Seni kritik sastra sangat penting untuk menjawab kelangkaan kritik sastra di Indonesia. Apa pun proses kelahiran gerakan seni kritik sastra ini, saya dan Hudan Hidayat, Hudan Hidayat dan saya, semula akan menulisnya dalam sebuah buku berdua. Kami pun membuat grup WA Seni Kritik Sastra dan mengundang siapa pun boleh keluar masuk sesukanya.
Dialektika dalam grup yang diikuti sampai puluhan anggota membuat saya dan Hudan sependapat sifat bahkan jati diri kritik sastra yang melampaui sebagai ilmu adalah sebagai seni. Profesor Hudan sangat sastrawi dalam menuliskan pendapatnya dengan perbaikan berulang kali tulisannya sehingga matang dan berwibawa. Sedangkan saya menulis di grup sekali jadi guna mempertahankan emosi, dan sekaligus setiap postingan saya tanpa paragraf di grup adalah juga perikop demi perikop bab tulisan saya. Saat itu buku akan kami bagi Bab I tulisan Hudan Hidayat, Bab 2 tulisan saya. Melihat perbedaan cara kami dalam menulis membuat saya sadar diri, bahwa tulisan kami punya sasaran pembaca yang berbeda. Saya juga tahu Profesor Hudan Hidayat punya sendiri masyarakat pembaca yang kuat terhadap tulisan-tulisannya. Intuisi saya bilang kami harus adil dalam bersikap terhadap masyarakat pembaca kami masing-masing. Tidak harus satu buku berdua untuk membuat gelombang seni kritik sastra. Apalagi gelombang gerakan seni kritik sastra. Saya kemudian memilih lebih baik dua buku berbeda dari dua penulis berbeda. Itu baru namanya gerakan. Semakin banyak buku lahir dari banyak orang tentang seni kritik sastra, semakin nyata kehadirannya. Seni Kritik Sastra. Maka buku saya ini terbit sendiri. Untuk memperkuat isi buku, saya lengkapi perikop-perikop saya dengan esai kritik sastra lama saya yang tersimpan di arsip dan maunya saya munculkan yang sudah dimuat di media massa. Kita tunggu buku Profesor Hudan Hidayat. Tetapi menunggu bukanlah pekerjaan enak. Aku bersikap biarkan Prof Hudan menentukan jalannya sendiri tentang Gerakan Seni Kritik Sastra. Yang saya tahu dengan pasti, tulisannya tentang Seni Kritik Sastra sudah cukup panjang. Dan itu hak cipta intelektualnya. Yang penting, seni kritik sastra adalah jawaban jitu terhadap kelangkaan kritik sastra kita.
Bojonegoro, Paskah 2025
Yonathan Rahardjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar