Seorang anak SMP libur sekolah. Tetapi perpustakaan kota tidak tutup. Seorang tua rambut putih cepak menunggu di dekat pintu masuk. Ruang persegi panjang dengan meja luas dijajar. Di situ buku-buku tertumpuk belum ditata ulang di rak. Koleksi buku ada dirak didominasi buku terbitan Balai Pustaka. Di situlah anak SMP itu mengambil buku novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang di kemudian hari hari penting siklus hidupnya dijadikan sebagai Hari Sastra Nasional. Anak SMP itu membaca buku itu di perpustakaan itu sampai tuntas. Kalau hari itu belum rampung, dia melanjutkannya lain hari. Mumpung liburan sekolah. Hatinya menjelma menjadi salah asuhan seperti cerita di dalam novel itu. Tidak ada yang dikritiknya tentang novel itu. Malah dia betul masuk dalam cerita anak inlander yang bergaul dan bertata hidup seperti Sinyo Belanda. Main tenis dengan pakaian olah raga putih-putih pula. Kritiknya terhadap pola pendidikan salah asuh itu tidak dikritiknya? Rasanya tidak. Justru sepertinya ia menyerap kisah itu hingga kehidupannya terpengaruh pola salah asuh pendidikan itu. Saat menulis sketsa kisah ini ia sudah 56 tahun. Banyak hal yang tidak beres dalam hidupnya. Tetap dia tidak mengkritik novel yang dibacanya waktu remaja sekolah bercelana pendek di atas dengkul itu. Apakah dengan menulis ini dia tidak menulis kritik sastra? Kritik tak harus diucapkan. Hanya diam di dekat orang tersayang saja seseorang sudah menyampaikan isi hati. Dia tahu apa arti anti klimaks. Maka pada buku Seni Kritik Sastra pertama yang ditulisnya bersama Hudan Hidayat dia sudahi pada pasal 4 perikop 8. Endingnya pada kata Mahaseni. Itu hal tertinggi. Bila ia menulis lagi maka ketinggian Mahaseni akan meluncur ke bawah. Meluncur ya ke bawah, tahu. Tapi ini majas penegasan. Tapi pula, penegasan tidak harus ditulis verbal. Ia sudah mengkritik tanpa bersuara terhadap buku novel Salah Asuhan. Kritiknya ternyata, "Mengapa aku terlalu menjiwai karya sastra Bapak Kesusastraan Indonesia itu?" Coba pikir, apa ungkapan ini termasuk kritik? Buktinya bukunya Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro yang lebih menceritakan tentang perjalanan sejarah sastra di kotanya juga masuk kategori kritik sastra meski hanya menjadi nominator Anugerah Sastra Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur. Oh tidak, di dalamnya juga ada ulasan tentang karya sastra mereka yang menulis karya sastra itu. Jelas, sebelum lebih jauh menulis tentang kritik ia harus baca lagi lebih dalam pengertian tentang kritik. Yang ia hafal cuma filsafat kritisisme itu identik dengan Immanuel Kant. Dengan mengkritisi dua kubu berseberangan rasionalisme Rene Decartes dan Empirisisme David Hume, Kant sudah melakukan suatu pemikiran kritis. Kritik tidak harus menyerang, tetapi dapat juga mendamaikan dan mencumbui seperti dilakukan oleh Tokoh Persuratan Dunia Numera 2017 Hudan Hidayat. Hanya si bocah SMP yang sudah berumur kakek itu kini sudahi di sini saja dan mau baca lagi agar dia menulis seperti berkendara di jalan tol. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar