Selasa, 30 November 2021
Senin, 29 November 2021
Minggu, 28 November 2021
Sabtu, 27 November 2021
Jumat, 26 November 2021
Kamis, 25 November 2021
Rabu, 24 November 2021
Selasa, 23 November 2021
Minggu, 21 November 2021
Sabtu, 20 November 2021
Jumat, 19 November 2021
Rabu, 17 November 2021
Selasa, 16 November 2021
Senin, 15 November 2021
Minggu, 14 November 2021
Sabtu, 13 November 2021
Rabu, 10 November 2021
Selasa, 09 November 2021
Senin, 08 November 2021
Minggu, 07 November 2021
Sabtu, 06 November 2021
Rabu, 20 Oktober 2021
Senin, 18 Oktober 2021
Minggu, 17 Oktober 2021
Sabtu, 16 Oktober 2021
Jumat, 15 Oktober 2021
Sabtu, 21 Agustus 2021
Catatan Hidangan bekas oleh pengarang untuk pembacanya yang menyelundup di benakku pagi ini setelah semalam mengisi materi pelatihan menulis cerpen di WAG setelah kepergian sastrawan besar dari Surabaya
Catatan Hidangan bekas oleh
pengarang untuk pembacanya yang menyelundup di benakku pagi ini setelah semalam
mengisi materi pelatihan menulis cerpen di WAG setelah kepergian sastrawan
besar dari Surabaya
Oleh: Bekas penulis buku harian waktu SD yang setiap halaman tulisannya
dilengkapi dengan ilustrasi gambar gambar sendiri bukan gambar orang lain
Bila sastrawan yang itu mengatakan adalah bekas bila menyiarkan karyanya
sebelumnya di media sosial baru mempersembahkan kepada pembaca dan pelatihan
itu terasa membongkar ingatan tentangnya saat membahas buku kumpulan cerpenku tetaplah menulis saja
dan beraktivitas sastra apa pun karena kalau tidak begitu kesastraanmu akan
mati seperti yang dikatakan oleh sastrawan besar yang baru berpulang kemarin.
Sebutan hidangan basi adalah karena latar belakangnya yang sudah
menulis pada masa sebelum zaman digital saiber di mana proses menulis merupakan
ruang privat oleh karena alatnya tidak terkoneksi teknologi dengan orang
padahal zaman sudah berubah saat ini di mana ruang proses kreatif ada di
mana-mana dan terkoneksi dengan orang lain bahkan menjadi pemicu adrenalin
kepenulisan dan ini modal kuar untuk berproses kreatif seperti yang kualami
sejak zaman milis sampai malam tadi melatih beberapa anggota grup dari seluruh
Indonesia dan menjadi jalan bagus untuk melangkah seperti yang dikatakan
sastrawan yang banyak dipuja orang itu.
Zaman sekarang memang sulit memisahkan privasi atau tidak bahkan begitu
banyak orang yang menyiarkan kehidupannya hampir 24 jam bahkan itu menjadi
sumber mata pencaharian bahkan dia dapat menghidupi orang banyak karena itu
sehingga paradigma demi paradigma sudah berubah jadi mengapa harus mengekang
kreativitas hanya oleh karena ambigu menyikapi pendapat demi pendapat hanya
untuk sebuah kenyamanan hati yang sementara.
Bojonegoro, 22 Agustus 2021
Memahami Kebutuhan Informasi dan Pokok Keahlian Menulis Cerpen
Memahami Kebutuhan Informasi dan
Pokok Keahlian Menulis Cerpen
Oleh: Yonathan Rahardjo
Lomba-lomba dalam rangka tujuhbelasan makin variatif, adakah lomba
makan pentol bakso? Mungkin yang ada lomba dengan mulut mencabut uang logam
yang ditancapkan pada bakso besar yang digantung dengan tali. Kalau benar ada,
ini modifikasi lomba makan kerupuk gantung.
Setuju kata Anda, kalau lomba ini ada, modalnya lebih besar, padahal
lomba-lomba tujuhbelasan umumnya berbiaya murah. Setuju pendapat Anda, kalau
ada, sebelum lomba baksonya sudah habis ditelan panitia.
Semua lomba tujuhbelasan cenderung berbiaya murah karena konon menurut
sejarahnya lomba-lomba ini memakai bahan dan peralatan apa adanya. Ini sesuai
kondisi masyarakat Indonesia yang dijajah Belanda, mesti bisa menghibur mereka
sang ndoro tuan dan gubermen pada hari-hari perayaan nasional Belanda seperti
HUT Ratu Wilhelmina.
Konon lomba makan kerupuk, lomba lari karung, lomba panjat pinang,
semua diadakan untuk menghibur sang penjajah, dengan bahan dan alat seadanya
serta menunjukkan kekonyolan-kekonyolan peserta lomba sebagai penghinaan
terhadap bangsa pribumi. Sedangkan lomba tarik tambang adalah hiburan para
pekerja romusha saat zaman penjajahan Jepang. Lomba egrang? Sepertinya hinaan
pribumi terhadap bule Belanda karena dengan naik egrang pribumi dapat menjadi
lebih tinggi dibanding orang Belanda.
Membaca Sumber Informasi dan
Menuliskannya
Sumber penulisan artikel tentang lomba tujuhbelasan ini adalah
internet. Ya banyak sekali hal dapat diperoleh informasinya di internet.
Biasanya penulis mempunyai berbagai cara untuk menulisan ulang hasil pembacaan
informasi itu. Setidaknya adaempat cara penulisan itu: (1) kopi paste apa
adanya, (2) kopi paste disertai beberapa modifkasi/perubahan, (3) menulis ulang
sesuai dengan ingatan/pikiran sendiri sebagai informasi, (4) menulis ulang
informasi itu disertai opini/analisa.
Jelas yang benar secara etika dan kecerdasan adalah cara ketiga dan
keempat. Untuk memelhara etika dan mengembangkan kecerdasan sendiri, jangan
pernah melakukan cara kesatu dan kedua.
Sebagai perbandingan, pada saat ini muncul beragam berita tentang
Taliban yang tumpang tindih antara yang memberitakan perilaku Taliban sudah
berubah dan mau mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan tidak seperti Taliban 2001
dan yang sebaliknya. Tentu kita menuliskan dengan cara masing-masing berdasar
berbagai informasi itu seraya memperhatikan perkembangan yang terjadi.
Artinya bagi pengembangan keterampilan penulis kita, sumber informasi
kita mesti memadai, untuk itu kita membutuhkan pengalaman. Yang dimaksud
pengalaman di sini bukan hanya mengalami peristiwanya secara langsung, tetapi
pengalaman inderawi dengan membaca juga adalah pengalaman.
Menulis Pengalaman Sebagai
Berita atau Sebagai Fiksi
Pengalaman sangat penting untuk dituliskan guna memelihara ingatan.
Bila penulisannya sesuai dengan kejadian yang dapat diindera dengan
pancaindera, penulisannya dapat menjadi berita yang akurat. Secara objektif
akurat.
Bila sudah masuk opini, perasaan, sentimen, mungkin dapat tersusupi
berita-berita lama yang sudah terjadi dan dicampur aduk dengan berita yang
sedang terjadi. Dan, menimbulkan imaji. Di sini akan sangat hebat sebagai
sebuah karya sastra. Dan karya sastra umumnya adalah karya fiksi. Untuk menjadi
karya sastra cerpen, novel, puisi, hal-hal subjektif itu sangat dibutuhkan.
Seolah-olah hal itu yang sesungguhnya terjadi sebagai realitas baru. Maka
realitas fiksi adalah realitas yang berbeda dengan realitas jurnalistik berita.
Keunggulan fiksi inilah yang dapat menghidupkan cerita peristiwa
sederhana seperti seorang guru yang jenuh dengan penjara epidemi yang memaksa
semua aktivitas belajar-mengajar harus secara daring. Penulis dapat memasukkan
unsur-unsur kegelisahan tokoh guru ini, dideskripsikan dengan perasaan,
perilaku merebahkan diri di tempat tidur, berdebar ketika ternyata setelah
sekian lama aktivitas daring, akan ada upacara secara langsung ... ternyata
hari diancam dengan turunnya hujan.
Plot sederhana ini akan dapat terus berkembang dengan berbagai
peristiwa yang terjadi selanjutnya, baik beralur maju ataupun mundur. Tentu
lebih baik disertai dengan kehadiran tokoh lain yang dapat menimbulkan konflik.
Sehingga dalam bangunan cerpen akan terpenuhi semua unsurnya: tokoh dan
perwatakan, latar peristiwa, alur, konflik, solusi permasalahan, dengan ada
pesan moral.
Kerangka karangan
Masa pandemi juga menjadi tantangan bagi siswa (dan semua orang).
Narasi lugas dari siswa sebagai penulis membuat cerita terus maju ke depan
dengan tindakan dan kegiatan serta tindakan kegiatan baru dari siswa.
Penceritaan memakai sudut narator orang pertama (aku) bertindak memakai kata
kerja demi kata kerja. Jalinan penceritaan terus melaju dari satu permasalahan
ke permasalahan lain hingga berakhir bahagia si siswa punya toko sendiri dengan
pemasukan Rp 50 ribu perhari.
Bila dikembangkan lebih lanjut dengan jalinan cerita selanjutnya,
narasi yang telah ditulis dapat berfungsi dua: (1) Sebagai pembuka, (2) Sebagai
kerangka karangan. Sebagai pembuka, artinya dapat akan terjadi lagi jalinan
tindakan dan peristiwa selanjutnya. Sebagai kerangka karangan, artinya setiap
tindakan dapat diuraikan lagi rinciannya. Jadi setiap tindakan merupakan satu
pokok pikiran.
Misalnya si siswa berdiskusi dengan ibunya, di situ dapat dikembangkan
percakapanya dengan kalimat langsung. Dapat ada konflik di situ misalnya dengan
perbedaan mendapat. Ini merupakan bahan yang bagus untuk membuka peristiwa-peristiwa
lain. Jadi setiap pokok pikiran dapat dikembangkan baik dengan: narasi
(penceritaan), deskripsi (uraian), eksposisi (paparan), percakapan (dialog),
monolog (berpikir/berbicara sendiri).
Monolog
Salah satu cara paling efektif dan dekat dengan diri pribadi pengarang
adalah menceritakan secara monolog. Berpikir atau berbicara sendiri
mengutarakan pendapatnya, perasaannya, pikirannya, pandangan-pandangannya
berdasar subjektivitasnya sendiri. Objeknya dapat berupa apa saja yang diindera
dengan pancaindranya. Dalam cerpen dapat saja demikian, sebagai tokoh tunggal
dari awal sampai akhir, seperti yang ditulis pencerita tentang kegalauan dan
kegelisahannya melihat lingkungan masyarakat yang terdampak pandemi secara
ekonomi.
Cerpen atau cerita pendek memang satu bangunan utuh menyoal suatu hal
secara utuh (kompak dalam satu kesatuan). Ibarat pohon, di situ ada
cabang-cabang pohonnya, lalu dari cabang muncul ranting-ranting, lalu dari
ranting muncul daun bahkan bunga. Dalam penguraian semua ini, satu masalah itu
dapat dituntaskan.
Apakah dengan demikian semua penceritaan sah dan kuat untuk disebut
sebagai cerpen yang berhasil. Sah adalah pasti. Kuat? Perlu dieksplorasi lebih
dalam kesatuan pokok permasalahannya dengan berbagai unsur penceritaan cerpen
tadi. Apakah berhasil menarik perhatian, menggugah perasaan, menimbulkan imaji
yang kuat?
Maka ada dua kemungkinan yang terjadi: (1) Cerita yang sudah ditulis
merupakan bahan awal dan dapat dikembangkan, (2) Cerita yang sudah ditulis
sudah selesai. Anda memilih yang mana? Harapannya Anda memilih yang kedua, dan
menyadari bahwa semua masih harus terus diperjuangkan.
Dengan kesadaran itulah kita yakin bahwa banyak pemula telah memulai
langkahnya menulis cerpen dengan telah menulis gambaran umum di unit kerjanya
pada saat pandemi Covid-19 dengan tantangannya pada pembelajaran jarak jauh.
Tinggal menguraikan saja.
Bojonegoro, 21 Agustus 2021
Kamis, 19 Agustus 2021
Catatan Jambu Kluthuk
Catatan Jambu Kluthuk
Rabu, 18 Agustus 2021
Catatan Koboi yang Menembak dengan Pistol dan Pangeran Diponegoro yang Menghunus Keris yang Berkibar-kibar sebagai Bendera Perjuangan Hidup di Hidup yang Bebal di dalam Pembuluh Nadiku
Catatan Koboi yang Menembak dengan Pistol dan Pangeran Diponegoro yang Menghunus Keris yang Berkibar-kibar sebagai Bendera Perjuangan Hidup di Hidup yang Bebal di dalam Pembuluh Nadiku
Oleh: Anak
seorang bekas guru yang pernah coba beternak bebek tetapi gagal
Naik atau turun
memang biasa. Bahkan kehidupan kita juga. Bila mengingat perjalanan diakronis
dari masa ke masa, kita bersyukur pada kondisi kita saat ini. Bahkan Amerika
Serikat yang 30 tahun lalu negara Adidaya, jauh sebelumnya pada 1800-an adalah
negara di daerah tandus.
Tanah gersang,
tandus, kejam, dan luas. Itulah tanah perbatasan barat, west, Amerika, di mana
koboi mesti hidup bersaing dengan Indian, dan mereka manusia-manusia ini mesti
berhadapan dengan ular, burung nazar, serta panah, tombak, cambuk dan pistol
serif atau jagoan penjahat.
Sampai revolusi
industri yang bermula dari Inggris menyebar ke sana dan kehidupan baru
berkembang setelah kereta api masuk dengan rel-rel besinya yang panjang,
penduduk memanfaatkan tambang emas dan minyak, menjadi negara kaya terus
berpacu dalam modernitas hingga revolusi industri demi revolusi industri
mengubah sebuah menjadi seperti dunia fantasi namun serba ada dan serba mudah.
Apakah kita
mengalami kehilangan masa Amerika dalam dunia The Wild Wild West itu? Saya
yaikin tidak, karena saat itu Nusantara adalah dalam kondisi berbeda, waktu
penjajahan Belanda di mana para pejuang nasional secara sporadis berperang
melawan kezaliman penjajah Belanda.
Jadi kalau
begitu, apakah kita juga merasa kehilangan saat Pangeran Diponegoro dengan
surban putihnya menunggang si putih sakti menghunus keris perkasa melawan
Belanda selama lima tahun lalu dengan tipu muslihat Belanda mesti bertekuk
lutut dan membuang hati-hari terakhirnya di Manado dan pulang ke Rahmatullah di
Makassar?
Karena umur kita
rata-rata tidak sampai 100 tahun apalagi 200 tahun maka susah mempunyai ingatan
ke tahun 1825-1830 saat perang Diponegoro itu. Jangankan itu, anak sekarang
saja tidak tahu tentang Perang Kemerdekaan 1945 yang mempertaruhkan nyawa semua
rakyat sebelum hadir negara Republik Indonesia. Disuruh menghafal dasar negara
Pancasila saja lidahnya belepotan, bahkan juga para penggede dan pejabat pun.
Jangankan
kehilangan masa awal negara Amerika di barat, anak-anak itu tidak pernah merasa
kehilangan Pangeran Diponegoro, bahkan juga tidak merasa kehilangan pejuang
kemerdekaan 1945.
Kita merasa
kehilangan kalau ada kedekatan, yang ada sentimentalitas. Bila kita tidak ada kedekatan yang lebih
bermain adalah logika, rasio dan kebenaran. Apakah dengan tulisan ini Anda juga
akan merasa sadar telah merasa tidak pernah kehilangan Pangeran Diponegoro dan
para pejuang kemerdekaan 1945?
Seni sering
dibilang hanya pintu masuk menuju filsafat. Budaya sering disebut hanya ruang
di antara pikiran dan produk budaya. Bahkan budaya juga hanya dikutuk sebagai
hanya ekspresi bukan esensi. Maka begitu cair dan serba relatif itu budaya.
Bahkan dengan mudah ditiadakan. Apalagi bila agama lebih dipercaya sebagai
pengendali semua akal dan perbuatan.
Apa kau tak
merasa kehilangan sesuatu bila budaya diposisikan hanya seperti ini? Kali ini
coba berpikir terbalik pada pandangan lain bahwa agama pun suatu produk budaya.
Tapi kalau tidak siap, ya janganlah, tetaplah tempat agama di atas segalanya
termasuk di atas budaya.
Apa pun yang kau
posisikan tentang agama dan budaya, apa ini membuatmu merelakan tidak
mempelajari sejarah perjuangan bangsa yang pendidikannya pada tahun 1985-an
disebut PSPB bukan istilah zaman Covid-19 PSBB yang kemudian diganti PPKM bukan
PPKN?
Kita terlalu
emosional bila merasa ada sesuatu yang tidak cocok dengan segala hal yang dekat
dengan kita. Sedangkan setiap orang mempunyai preferensi dan referensi
berbeda-beda sesuai dengan uniknya mereka dan pengalaman masing-masing. Dan di
sini membuat yang satu dengan yang lain merasa baper, terbawa perasaan. Padahal
segala sesuatu ada sejarahnya, diakronisnya.
Mau sinkron
ternyata butuh juga diakron ya. Tidak asal sinkron-sinkronan. Padahal akhiran
an pada kata dan kalimat seperti ini berarti cuma mainan atau palsu.
Rumah-rumahan itu kan bukan rumah artinya.
Terkadang kita
terlalu sibuk mengatasi masalah kita saat ini, sehingga tidak sempat berpikir
budaya macam itu. Sering kita katakan, “Kadang aku kangen mereka dan merasa
kehilangan karena dulu juga aktif di sana. Tapi kuatasi karena merasa terlalu
terikat dapat membuat orang gila karena ingatannya seperti ditarik sana-sini
hingga melayang-layang dalam regangan dan ketegangan. Jadi ya 134 ajalah.”
134 artinya tidak
ada duanya. Sering digunakan saat bicara dikit menggombal agar si cantik senang
dan hati sendiri riang atau agar si dia jatuh ke pelukan. “Kepergianmu dari
sini membuat banyak temanmu merasa kehilangan. Karena kamu memang tiada
duanya.”
Tapi itu ada
benarnya, semua, masing-masing, tiada ada duanya. Setiap kita unik. Dan hanya
satu. Meski saudara kembar sekalipun, tidak ada yang dapat menyamai.
Lalu karena
merasa masing-masing unik, 134 (tiada duanya) satu demi satu yang tidak kerasan
pun pergi dari ruang yang berpotensi konflik, membutuhkan tempat nyaman untuk
manusia berumur 50 tahunan menuju 60 tahun. Katanya seket (50, Jawa) berarti
senengane kethu/kopiah. Para ulama tampak selalu memakai kopiah atau kethu.
Warnanya pun dominan putih.
Kesucian diri
menjadi obsesi. Maka grup berjiwa muda pun lama-lama berubah warna. Alami saja
prosesnya. Seperti aku di suatu grup menjadi mudah emosional ketika orang lain
merespon postingan seriusku dengan dagelan secara terus-menerus bukan hanya
sekali-dua kali saja yang bisa ditolerir. Sampai sekarang aku tak tahu alasan
semua itu. Tetapi rasanya ya itulah. Semua sulit atau tidak mau saling belajar
dari yang lain. Mentok, bukan menthok (sebangsa itik/bebek).
Bojonegoro, 19
Agustus 2021
Selasa, 17 Agustus 2021
Catatan Jejak Dua Dewa Yunani Kuno yang Saling Tekan dan Berdialektika Mencipta Energi di Tanganku dan Tanganmu
Catatan Jejak Dua Dewa Yunani Kuno yang Saling Tekan dan
Berdialektika Mencipta Energi d Tanganku dan Tanganmu
Oleh: Bekas pemain drama orang mabuk di SMP dan universitas
Umumnya masyarakat awam masuk golongan Apolonian dalam hal
seni/kesenian, yang berciri keteraturan. Seni/kesenian tidak hanya bersifat
teratur berketeraturan. Ketidakaturan menjadi aliran yang berlawanan, termasuk
dalam golongan Dionisian. Keduanya bernaung dalam paham seni mewakili tugas
tertinggi dan puncak metafisika idealis dalam kehidupan.
Sebuah lagu rohani terdengar seperti burung yang berkicau
selalu mengingatkan umat-Nya. Efek Apolonian pada lagu gereja dan Kekristenan
terasa karena lagunya teratur. Bagaimana nasib lagu yang terkesan tidak teratur
atau kacau?
Contoh nasib, tahun 1990-an banyak media massa Kristen membahas
lagu rock sebagai lagu setan. Penyembahan iblis. Iramanya kacau. Syairnya tidak
jelas dan bila dibolak balik merupakan syair pemujaan Iblis. Contoh nasib
kedua, sekelompok mahasiswa unit kerohanian Kristen pernah memainkan drama
kontemporer di sebuah kebaktian kampus, ditolak oleh pembina rohani mereka karena
dramanya penyajiannya seperti kacau.
Kedua contoh itu merupakan contoh efek Dionisian dalam seni
yang tidak teratur dan kacau. Dan, mayoritas Kekristenan menolak kekacauan itu
dalam seni lagu gereja. Bahkan ada pendalaman khusus lagu simfoni sebagai the
best dalam lagu gereja. Maka hanya Kristen progresif yang menerapkan efek
Dionisian yang terkesan kacau ini dalam ibadatnya. Maka karena minoritas di
kalangan Kristen, yang melegalkan efek Dionisian ini dianggap cenderung sesat.
Menjerit dan sejenisnya sering dikaitkan dengan kekacauan.
Padahal di kitab suci Kristiani Kitab Yesaya 15:5 fungsi menjerit dahsyat: “Aku
berteriak s karena Moab, pengungsi-pengungsi sudah sampai ke
Zoar, ke Eglat-Selisia. Sungguh, orang
mendaki pendakian Luhit sambil menangis; dan di jalan ke Horonaim orang
berteriak karena ditimpa bencana.”
Sementara umumnya kita menganut paham segala sesuatu indah
pada waktunya. Di sini jelas kekacauan dan atau ketidakkacauan adalah hal yang
dinamis. Filsafat keindahan memang progresif. Teori seni tercanggih, seni itu
memaknai (memberi pemaknaan) pengalaman termasuk pemaknaan inderawi. Tidak
berhenti pada seni adalah keindahan.
Teori seni sebelum yang terakhir ini (seni adalah pemaknaan
pengalaman), ada empat tahap seni: (1) Tiruan kenyataan, (2) Universalisasi
nilai-nilai individu (3) Nilai-nilai Ketuhanan (4) Bentuk yang bermakna.
Jadi seni bukan sekedar keindahan seperti yang dikenal awam
(contoh: lukisan pemandangan indah, gadis cantik paripurna). Bahkan kotoran
manusia juga bisa jadi seni. Contoh kotoran ini adalah Lukisan maestro Lukis
Indonesia (Affandi), menjadi salah satu masterpiecenya. Juga lukisan-lukisan
abstraknya yang lain, di mana letak keindahannya bila dibanding lukisan maestro
lain Basoeki Abdullah? Tapi lukisan Affandi adalah master seni lukis Indonesia.
Pemaknaan indah telah bergeser dari pengertian sebelumnya bila memaksakan seni tetap berarti keindahan. Manusia berdosa yang superjelek dan busuk juga indah, di mata Tuhan. Maka mana mungkin manusia menganggap manusia superbejat bukan indah. Jadi tergantung memaknainya.
Bukan hanya manusia, tetapi Anak Manusia yang Tuhannya manusia juga. Masih dalam kitab sucinya kaum Nasrani Kitab Yesaya 52:14 “Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia--begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi—“
Ayat ini menunjuk Tuhan Yesus sesudah disiksa sebagai manusia sebelum disalib, untuk menebus manusia sesuai ayat yang lain Yohanes 3:16 “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Jelas di sini Maha jelek (= Maha kacau) yang Maha indah, wujud tertinggi Kesenian. Sekali lagi: Maha jelek yang Maha indah, wujud tertinggi Kesenian.
Mau tetap memaksakan keindahan itu indah, teratur, manis,
ayu? Ubah pemahaman dan pemaknaan Anda, bahwa seni itu memaknai pengalaman
termasuk pengalaman inderawi Anda. Pemaknaan Anda itu yang akan mengubah segala
sesuatu yang indah atau jelek, yang teratur atau kacau, adalah indah.
Selebihnya Anda mau berpegang pada agama apa pun yang Anda
percayai agar tidak jauh melenceng dari rambu-rambu keimanan dan kehidupan, itu
terserah Anda. Rambu-rambu agama Andalah yang akan mengoreksi syair, ajaran
suatu lagu misalnya, agar sesuai dengan pengajaran Agama Anda. Juga mengoreksi emosi
pembentuk suasana dan keadaan sesuai tempat dan waktu. Serta, roh-roh apa yang
Anda bolehkan masuk dalam karya seni bahkan hidup itu.
Secara filosofi budaya itu artinya mempersilakan dewa
keteraturan Apolo mengendalikan dewa kekacauan Dionisius dalam hidup Anda dan
tercipta kekuatan begitu indah. Bagaimanapun pertarungan keteraturan dan
kekacauan dalam diri dan antar kita itu adalah proses yang mematangkan diri
kita dan antar kita. Rasakan keindahan di zona bukan nyaman ini.
Bojonegoro, 18 Agustus 2021
Senin, 16 Agustus 2021
Catatan Suara-Suara Terus Berbisik dan Menggumam Mempertimbangkan Berbagai Pemaknaan EFOD vs PROFETIS yang Menjadi Jembatan Keledai dan Berbisik Bergumam Terus dalam Bising Dunia
Suara-Suara Terus Berbisik dan Menggumam
Mempertimbangkan Berbagai Pemaknaan EFOD vs PROFETIS yang Menjadi Jembatan
Keledai dan Berbisik Bergumam Terus dalam Bising Dunia
Oleh: Mantan
Redaktur Buletin Unit Kegiatan Mahasiswa Sebuah Universitas
Ini pendekatan
seni untuk pemaknaan baru, bukan mencari kebenaran, bukan mencari benar salah,
bukan mencari kaidah dan rumus. Pendekatan seni adalah pendekatan dengan
simbol-simbol. Berisik suara-suara lingkungan kita di sini ditonjolkan, sebagai
simbol bahwa suara-suara Ketuhanan memang banyak tertutupi oleh suara-suara di
sekitar kita.
Suara Roh
Kebenaran hanya ada sayup-sayup seperti bisikan-bisikan yang tidak jelas, kalah
oleh bising suara kendaraan lalu lalang, bising nyaring suara menyangkut perut
dan kebahagiaan dan kesibukan, keseharian. Tetapi meski suara Roh itu hanya
berbisik dan bergumam, ia akan terus bersuara sepanjang hayat dan umur
kehidupan sampai akhir.
Tidak
bermaksud mengadu domba sejarah dan generasi. Seni bukan untuk itu. Seni
bertugas untuk memberi pemaknaan demi pemaknaan dengan simbol-simbol. Efod dan
profetis sama-sama berbicara tentang Suara Tuhan, Kehendak Tuhan, yang nyaris
selalu tertutupi dan terkalahkan oleh suara-suara bising kehidupan dunia.
Sekali lagi,
pendekatan seni tidak bermaksud mencari kebenaran. Tidak bermaksud membuat
rumus dan mencari kaidah. Pendekatan seni budaya lebih bersifat memaknai semua
pengalaman dan pemikiran. Sangat bermanfaat untuk ingatan tentang hal yang
dibahas.
Efod jubah
imam agung bangsa Israel zaman Perjanjian Lama. Profetis isi kitab para nabi.
Kedua-duanya berarti bagus untuk keimanan hubungan manusia dengan Tuhan.
Mengapa harus memilih di antara keduanya. Dengan pendekatan seni budaya kita
dapat memberi pemaknaan. Efod lebih bersifat simbolis sebagai hal utama dalam
seni budaya dan ilmu humaniora. Profetis lebih bermakna sesungguhnya dan kurang
simbolis.
Secara
simbolisme seni nama Efod lebih bagus. Nama profetis lebih bersifat telanjang.
Padahal profetis sendiri secara pengertian ya sama dengan Alkitab Firman Tuhan.
Tergantung kecenderungan kita lebih ingin semua indah dengan menyentuh unsur
hati dan perasaan. Atau lebih cenderung membuat semua apa kadarnya dan terasa
kering.
Pembahasan
belum sampai pada tanda pemberontakan generasi profetis terhadap generasi efod.
Tetapi setiap zaman memang punya anak zaman sendiri-sendiri. Seseorang punya
hak untuk bersikap dan melakukan perubahan pada zamannya.
Dahulu saat
masih mahasiswa kita punya tanggung jawab sebagai mahasiswa terhadap sesama
mahasiswa dengan unit kegiatan mahasiswa kita. Maka ada buletin Efod pada masa
awal unit kegiatan kita itu. Lalu oleh generasi sesudahnya nama buletin itu
diubah dengan nama baru, Profetis. Sekali lagi itu hak mahasiswa.
Setelah
alumni, unit kegiatan mahasiswa bukan lagi tanggung jawab kita alumni. Tetapi
mengapa ini mempersoalkan itu? Ini seni budaya, bukan untuk mengubah keadaan
tetapi memaknai pengalaman dan ingatan. Paling rendah manfaat, untuk membuat
kita punya ingatan. Manfaat punya ingatan itu sangat besar. Paling besar
manfaatnya dapat terasakan, tinggal menggunakannya untuk apa, ini urusan nanti.
Bukan
bermaksud mengurusi urusan mahasiswa dengan unit kegiatannya yang menjadi hak,
kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan mereka sepenuhnya. Sekali lagi urusan
kita bukanlah mahasiswa lagi. Tetapi alumni. Kalau ada alumni yang mengurusi
mereka mahasiswa, maka suara alumni untuk alumni ini menemukan jalan manfaat
langsung.
Itu tujuan
dari selama ini alumni berbicara kepada sesama alumni tentang mahasiswa dan
unit kegiatannya. Kalau mereka sesama alumni yang peduli mahasiswa itu tak
mendengar, itu urusan lain. Kalau mereka mendengar untuk diterapkan pada
mahasiswa yang dipedulikannya, syukur.
Suara-suara
tumpang tindih namun yang ditumpangtindihi masih bersuara. Sepertinya diam,
tapi masih bersuara. Sepertinya tanpa kekuatan, tetapi masih bersuara. Bersuara
dalam arti sesungguhnya. Ini suara untuk menggembalakan kalian dalam skala
idea. Ini wilayah yang kalian tidak pernah membayangkan karena di dalam
kurikulum kita tidak pernah ada. Konon ada muncul kini beberapa di antaranya
tetapi tampaknya kita sangsi sampai ke wilayah ini.
Karena
terlihat melihat tanda-tandanya tidak begitu kentara. Dan oleh karenanya kita
seperti kambing saja. Bukan domba, karena domba selalu mempunyai kesamaan dan
kekompakan semua, sedang kambing lebih bebas dan merdeka sebagaimana pada
hakikatnya makhluk soliter. Sedangkan kita lebih suka menjadi domba. Padahal
tanda-tanda kedombaan kita hanyalah sekedar penghibur hati yang lemah.
Tanda itu
begitu banyak, sebanyak tanda hati yang kuat juga dalam skala-skalanya. Dapat
dikaitkan di sini atau dikait-kaitkan saja.
Terserah saja, seperti selama ini kita juga terserah saja, karena yang
peduli secara langsung yang tak akan bilang terserah. Walau bilang terserah
juga bisa menjadi suatu tanda kepedulian. Kalau benar peduli. Dapat dikaitkan
di sini atau dikait-kaitkan saja.
Terserah saja, seperti selama ini kita juga terserah, karena yang peduli
secara langsung tidak akan bilang terserah. Walau bilang terserah juga bisa
menjadi suatu tanda kepedulian.
Tanda
kepedulian itu adalah sebuah jembatan keledai. Seperti banyak sekali benda dan
peristiwa bermunculan dalam pertemuan antar alumni di WAG, Zoom,
teleconference, temu darat. Ingatan terhadap satu peristiwa dengan kehadiran
benda dan orang-orangnya membutuhkan pemantik, dapat berupa apa pun termasuk
"jembatan keledai".
Kehadiran
jembatan keledai ini bukan berfungsi menghadirkan benda dan peristiwa itu
kembali. Tetapi, dapat menghadirkan proses pada saat masa-masa indah penuh
kenangan yang terjadi pada masa silam.
Contohnya pada
persekutuan doa mahasiswa yang hingga 30-40 tahun kemudian dan tetek bengeknya
termasuk tentang buletin Efod dan atau buletin Profetis itu masih tidak lekang
dari ingatan dan terasa terpampang nyata.
Proses
peristiwa demi peristiwa dan adanya benda-benda itu hadir kembali dengan
pemaknaan-pemaknaan baru. Kerumitan pribadi manusia dapat terungkap secara
lebih kaya sehingga proses peristiwa masa lalu itu sesungguhnya mempunyai
berbagai kemungkinan apa pun yang mempengaruhi dan dipengaruhi.
Bukan benda
dan peristiwa masa lampau yang hadir dan berpengaruh pada proses untuk masa
kini. Tetapi proses masa lalu itulah yang terus berpengaruh secara kuat untuk
sebuah proses pembinaan berkelanjutan. Termasuk, pembinaan iman.
