Catatan Koboi yang Menembak dengan Pistol dan Pangeran Diponegoro yang Menghunus Keris yang Berkibar-kibar sebagai Bendera Perjuangan Hidup di Hidup yang Bebal di dalam Pembuluh Nadiku
Oleh: Anak
seorang bekas guru yang pernah coba beternak bebek tetapi gagal
Naik atau turun
memang biasa. Bahkan kehidupan kita juga. Bila mengingat perjalanan diakronis
dari masa ke masa, kita bersyukur pada kondisi kita saat ini. Bahkan Amerika
Serikat yang 30 tahun lalu negara Adidaya, jauh sebelumnya pada 1800-an adalah
negara di daerah tandus.
Tanah gersang,
tandus, kejam, dan luas. Itulah tanah perbatasan barat, west, Amerika, di mana
koboi mesti hidup bersaing dengan Indian, dan mereka manusia-manusia ini mesti
berhadapan dengan ular, burung nazar, serta panah, tombak, cambuk dan pistol
serif atau jagoan penjahat.
Sampai revolusi
industri yang bermula dari Inggris menyebar ke sana dan kehidupan baru
berkembang setelah kereta api masuk dengan rel-rel besinya yang panjang,
penduduk memanfaatkan tambang emas dan minyak, menjadi negara kaya terus
berpacu dalam modernitas hingga revolusi industri demi revolusi industri
mengubah sebuah menjadi seperti dunia fantasi namun serba ada dan serba mudah.
Apakah kita
mengalami kehilangan masa Amerika dalam dunia The Wild Wild West itu? Saya
yaikin tidak, karena saat itu Nusantara adalah dalam kondisi berbeda, waktu
penjajahan Belanda di mana para pejuang nasional secara sporadis berperang
melawan kezaliman penjajah Belanda.
Jadi kalau
begitu, apakah kita juga merasa kehilangan saat Pangeran Diponegoro dengan
surban putihnya menunggang si putih sakti menghunus keris perkasa melawan
Belanda selama lima tahun lalu dengan tipu muslihat Belanda mesti bertekuk
lutut dan membuang hati-hari terakhirnya di Manado dan pulang ke Rahmatullah di
Makassar?
Karena umur kita
rata-rata tidak sampai 100 tahun apalagi 200 tahun maka susah mempunyai ingatan
ke tahun 1825-1830 saat perang Diponegoro itu. Jangankan itu, anak sekarang
saja tidak tahu tentang Perang Kemerdekaan 1945 yang mempertaruhkan nyawa semua
rakyat sebelum hadir negara Republik Indonesia. Disuruh menghafal dasar negara
Pancasila saja lidahnya belepotan, bahkan juga para penggede dan pejabat pun.
Jangankan
kehilangan masa awal negara Amerika di barat, anak-anak itu tidak pernah merasa
kehilangan Pangeran Diponegoro, bahkan juga tidak merasa kehilangan pejuang
kemerdekaan 1945.
Kita merasa
kehilangan kalau ada kedekatan, yang ada sentimentalitas. Bila kita tidak ada kedekatan yang lebih
bermain adalah logika, rasio dan kebenaran. Apakah dengan tulisan ini Anda juga
akan merasa sadar telah merasa tidak pernah kehilangan Pangeran Diponegoro dan
para pejuang kemerdekaan 1945?
Seni sering
dibilang hanya pintu masuk menuju filsafat. Budaya sering disebut hanya ruang
di antara pikiran dan produk budaya. Bahkan budaya juga hanya dikutuk sebagai
hanya ekspresi bukan esensi. Maka begitu cair dan serba relatif itu budaya.
Bahkan dengan mudah ditiadakan. Apalagi bila agama lebih dipercaya sebagai
pengendali semua akal dan perbuatan.
Apa kau tak
merasa kehilangan sesuatu bila budaya diposisikan hanya seperti ini? Kali ini
coba berpikir terbalik pada pandangan lain bahwa agama pun suatu produk budaya.
Tapi kalau tidak siap, ya janganlah, tetaplah tempat agama di atas segalanya
termasuk di atas budaya.
Apa pun yang kau
posisikan tentang agama dan budaya, apa ini membuatmu merelakan tidak
mempelajari sejarah perjuangan bangsa yang pendidikannya pada tahun 1985-an
disebut PSPB bukan istilah zaman Covid-19 PSBB yang kemudian diganti PPKM bukan
PPKN?
Kita terlalu
emosional bila merasa ada sesuatu yang tidak cocok dengan segala hal yang dekat
dengan kita. Sedangkan setiap orang mempunyai preferensi dan referensi
berbeda-beda sesuai dengan uniknya mereka dan pengalaman masing-masing. Dan di
sini membuat yang satu dengan yang lain merasa baper, terbawa perasaan. Padahal
segala sesuatu ada sejarahnya, diakronisnya.
Mau sinkron
ternyata butuh juga diakron ya. Tidak asal sinkron-sinkronan. Padahal akhiran
an pada kata dan kalimat seperti ini berarti cuma mainan atau palsu.
Rumah-rumahan itu kan bukan rumah artinya.
Terkadang kita
terlalu sibuk mengatasi masalah kita saat ini, sehingga tidak sempat berpikir
budaya macam itu. Sering kita katakan, “Kadang aku kangen mereka dan merasa
kehilangan karena dulu juga aktif di sana. Tapi kuatasi karena merasa terlalu
terikat dapat membuat orang gila karena ingatannya seperti ditarik sana-sini
hingga melayang-layang dalam regangan dan ketegangan. Jadi ya 134 ajalah.”
134 artinya tidak
ada duanya. Sering digunakan saat bicara dikit menggombal agar si cantik senang
dan hati sendiri riang atau agar si dia jatuh ke pelukan. “Kepergianmu dari
sini membuat banyak temanmu merasa kehilangan. Karena kamu memang tiada
duanya.”
Tapi itu ada
benarnya, semua, masing-masing, tiada ada duanya. Setiap kita unik. Dan hanya
satu. Meski saudara kembar sekalipun, tidak ada yang dapat menyamai.
Lalu karena
merasa masing-masing unik, 134 (tiada duanya) satu demi satu yang tidak kerasan
pun pergi dari ruang yang berpotensi konflik, membutuhkan tempat nyaman untuk
manusia berumur 50 tahunan menuju 60 tahun. Katanya seket (50, Jawa) berarti
senengane kethu/kopiah. Para ulama tampak selalu memakai kopiah atau kethu.
Warnanya pun dominan putih.
Kesucian diri
menjadi obsesi. Maka grup berjiwa muda pun lama-lama berubah warna. Alami saja
prosesnya. Seperti aku di suatu grup menjadi mudah emosional ketika orang lain
merespon postingan seriusku dengan dagelan secara terus-menerus bukan hanya
sekali-dua kali saja yang bisa ditolerir. Sampai sekarang aku tak tahu alasan
semua itu. Tetapi rasanya ya itulah. Semua sulit atau tidak mau saling belajar
dari yang lain. Mentok, bukan menthok (sebangsa itik/bebek).
Bojonegoro, 19
Agustus 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar