Sebetulnya kakek 56 tahun itu belum baca karya sastra yang lain sampai ia menulis perikop ini. Tetapi karena Profesor Hudan Hidayat menulis respon terhadap perikop kesatunya untuk buku kedua mereka, ia menulis juga. Faktor pembaca karya sastra juga punya tempat dalam kritik sastra kontemporer yang menempatkan resepsi sebagai bagian penting dalam seni kritik sastra. Siapa pun pembaca dapat memaknai bacaannya terhadap karya sastra itu secara kaya. Ia tidak membentur-benturkan lagi antara seni dan ilmu, itu sudah lewat dengan buku mereka yang pertama. Malah tadi waktu di kamar mandi yang sumber air penghidupan ia mendapat ide menulis tentang Siti Nurbaya yang seharusnya menjadi tonggak kesusastraan Indonesia malah dikalahkan oleh Salah Asuhan. Ia juga sudah membaca buku ini yang berkisah tentang perjodohan paksa melibatkan tokoh antagonis Datuk Meringgih melawan tokoh protagonis Samsul Bahri dalam cintanya terhadap Siti Nurbaya. Ceritanya tidak bisa vis a vis budaya Indonesia melawan budaya Belanda, sehingga oleh tim penentu hari sastra nasional yang dipilih hari lahirnya sebagai hari penting ini adalah Abdoel Moeis. Kakek 56 tahun yang dulu anak SMP itu ingat tokoh penting tim penentu itu adalah drh. Taufiq Ismail yang sama-sama dokter hewan dengan drh. Marah Roesli pengarang Siti Nurbaya. Alasan tematik kedua buku mereka (Siti Nurbaya vs Salah Asuhan) menjadikan dirinya agak trauma dengan politik sastra Indonesia. Karena ia tahu secara waktu Siti Nurbaya lahir duluan (1922) dibanding Salah Asuhan (1928). Dan dalam sejarah sastra rezim HB Jassin yang penandatangan pertama Manifes Kebudayaan itu, sejarah sastra Indonesia modern selalu dimulai dari novel Siti Nurbaya ini. Ah biar saja, alasan dapat dibuat macam-macam yang kelihatan masuk akal. Hanya karena konfliknya cuma konflik asmara maka Siti Nurbaya masuk kotak. Lagi pula Samsul Bahri menjadi tentara Belanda penumpas perlawanan pribumi, tak ada cerminan nasionalisme sama sekali ya. Berbeda jauh dengan konflik di Salah Asuhan. Jadilah ia paham yang pertama hadir belum tentu yang terbesar. Dalam konteks politik sastra berbasis nasionalisme Siti Nurbaya kalah oleh Salah Asuhan. Begitupun Siti Nurbaya tetap tonggak. Bahwa kakek 56 tahun itu dengan novelnya Lanang masuk salah satu dari 79 novel Indonesia yang terbit sejak novel Siti Nurbaya (1922) hingga 2014 masuk Daftar Judul Buku Rekomendasi untuk Program Subsidi Penerjemahan Frankfurt Book Fair 2015, ia sudah mencicipi ketenaran seperti drh. Marah Roesli. Sebelumnya novel otobiografis "Memang Jodoh" drh. Marah Roesli 2013 didapatkannya dari kiriman drh. Tjiptardjo Pronohartono pemimpin redaksinya di majalah peternakan dan kesehatan hewan di Jakarta. Ketahuan wafatnya pengarang Siti Nurbaya ini tanggalnya sama dengan tanggal kelahiran kakek 56 tahun ini. Selisih setahun persis setelah Marah Roesli wafat, ia lahir. Mistisisme macam apa ini? Yang ia ingat tentang mistisisme hanya Immanuel Kant. Dalam filsafat Immanuel Kant, mutu mistis ditemukan di dalam struktur apriori pikiran serta gagasan kebebasan transendental. Pemikiran ini menjadi dasar kemungkinan pengalaman serta tindakan moral yang melampaui sebab akibat empiris dalam ilmu. Glodak. Ilmu kritik sastra tumbang lagi oleh seni kritik sastra. Kini ia baca beberapa sumber agar tulisannya agak berdata seperti tulisan Profesor Hudan Hidayat. Malu cuma mengandalkan ingatan semata, padahal ia sudah terstigma setengah pikun. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar