Suara-Suara Terus Berbisik dan Menggumam
Mempertimbangkan Berbagai Pemaknaan EFOD vs PROFETIS yang Menjadi Jembatan
Keledai dan Berbisik Bergumam Terus dalam Bising Dunia
Oleh: Mantan
Redaktur Buletin Unit Kegiatan Mahasiswa Sebuah Universitas
Ini pendekatan
seni untuk pemaknaan baru, bukan mencari kebenaran, bukan mencari benar salah,
bukan mencari kaidah dan rumus. Pendekatan seni adalah pendekatan dengan
simbol-simbol. Berisik suara-suara lingkungan kita di sini ditonjolkan, sebagai
simbol bahwa suara-suara Ketuhanan memang banyak tertutupi oleh suara-suara di
sekitar kita.
Suara Roh
Kebenaran hanya ada sayup-sayup seperti bisikan-bisikan yang tidak jelas, kalah
oleh bising suara kendaraan lalu lalang, bising nyaring suara menyangkut perut
dan kebahagiaan dan kesibukan, keseharian. Tetapi meski suara Roh itu hanya
berbisik dan bergumam, ia akan terus bersuara sepanjang hayat dan umur
kehidupan sampai akhir.
Tidak
bermaksud mengadu domba sejarah dan generasi. Seni bukan untuk itu. Seni
bertugas untuk memberi pemaknaan demi pemaknaan dengan simbol-simbol. Efod dan
profetis sama-sama berbicara tentang Suara Tuhan, Kehendak Tuhan, yang nyaris
selalu tertutupi dan terkalahkan oleh suara-suara bising kehidupan dunia.
Sekali lagi,
pendekatan seni tidak bermaksud mencari kebenaran. Tidak bermaksud membuat
rumus dan mencari kaidah. Pendekatan seni budaya lebih bersifat memaknai semua
pengalaman dan pemikiran. Sangat bermanfaat untuk ingatan tentang hal yang
dibahas.
Efod jubah
imam agung bangsa Israel zaman Perjanjian Lama. Profetis isi kitab para nabi.
Kedua-duanya berarti bagus untuk keimanan hubungan manusia dengan Tuhan.
Mengapa harus memilih di antara keduanya. Dengan pendekatan seni budaya kita
dapat memberi pemaknaan. Efod lebih bersifat simbolis sebagai hal utama dalam
seni budaya dan ilmu humaniora. Profetis lebih bermakna sesungguhnya dan kurang
simbolis.
Secara
simbolisme seni nama Efod lebih bagus. Nama profetis lebih bersifat telanjang.
Padahal profetis sendiri secara pengertian ya sama dengan Alkitab Firman Tuhan.
Tergantung kecenderungan kita lebih ingin semua indah dengan menyentuh unsur
hati dan perasaan. Atau lebih cenderung membuat semua apa kadarnya dan terasa
kering.
Pembahasan
belum sampai pada tanda pemberontakan generasi profetis terhadap generasi efod.
Tetapi setiap zaman memang punya anak zaman sendiri-sendiri. Seseorang punya
hak untuk bersikap dan melakukan perubahan pada zamannya.
Dahulu saat
masih mahasiswa kita punya tanggung jawab sebagai mahasiswa terhadap sesama
mahasiswa dengan unit kegiatan mahasiswa kita. Maka ada buletin Efod pada masa
awal unit kegiatan kita itu. Lalu oleh generasi sesudahnya nama buletin itu
diubah dengan nama baru, Profetis. Sekali lagi itu hak mahasiswa.
Setelah
alumni, unit kegiatan mahasiswa bukan lagi tanggung jawab kita alumni. Tetapi
mengapa ini mempersoalkan itu? Ini seni budaya, bukan untuk mengubah keadaan
tetapi memaknai pengalaman dan ingatan. Paling rendah manfaat, untuk membuat
kita punya ingatan. Manfaat punya ingatan itu sangat besar. Paling besar
manfaatnya dapat terasakan, tinggal menggunakannya untuk apa, ini urusan nanti.
Bukan
bermaksud mengurusi urusan mahasiswa dengan unit kegiatannya yang menjadi hak,
kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan mereka sepenuhnya. Sekali lagi urusan
kita bukanlah mahasiswa lagi. Tetapi alumni. Kalau ada alumni yang mengurusi
mereka mahasiswa, maka suara alumni untuk alumni ini menemukan jalan manfaat
langsung.
Itu tujuan
dari selama ini alumni berbicara kepada sesama alumni tentang mahasiswa dan
unit kegiatannya. Kalau mereka sesama alumni yang peduli mahasiswa itu tak
mendengar, itu urusan lain. Kalau mereka mendengar untuk diterapkan pada
mahasiswa yang dipedulikannya, syukur.
Suara-suara
tumpang tindih namun yang ditumpangtindihi masih bersuara. Sepertinya diam,
tapi masih bersuara. Sepertinya tanpa kekuatan, tetapi masih bersuara. Bersuara
dalam arti sesungguhnya. Ini suara untuk menggembalakan kalian dalam skala
idea. Ini wilayah yang kalian tidak pernah membayangkan karena di dalam
kurikulum kita tidak pernah ada. Konon ada muncul kini beberapa di antaranya
tetapi tampaknya kita sangsi sampai ke wilayah ini.
Karena
terlihat melihat tanda-tandanya tidak begitu kentara. Dan oleh karenanya kita
seperti kambing saja. Bukan domba, karena domba selalu mempunyai kesamaan dan
kekompakan semua, sedang kambing lebih bebas dan merdeka sebagaimana pada
hakikatnya makhluk soliter. Sedangkan kita lebih suka menjadi domba. Padahal
tanda-tanda kedombaan kita hanyalah sekedar penghibur hati yang lemah.
Tanda itu
begitu banyak, sebanyak tanda hati yang kuat juga dalam skala-skalanya. Dapat
dikaitkan di sini atau dikait-kaitkan saja.
Terserah saja, seperti selama ini kita juga terserah saja, karena yang
peduli secara langsung yang tak akan bilang terserah. Walau bilang terserah
juga bisa menjadi suatu tanda kepedulian. Kalau benar peduli. Dapat dikaitkan
di sini atau dikait-kaitkan saja.
Terserah saja, seperti selama ini kita juga terserah, karena yang peduli
secara langsung tidak akan bilang terserah. Walau bilang terserah juga bisa
menjadi suatu tanda kepedulian.
Tanda
kepedulian itu adalah sebuah jembatan keledai. Seperti banyak sekali benda dan
peristiwa bermunculan dalam pertemuan antar alumni di WAG, Zoom,
teleconference, temu darat. Ingatan terhadap satu peristiwa dengan kehadiran
benda dan orang-orangnya membutuhkan pemantik, dapat berupa apa pun termasuk
"jembatan keledai".
Kehadiran
jembatan keledai ini bukan berfungsi menghadirkan benda dan peristiwa itu
kembali. Tetapi, dapat menghadirkan proses pada saat masa-masa indah penuh
kenangan yang terjadi pada masa silam.
Contohnya pada
persekutuan doa mahasiswa yang hingga 30-40 tahun kemudian dan tetek bengeknya
termasuk tentang buletin Efod dan atau buletin Profetis itu masih tidak lekang
dari ingatan dan terasa terpampang nyata.
Proses
peristiwa demi peristiwa dan adanya benda-benda itu hadir kembali dengan
pemaknaan-pemaknaan baru. Kerumitan pribadi manusia dapat terungkap secara
lebih kaya sehingga proses peristiwa masa lalu itu sesungguhnya mempunyai
berbagai kemungkinan apa pun yang mempengaruhi dan dipengaruhi.
Bukan benda
dan peristiwa masa lampau yang hadir dan berpengaruh pada proses untuk masa
kini. Tetapi proses masa lalu itulah yang terus berpengaruh secara kuat untuk
sebuah proses pembinaan berkelanjutan. Termasuk, pembinaan iman.
Bojonegoro, 15
Agustus 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar