Kamis, 03 April 2025

DNA Kritik Sastra

Bunda Yeyen, aku tidak melawan gerakan Denny Januar Ali tentang politik uang dalam relasi kuasa terhadap puisinya. Aku memilih tidak menyebut nama jenis puisinya itu. Itu jelas sudah ada sebelumnya. Memang tulisanku banyak menyinggung sosiologi sastra. Itu sebagai penerang jalan hubungan sastra dengan dunia lainnya. Tetapi soal sastranya sendiri aku tidak akan lari dari filsafat adanya, eksistensinya, kebenarannya. Hal-hal ini hanya dapat dilihat secara fenomena pada subjek sastranya. Lalu inderaku melihatnya ia tak seperti yang dimaui jenis puisinya itu sendiri. Meski Djamal D. Rahman membelanya soal catatan kaki, itu tak dapat menampik kenyataan puisi semacam itu sudah ada sebelumnya. Meskipun pasukannya membela dengan berbagai moda, itu tak akan mengereknya lebih dari sekedar hadirnya saat ini. Lebih keren gerakan Hudan Hidayat kan Bunda Yeyen. Kritik sastra tidak pernah hadir sebagai karya seni, selama ini. Ia hanya dianggap sebagai buah pikir ilmu kaum kutu buku. Lha ya kutu kupret gimana dong, masa tidak bisa secara filosofis memaknainya dengan filsafat kutu kupretnya. Gerakan ini sungguh menjawab kelangkaan kritik sastra yang sejak 2000-an kuaktif di Taman Ismail Marzuki dan PDS HB Jassin selalu dibilang kita kekurangan kritik sastra. Lha standarnya ditembok sendiri, Bunda Yeyen. Kini ditawarkan ia adalah seni, malah semua gamang. Padahal ini laksana juru selamat. Tak perlu menyelamatkan Indonesia dari relasi kuasa uang untuk melawan Denny Januar Ali dengan puisinya. Bidik pada DNA puisi itu sendiri. Seperti Hudan Hidayat membidik kritik sastra pada DNA-nya: seni. (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: