir atau berbicara sendiri mengutarakan pendapatnya, perasaannya, pikirannya, pandangan-pandangannya berdasar subjektivitasnya sendiri. Objeknya dapat berupa apa saja yang diindera dengan pancaindranya. Dalam cerpen dapat saja demikian, sebagai tokoh tunggal dari awal sampai akhir, seperti yang ditulis pencerita tentang kegalauan dan kegelisahannya melihat lingkungan masyarakat yang terdampak pandemi secara ekonomi.

Cerpen atau cerita pendek memang satu bangunan utuh menyoal suatu hal secara utuh (kompak dalam satu kesatuan). Ibarat pohon, di situ ada cabang-cabang pohonnya, lalu dari cabang muncul ranting-ranting, lalu dari ranting muncul daun bahkan bunga. Dalam penguraian semua ini, satu masalah itu dapat dituntaskan.

Apakah dengan demikian semua penceritaan sah dan kuat untuk disebut sebagai cerpen yang berhasil. Sah adalah pasti. Kuat? Perlu dieksplorasi lebih dalam kesatuan pokok permasalahannya dengan berbagai unsur penceritaan cerpen tadi. Apakah berhasil menarik perhatian, menggugah perasaan, menimbulkan imaji yang kuat?

Maka ada dua kemungkinan yang terjadi: (1) Cerita yang sudah ditulis merupakan bahan awal dan dapat dikembangkan, (2) Cerita yang sudah ditulis sudah selesai. Anda memilih yang mana? Harapannya Anda memilih yang kedua, dan menyadari bahwa semua masih harus terus diperjuangkan.

Dengan kesadaran itulah kita yakin bahwa banyak pemula telah memulai langkahnya menulis cerpen dengan telah menulis gambaran umum di unit kerjanya pada saat pandemi Covid-19 dengan tantangannya pada pembelajaran jarak jauh. Tinggal menguraikan saja.

 

Bojonegoro, 21 Agustus 2021

Kamis, 19 Agustus 2021

Catatan Jambu Kluthuk

 Catatan Jambu Kluthuk


Oleh: Anak Mantan Agen Majalah Berbahasa Jawa

Tangan mengatup menyembah jarang orang menyebutnya dengan istilah lama yang sering disebut Kho Ping Ho. Bahasa lama banyak mati suri sebelum mati seperti bahasa Latin yang hanya dipakai di penamaan ilmiah. Bahkan penyusun Kitab Suci ya Alkitab bahasa Jawa sedang dituntut membuat terjemahan Alkitab bahasa Jawa dialek terkini. Bukan seperti terjemahan Jawa yang sudah ada dan cenderung jadul.

Kegagalan pengarang Jawa saat ini adalah memaksakan penggunaan bahasa Jawa lama ya bahasa Jawa kratonan pada gurit-guritnya padahal latar peristiwa ada pada masa modern. Bahasa Jawa Kawi yang merupakan perpaduan bahasa Jawa kuno dan bahasa Sanskerta muncul pada gurit-guritnya yang diindah-indahkan biar terkesan nyastra. Padahal lubang kegagalan sintaksis, pemaknaan dan imaji menjadi tercipta begitu dalam. Sehingga secara penghayatan guritnya gagal menyentuh relung hati pembaca.

Maka dengan lincah redaksi majalah Jaya Baya memilah bahasa sastra Jawa dalam kolom berbeda. Bahasa sastra pedhalangan wayang, bahasa sastra Crita rakyat, bahasa Cerkak, bahasa crita romansa, bahasa crita taman putra, dan bahasa jurnalistik.

Produktivitas tidak berjalan linear bersama kualitas, maka begitu banyak karya sastra Jawa dihasilkan, tetapi dari pencapaian estetika jauh dari harapan.Pemerintah hanya dituntut membina dengan bahasa kerennya memberi penghargaan, tetapi sesungguhnya pembinaan meski istilahnya penghargaan.

Yang terjadi pada prosa Jawa lebih banyak pengulangan penulisan ala penceritaan jurnalistik atau cerita roman populer bahkan sekedar panglipur wuyung yang nyaris tidak pernah dijumpai eksplorasi sastra yang lingkupnya dalam dengan pemahaman-pemahaman seni yang begitu kompleks dan perlu diketati secara intensif capaian-capaiannya.

Bojonegoro, 13 Agustus 2021

Rabu, 18 Agustus 2021

Catatan Koboi yang Menembak dengan Pistol dan Pangeran Diponegoro yang Menghunus Keris yang Berkibar-kibar sebagai Bendera Perjuangan Hidup di Hidup yang Bebal di dalam Pembuluh Nadiku

Catatan Koboi yang Menembak dengan Pistol dan Pangeran Diponegoro yang Menghunus Keris yang Berkibar-kibar sebagai Bendera Perjuangan Hidup di Hidup yang Bebal di dalam Pembuluh Nadiku

 

Oleh: Anak seorang bekas guru yang pernah coba beternak bebek tetapi gagal

 

Naik atau turun memang biasa. Bahkan kehidupan kita juga. Bila mengingat perjalanan diakronis dari masa ke masa, kita bersyukur pada kondisi kita saat ini. Bahkan Amerika Serikat yang 30 tahun lalu negara Adidaya, jauh sebelumnya pada 1800-an adalah negara di daerah tandus.

 

Tanah gersang, tandus, kejam, dan luas. Itulah tanah perbatasan barat, west, Amerika, di mana koboi mesti hidup bersaing dengan Indian, dan mereka manusia-manusia ini mesti berhadapan dengan ular, burung nazar, serta panah, tombak, cambuk dan pistol serif atau jagoan penjahat.

 

Sampai revolusi industri yang bermula dari Inggris menyebar ke sana dan kehidupan baru berkembang setelah kereta api masuk dengan rel-rel besinya yang panjang, penduduk memanfaatkan tambang emas dan minyak, menjadi negara kaya terus berpacu dalam modernitas hingga revolusi industri demi revolusi industri mengubah sebuah menjadi seperti dunia fantasi namun serba ada dan serba mudah.

 

Apakah kita mengalami kehilangan masa Amerika dalam dunia The Wild Wild West itu? Saya yaikin tidak, karena saat itu Nusantara adalah dalam kondisi berbeda, waktu penjajahan Belanda di mana para pejuang nasional secara sporadis berperang melawan kezaliman penjajah Belanda.

 

Jadi kalau begitu, apakah kita juga merasa kehilangan saat Pangeran Diponegoro dengan surban putihnya menunggang si putih sakti menghunus keris perkasa melawan Belanda selama lima tahun lalu dengan tipu muslihat Belanda mesti bertekuk lutut dan membuang hati-hari terakhirnya di Manado dan pulang ke Rahmatullah di Makassar?

 

Karena umur kita rata-rata tidak sampai 100 tahun apalagi 200 tahun maka susah mempunyai ingatan ke tahun 1825-1830 saat perang Diponegoro itu. Jangankan itu, anak sekarang saja tidak tahu tentang Perang Kemerdekaan 1945 yang mempertaruhkan nyawa semua rakyat sebelum hadir negara Republik Indonesia. Disuruh menghafal dasar negara Pancasila saja lidahnya belepotan, bahkan juga para penggede dan pejabat pun.

 

Jangankan kehilangan masa awal negara Amerika di barat, anak-anak itu tidak pernah merasa kehilangan Pangeran Diponegoro, bahkan juga tidak merasa kehilangan pejuang kemerdekaan 1945.

 

Kita merasa kehilangan kalau ada kedekatan, yang ada sentimentalitas.  Bila kita tidak ada kedekatan yang lebih bermain adalah logika, rasio dan kebenaran. Apakah dengan tulisan ini Anda juga akan merasa sadar telah merasa tidak pernah kehilangan Pangeran Diponegoro dan para pejuang kemerdekaan 1945?

 

Seni sering dibilang hanya pintu masuk menuju filsafat. Budaya sering disebut hanya ruang di antara pikiran dan produk budaya. Bahkan budaya juga hanya dikutuk sebagai hanya ekspresi bukan esensi. Maka begitu cair dan serba relatif itu budaya. Bahkan dengan mudah ditiadakan. Apalagi bila agama lebih dipercaya sebagai pengendali semua akal dan perbuatan.

 

Apa kau tak merasa kehilangan sesuatu bila budaya diposisikan hanya seperti ini? Kali ini coba berpikir terbalik pada pandangan lain bahwa agama pun suatu produk budaya. Tapi kalau tidak siap, ya janganlah, tetaplah tempat agama di atas segalanya termasuk di atas budaya.

 

Apa pun yang kau posisikan tentang agama dan budaya, apa ini membuatmu merelakan tidak mempelajari sejarah perjuangan bangsa yang pendidikannya pada tahun 1985-an disebut PSPB bukan istilah zaman Covid-19 PSBB yang kemudian diganti PPKM bukan PPKN?

 

Kita terlalu emosional bila merasa ada sesuatu yang tidak cocok dengan segala hal yang dekat dengan kita. Sedangkan setiap orang mempunyai preferensi dan referensi berbeda-beda sesuai dengan uniknya mereka dan pengalaman masing-masing. Dan di sini membuat yang satu dengan yang lain merasa baper, terbawa perasaan. Padahal segala sesuatu ada sejarahnya, diakronisnya.

 

Mau sinkron ternyata butuh juga diakron ya. Tidak asal sinkron-sinkronan. Padahal akhiran an pada kata dan kalimat seperti ini berarti cuma mainan atau palsu. Rumah-rumahan itu kan bukan rumah artinya.

 

Terkadang kita terlalu sibuk mengatasi masalah kita saat ini, sehingga tidak sempat berpikir budaya macam itu. Sering kita katakan, “Kadang aku kangen mereka dan merasa kehilangan karena dulu juga aktif di sana. Tapi kuatasi karena merasa terlalu terikat dapat membuat orang gila karena ingatannya seperti ditarik sana-sini hingga melayang-layang dalam regangan dan ketegangan. Jadi ya 134 ajalah.”

 

134 artinya tidak ada duanya. Sering digunakan saat bicara dikit menggombal agar si cantik senang dan hati sendiri riang atau agar si dia jatuh ke pelukan. “Kepergianmu dari sini membuat banyak temanmu merasa kehilangan. Karena kamu memang tiada duanya.”

 

Tapi itu ada benarnya, semua, masing-masing, tiada ada duanya. Setiap kita unik. Dan hanya satu. Meski saudara kembar sekalipun, tidak ada yang dapat menyamai.

 

Lalu karena merasa masing-masing unik, 134 (tiada duanya) satu demi satu yang tidak kerasan pun pergi dari ruang yang berpotensi konflik, membutuhkan tempat nyaman untuk manusia berumur 50 tahunan menuju 60 tahun. Katanya seket (50, Jawa) berarti senengane kethu/kopiah. Para ulama tampak selalu memakai kopiah atau kethu. Warnanya pun dominan putih.

 

Kesucian diri menjadi obsesi. Maka grup berjiwa muda pun lama-lama berubah warna. Alami saja prosesnya. Seperti aku di suatu grup menjadi mudah emosional ketika orang lain merespon postingan seriusku dengan dagelan secara terus-menerus bukan hanya sekali-dua kali saja yang bisa ditolerir. Sampai sekarang aku tak tahu alasan semua itu. Tetapi rasanya ya itulah. Semua sulit atau tidak mau saling belajar dari yang lain. Mentok, bukan menthok (sebangsa itik/bebek).

 

Bojonegoro, 19 Agustus 2021

 

Selasa, 17 Agustus 2021

Catatan Jejak Dua Dewa Yunani Kuno yang Saling Tekan dan Berdialektika Mencipta Energi di Tanganku dan Tanganmu

 

Catatan Jejak Dua Dewa Yunani Kuno yang Saling Tekan dan Berdialektika Mencipta Energi d Tanganku dan Tanganmu

 

Oleh: Bekas pemain drama orang mabuk di SMP dan universitas

 

Umumnya masyarakat awam masuk golongan Apolonian dalam hal seni/kesenian, yang berciri keteraturan. Seni/kesenian tidak hanya bersifat teratur berketeraturan. Ketidakaturan menjadi aliran yang berlawanan, termasuk dalam golongan Dionisian. Keduanya bernaung dalam paham seni mewakili tugas tertinggi dan puncak metafisika idealis dalam kehidupan.

 

Sebuah lagu rohani terdengar seperti burung yang berkicau selalu mengingatkan umat-Nya. Efek Apolonian pada lagu gereja dan Kekristenan terasa karena lagunya teratur. Bagaimana nasib lagu yang terkesan tidak teratur atau kacau?

 

Contoh nasib, tahun 1990-an banyak media massa Kristen membahas lagu rock sebagai lagu setan. Penyembahan iblis. Iramanya kacau. Syairnya tidak jelas dan bila dibolak balik merupakan syair pemujaan Iblis. Contoh nasib kedua, sekelompok mahasiswa unit kerohanian Kristen pernah memainkan drama kontemporer di sebuah kebaktian kampus, ditolak oleh pembina rohani mereka karena dramanya penyajiannya seperti kacau.  

 

Kedua contoh itu merupakan contoh efek Dionisian dalam seni yang tidak teratur dan kacau. Dan, mayoritas Kekristenan menolak kekacauan itu dalam seni lagu gereja. Bahkan ada pendalaman khusus lagu simfoni sebagai the best dalam lagu gereja. Maka hanya Kristen progresif yang menerapkan efek Dionisian yang terkesan kacau ini dalam ibadatnya. Maka karena minoritas di kalangan Kristen, yang melegalkan efek Dionisian ini dianggap cenderung sesat.

 

Menjerit dan sejenisnya sering dikaitkan dengan kekacauan. Padahal di kitab suci Kristiani Kitab Yesaya 15:5 fungsi menjerit dahsyat: “Aku berteriak s  karena Moab,  pengungsi-pengungsi sudah sampai ke Zoar,  ke Eglat-Selisia. Sungguh, orang mendaki pendakian Luhit sambil menangis; dan di jalan ke Horonaim orang berteriak karena ditimpa bencana.”

 

Sementara umumnya kita menganut paham segala sesuatu indah pada waktunya. Di sini jelas kekacauan dan atau ketidakkacauan adalah hal yang dinamis. Filsafat keindahan memang progresif. Teori seni tercanggih, seni itu memaknai (memberi pemaknaan) pengalaman termasuk pemaknaan inderawi. Tidak berhenti pada seni adalah keindahan.

 

Teori seni sebelum yang terakhir ini (seni adalah pemaknaan pengalaman), ada empat tahap seni: (1) Tiruan kenyataan, (2) Universalisasi nilai-nilai individu (3) Nilai-nilai Ketuhanan (4) Bentuk yang bermakna.

 

Jadi seni bukan sekedar keindahan seperti yang dikenal awam (contoh: lukisan pemandangan indah, gadis cantik paripurna). Bahkan kotoran manusia juga bisa jadi seni. Contoh kotoran ini adalah Lukisan maestro Lukis Indonesia (Affandi), menjadi salah satu masterpiecenya. Juga lukisan-lukisan abstraknya yang lain, di mana letak keindahannya bila dibanding lukisan maestro lain Basoeki Abdullah? Tapi lukisan Affandi adalah master seni lukis Indonesia.

 

Pemaknaan indah telah bergeser dari pengertian sebelumnya bila memaksakan seni tetap berarti keindahan. Manusia berdosa yang superjelek dan busuk juga indah, di mata Tuhan. Maka mana mungkin manusia menganggap manusia superbejat bukan indah. Jadi tergantung memaknainya.


Bukan hanya manusia, tetapi Anak Manusia yang Tuhannya manusia juga. Masih dalam kitab sucinya kaum Nasrani Kitab Yesaya 52:14 “Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia--begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi—“


Ayat ini menunjuk Tuhan Yesus sesudah disiksa sebagai manusia sebelum disalib, untuk menebus manusia sesuai ayat yang lain Yohanes 3:16 “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.


Jelas di sini Maha jelek (= Maha kacau) yang Maha indah, wujud tertinggi Kesenian. Sekali lagi: Maha jelek yang Maha indah, wujud tertinggi Kesenian. 

 

Mau tetap memaksakan keindahan itu indah, teratur, manis, ayu? Ubah pemahaman dan pemaknaan Anda, bahwa seni itu memaknai pengalaman termasuk pengalaman inderawi Anda. Pemaknaan Anda itu yang akan mengubah segala sesuatu yang indah atau jelek, yang teratur atau kacau, adalah indah.

 

Selebihnya Anda mau berpegang pada agama apa pun yang Anda percayai agar tidak jauh melenceng dari rambu-rambu keimanan dan kehidupan, itu terserah Anda. Rambu-rambu agama Andalah yang akan mengoreksi syair, ajaran suatu lagu misalnya, agar sesuai dengan pengajaran Agama Anda. Juga mengoreksi emosi pembentuk suasana dan keadaan sesuai tempat dan waktu. Serta, roh-roh apa yang Anda bolehkan masuk dalam karya seni bahkan hidup itu.

 

Secara filosofi budaya itu artinya mempersilakan dewa keteraturan Apolo mengendalikan dewa kekacauan Dionisius dalam hidup Anda dan tercipta kekuatan begitu indah. Bagaimanapun pertarungan keteraturan dan kekacauan dalam diri dan antar kita itu adalah proses yang mematangkan diri kita dan antar kita. Rasakan keindahan di zona bukan nyaman ini.

 

Bojonegoro, 18 Agustus 2021

Senin, 16 Agustus 2021

Catatan Suara-Suara Terus Berbisik dan Menggumam Mempertimbangkan Berbagai Pemaknaan EFOD vs PROFETIS yang Menjadi Jembatan Keledai dan Berbisik Bergumam Terus dalam Bising Dunia

Suara-Suara Terus Berbisik dan Menggumam Mempertimbangkan Berbagai Pemaknaan EFOD vs PROFETIS yang Menjadi Jembatan Keledai dan Berbisik Bergumam Terus dalam Bising Dunia

 

Oleh: Mantan Redaktur Buletin Unit Kegiatan Mahasiswa Sebuah Universitas

 

Ini pendekatan seni untuk pemaknaan baru, bukan mencari kebenaran, bukan mencari benar salah, bukan mencari kaidah dan rumus. Pendekatan seni adalah pendekatan dengan simbol-simbol. Berisik suara-suara lingkungan kita di sini ditonjolkan, sebagai simbol bahwa suara-suara Ketuhanan memang banyak tertutupi oleh suara-suara di sekitar kita.

Suara Roh Kebenaran hanya ada sayup-sayup seperti bisikan-bisikan yang tidak jelas, kalah oleh bising suara kendaraan lalu lalang, bising nyaring suara menyangkut perut dan kebahagiaan dan kesibukan, keseharian. Tetapi meski suara Roh itu hanya berbisik dan bergumam, ia akan terus bersuara sepanjang hayat dan umur kehidupan sampai akhir.

Tidak bermaksud mengadu domba sejarah dan generasi. Seni bukan untuk itu. Seni bertugas untuk memberi pemaknaan demi pemaknaan dengan simbol-simbol. Efod dan profetis sama-sama berbicara tentang Suara Tuhan, Kehendak Tuhan, yang nyaris selalu tertutupi dan terkalahkan oleh suara-suara bising kehidupan dunia.

Sekali lagi, pendekatan seni tidak bermaksud mencari kebenaran. Tidak bermaksud membuat rumus dan mencari kaidah. Pendekatan seni budaya lebih bersifat memaknai semua pengalaman dan pemikiran. Sangat bermanfaat untuk ingatan tentang hal yang dibahas.

Efod jubah imam agung bangsa Israel zaman Perjanjian Lama. Profetis isi kitab para nabi. Kedua-duanya berarti bagus untuk keimanan hubungan manusia dengan Tuhan. Mengapa harus memilih di antara keduanya. Dengan pendekatan seni budaya kita dapat memberi pemaknaan. Efod lebih bersifat simbolis sebagai hal utama dalam seni budaya dan ilmu humaniora. Profetis lebih bermakna sesungguhnya dan kurang simbolis.

Secara simbolisme seni nama Efod lebih bagus. Nama profetis lebih bersifat telanjang. Padahal profetis sendiri secara pengertian ya sama dengan Alkitab Firman Tuhan. Tergantung kecenderungan kita lebih ingin semua indah dengan menyentuh unsur hati dan perasaan. Atau lebih cenderung membuat semua apa kadarnya dan terasa kering.

Pembahasan belum sampai pada tanda pemberontakan generasi profetis terhadap generasi efod. Tetapi setiap zaman memang punya anak zaman sendiri-sendiri. Seseorang punya hak untuk bersikap dan melakukan perubahan pada zamannya.

Dahulu saat masih mahasiswa kita punya tanggung jawab sebagai mahasiswa terhadap sesama mahasiswa dengan unit kegiatan mahasiswa kita. Maka ada buletin Efod pada masa awal unit kegiatan kita itu. Lalu oleh generasi sesudahnya nama buletin itu diubah dengan nama baru, Profetis. Sekali lagi itu hak mahasiswa.

Setelah alumni, unit kegiatan mahasiswa bukan lagi tanggung jawab kita alumni. Tetapi mengapa ini mempersoalkan itu? Ini seni budaya, bukan untuk mengubah keadaan tetapi memaknai pengalaman dan ingatan. Paling rendah manfaat, untuk membuat kita punya ingatan. Manfaat punya ingatan itu sangat besar. Paling besar manfaatnya dapat terasakan, tinggal menggunakannya untuk apa, ini urusan nanti.

Bukan bermaksud mengurusi urusan mahasiswa dengan unit kegiatannya yang menjadi hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan mereka sepenuhnya. Sekali lagi urusan kita bukanlah mahasiswa lagi. Tetapi alumni. Kalau ada alumni yang mengurusi mereka mahasiswa, maka suara alumni untuk alumni ini menemukan jalan manfaat langsung.

Itu tujuan dari selama ini alumni berbicara kepada sesama alumni tentang mahasiswa dan unit kegiatannya. Kalau mereka sesama alumni yang peduli mahasiswa itu tak mendengar, itu urusan lain. Kalau mereka mendengar untuk diterapkan pada mahasiswa yang dipedulikannya, syukur.

Suara-suara tumpang tindih namun yang ditumpangtindihi masih bersuara. Sepertinya diam, tapi masih bersuara. Sepertinya tanpa kekuatan, tetapi masih bersuara. Bersuara dalam arti sesungguhnya. Ini suara untuk menggembalakan kalian dalam skala idea. Ini wilayah yang kalian tidak pernah membayangkan karena di dalam kurikulum kita tidak pernah ada. Konon ada muncul kini beberapa di antaranya tetapi tampaknya kita sangsi sampai ke wilayah ini.

Karena terlihat melihat tanda-tandanya tidak begitu kentara. Dan oleh karenanya kita seperti kambing saja. Bukan domba, karena domba selalu mempunyai kesamaan dan kekompakan semua, sedang kambing lebih bebas dan merdeka sebagaimana pada hakikatnya makhluk soliter. Sedangkan kita lebih suka menjadi domba. Padahal tanda-tanda kedombaan kita hanyalah sekedar penghibur hati yang lemah.

Tanda itu begitu banyak, sebanyak tanda hati yang kuat juga dalam skala-skalanya. Dapat dikaitkan di sini atau dikait-kaitkan saja.  Terserah saja, seperti selama ini kita juga terserah saja, karena yang peduli secara langsung yang tak akan bilang terserah. Walau bilang terserah juga bisa menjadi suatu tanda kepedulian. Kalau benar peduli. Dapat dikaitkan di sini atau dikait-kaitkan saja.  Terserah saja, seperti selama ini kita juga terserah, karena yang peduli secara langsung tidak akan bilang terserah. Walau bilang terserah juga bisa menjadi suatu tanda kepedulian.

Tanda kepedulian itu adalah sebuah jembatan keledai. Seperti banyak sekali benda dan peristiwa bermunculan dalam pertemuan antar alumni di WAG, Zoom, teleconference, temu darat. Ingatan terhadap satu peristiwa dengan kehadiran benda dan orang-orangnya membutuhkan pemantik, dapat berupa apa pun termasuk "jembatan keledai".

Kehadiran jembatan keledai ini bukan berfungsi menghadirkan benda dan peristiwa itu kembali. Tetapi, dapat menghadirkan proses pada saat masa-masa indah penuh kenangan yang terjadi pada masa silam.

Contohnya pada persekutuan doa mahasiswa yang hingga 30-40 tahun kemudian dan tetek bengeknya termasuk tentang buletin Efod dan atau buletin Profetis itu masih tidak lekang dari ingatan dan terasa terpampang nyata.

Proses peristiwa demi peristiwa dan adanya benda-benda itu hadir kembali dengan pemaknaan-pemaknaan baru. Kerumitan pribadi manusia dapat terungkap secara lebih kaya sehingga proses peristiwa masa lalu itu sesungguhnya mempunyai berbagai kemungkinan apa pun yang mempengaruhi dan dipengaruhi.

Bukan benda dan peristiwa masa lampau yang hadir dan berpengaruh pada proses untuk masa kini. Tetapi proses masa lalu itulah yang terus berpengaruh secara kuat untuk sebuah proses pembinaan berkelanjutan. Termasuk, pembinaan iman.

 

Bojonegoro, 15 Agustus 2021


Catatan Pekik Merdeka Tukang Puntung Rokok yang zaman Dahulu Ikut Perang Kemerdekaan yang Diteriakkan di Relung Hatiku

Catatan Pekik Merdeka Tukang Puntung Rokok yang zaman Dahulu Ikut Perang Kemerdekaan yang Diteriakkan di Relung Hatiku


Oleh: Bekas Siswa SMA yang Pernah Diminta Suaranya oleh Gurunya Apakah Seperti Suara Bung Karno Sang Proklamator Kemerdekaan


Keadaan sangat kacau, di sana-sini orang lalu lalang seperti zombi hidup namun penuh razia dan larangan, masih hidup namun perut tampak tulang, tubuh berpakaian karung goni sehingga langganan garuk-garuk kutu mencipta luka menganga. 


Senapan, granat, mesiu, di mana-mana, asap mengepul, meski perut kelaparan pejuang berteriak-teriak bukan hanya kata-kata tetapi juga gerak cepat merebut wilayah tanah-tanahnya sendiri, peninggalan nenek moyang yang dirampas Jepang yang mengusir Belanda di tempat sama tetapi kemudian menjajah lebih kejam daripada yang diusir.


"Merdeka! Merdeka!" pekiknya yang ikut bergerak di sela-sela pejuang-pejuang dalam suasana sangat kacau itu.


"Sampai sekarang ... aku merasakan keindahan suasana kacau itu. Suasana yang sangat buruk tetapi betul-betul sangat penting, dan berarti bagi kehidupan bangsa ini. Sangat indah sekali. Kekacauan yang sangat indah sekali," katanya bukan bersemangat dipaksakan.


"Meski sekarang hidupku menjadi tukang puntung rokok, aku tetap merasakan keindahan masa perjuangan merebut kemerdekaan itu," katanya sambil mengembuskan asap rokok bekas puntungannya di depan gedung bioskop penuh film India dan film percintaan lokal yang 40 tahun kemudian menjadi pendapa besar bupati yang hormat menghadap tiang bendera Merah Putih yang berkelebat di angkasa.


Biasanya veteran perang kemerdekaan nasibnya memang demikian, tetap sengsara meski ikut merebut dan berkorban hingga bangsa ini merdeka lepas bebas dari belenggu kemerdekaan hingga mampu dalam kondisi membangun jalan tol Surabaya-Jakarta.


Melihat kondisi veteran yang tukang puntung rokok keindahan pada dirinya paling tidak ada dua: Indahnya hidupnya sebagai tukang puntung rokok, dan indahnya hidupnya sebagai pejuang yang bukan sekedar latah ikut-ikutan berjuang masa sangat kacau perang kemerdekaan yang sangat mencekam


Ternyata hidup kacau dan suasana kacau juga keindahan, yang memampukan tukang puntung rokok itu mampu berteriak Merdeka Merdeka Merdeka tanpa pernah putus ketika justru para pengkhianat kemerdekaan itu berlimpah harta berkat kemerdekaan yang ikut diperjuangkan sang tukang puntung rokok.


Merdeka!


Bojonegoro, 17 Agustus 2021

Minggu, 15 Agustus 2021

Catatan Suara Tukang Becak yang Sedang Mengayuh di Dalam Dadaku

 Catatan Suara Tukang Becak yang Sedang Mengayuh di Dalam Dadaku


Oleh: Tukang Cat Tripleks Baliho Orang-orang Suci


Saat ini akan kuungkap rahasia besar rasa kehilanganku di suatu grup yang penuh majelis umat sevisi. Grup itu kuikuti dengan riang macam-macam tanda sapuan cat warna-warni dan pada saat tertentu kutumpahkan cat ekspresi kuat.


Rasa kehilanganku itu adalah, sangat jarang lagi kubaca postingan tentang pelajaran seorang yang mendalaminya sebegitu intensif sedari dia, salah satu seniorku berkuliah. Ia, seorang pembelajar Kitab Agung dan syiarnya pun. Maka tulisannya di grup itu sangat berisi semacam kuliah gratis.


Dulu sangat sering ia menulis di sini, dan pernah berbeda pandangan dengan pembelajar yang lain yang hampir setiap hari menulis di grup itu. Perbedaannya adalah tulisan senior tadi lebih dalam dan rinci. Dan tak segan berbagi seperti kuliah gratis itu. 


Sejauh orang merantau, akhirnya ia akan kembali ke rumah. Saat tak pernah kudapati lagi ia di grup itu ...

sedangkan  sebagai tukang cat grup itu aku kehilangan begitu banyak referensi darinya ... Kuanggap, aku harus belajar sendiri mencari referensi di internet. Anggaplah Itu kampung halamanku. Di grup itu aku hanya pengembara.


Mungkin juga seniorku itu pun. Sejauh ia mengembara bersyiar di mana-mana ... semula dianggapnya grup itu dianggapnya ladang syiarnya. Namun kemudian ternyata tidak. Maka ia pun pulang kembali ke kampung halamannya. Mungkin kantor visinya, mungkin lembaga misinya, dan lain-lain. 


Mungkin juga grup itu terlalu penuh orang pintar dan suci dan tidak butuh itu semua. Sehingga kalau terus menulis di situ, berarti menggarami laut. Maka lebih baik pulang ke kampung halamannya.


Kalau aku sendiri misalnya seperti dia bagaimana? Dalam artian saat mengecat warna-warni di grup itu aku tertolak, bagaimana? Namanya grup majelis, ya sedari kuliah seperti majelis atau dewan yang penuh maha tuan kebijaksanaan meski tidak semua kelihatan. Kalau aku sendiri tertolak, akankah aku pulang ke kampung halamanku sendiri?


"Ah, ngapain pusing-pusing pada becak yang sedang laju melanggar marka," kata tukang becak yang mengayuh becak di jalurnya di dalam dadaku.


Lanjutnya, "Semua yang ada di grup itu serba ketidaktentuan, banyak kebetulan-kebetulan. Banyak ketidaktentuan dan kebetulan itu terjadi sejak zaman kuliah. Dan yang kau alami saat terakhir itu hanya kelanjutan prosesnya. Teruskan mengecat dengan riang dan berwarna-warni agar mereka tahu manfaatnya. Kalau tidak, mereka hanya akan berada di zona nyaman, penuh pujian, dagelan dan seolah  berketuhanan. Meski bisamu hanya itu, dan tidak lain-lain yang hebat, saleh, dan mulia, teruskan jadi tukang cat. Toh sedari kuliah, tugasmu juga hanya tukang cat. Tidak usah berhasrat naik pangkat jadi majelis yang terhormat dan orang suci berhikmat. Dasar tukang cat."


Lamongan, 16 Agustus 2021