Bojonegoro, 15
Agustus 2021
Catatan Pekik Merdeka Tukang Puntung Rokok yang zaman Dahulu Ikut Perang Kemerdekaan yang Diteriakkan di Relung Hatiku
Catatan Pekik Merdeka Tukang Puntung Rokok yang zaman Dahulu Ikut Perang Kemerdekaan yang Diteriakkan di Relung Hatiku
Oleh: Bekas Siswa SMA yang Pernah Diminta Suaranya oleh Gurunya Apakah Seperti Suara Bung Karno Sang Proklamator Kemerdekaan
Keadaan sangat kacau, di sana-sini orang lalu lalang seperti zombi hidup namun penuh razia dan larangan, masih hidup namun perut tampak tulang, tubuh berpakaian karung goni sehingga langganan garuk-garuk kutu mencipta luka menganga.
Senapan, granat, mesiu, di mana-mana, asap mengepul, meski perut kelaparan pejuang berteriak-teriak bukan hanya kata-kata tetapi juga gerak cepat merebut wilayah tanah-tanahnya sendiri, peninggalan nenek moyang yang dirampas Jepang yang mengusir Belanda di tempat sama tetapi kemudian menjajah lebih kejam daripada yang diusir.
"Merdeka! Merdeka!" pekiknya yang ikut bergerak di sela-sela pejuang-pejuang dalam suasana sangat kacau itu.
"Sampai sekarang ... aku merasakan keindahan suasana kacau itu. Suasana yang sangat buruk tetapi betul-betul sangat penting, dan berarti bagi kehidupan bangsa ini. Sangat indah sekali. Kekacauan yang sangat indah sekali," katanya bukan bersemangat dipaksakan.
"Meski sekarang hidupku menjadi tukang puntung rokok, aku tetap merasakan keindahan masa perjuangan merebut kemerdekaan itu," katanya sambil mengembuskan asap rokok bekas puntungannya di depan gedung bioskop penuh film India dan film percintaan lokal yang 40 tahun kemudian menjadi pendapa besar bupati yang hormat menghadap tiang bendera Merah Putih yang berkelebat di angkasa.
Biasanya veteran perang kemerdekaan nasibnya memang demikian, tetap sengsara meski ikut merebut dan berkorban hingga bangsa ini merdeka lepas bebas dari belenggu kemerdekaan hingga mampu dalam kondisi membangun jalan tol Surabaya-Jakarta.
Melihat kondisi veteran yang tukang puntung rokok keindahan pada dirinya paling tidak ada dua: Indahnya hidupnya sebagai tukang puntung rokok, dan indahnya hidupnya sebagai pejuang yang bukan sekedar latah ikut-ikutan berjuang masa sangat kacau perang kemerdekaan yang sangat mencekam
Ternyata hidup kacau dan suasana kacau juga keindahan, yang memampukan tukang puntung rokok itu mampu berteriak Merdeka Merdeka Merdeka tanpa pernah putus ketika justru para pengkhianat kemerdekaan itu berlimpah harta berkat kemerdekaan yang ikut diperjuangkan sang tukang puntung rokok.
Merdeka!
Bojonegoro, 17 Agustus 2021
Minggu, 15 Agustus 2021
Catatan Suara Tukang Becak yang Sedang Mengayuh di Dalam Dadaku
Catatan Suara Tukang Becak yang Sedang Mengayuh di Dalam Dadaku
Oleh: Tukang Cat Tripleks Baliho Orang-orang Suci
Saat ini akan kuungkap rahasia besar rasa kehilanganku di suatu grup yang penuh majelis umat sevisi. Grup itu kuikuti dengan riang macam-macam tanda sapuan cat warna-warni dan pada saat tertentu kutumpahkan cat ekspresi kuat.
Rasa kehilanganku itu adalah, sangat jarang lagi kubaca postingan tentang pelajaran seorang yang mendalaminya sebegitu intensif sedari dia, salah satu seniorku berkuliah. Ia, seorang pembelajar Kitab Agung dan syiarnya pun. Maka tulisannya di grup itu sangat berisi semacam kuliah gratis.
Dulu sangat sering ia menulis di sini, dan pernah berbeda pandangan dengan pembelajar yang lain yang hampir setiap hari menulis di grup itu. Perbedaannya adalah tulisan senior tadi lebih dalam dan rinci. Dan tak segan berbagi seperti kuliah gratis itu.
Sejauh orang merantau, akhirnya ia akan kembali ke rumah. Saat tak pernah kudapati lagi ia di grup itu ...
sedangkan sebagai tukang cat grup itu aku kehilangan begitu banyak referensi darinya ... Kuanggap, aku harus belajar sendiri mencari referensi di internet. Anggaplah Itu kampung halamanku. Di grup itu aku hanya pengembara.
Mungkin juga seniorku itu pun. Sejauh ia mengembara bersyiar di mana-mana ... semula dianggapnya grup itu dianggapnya ladang syiarnya. Namun kemudian ternyata tidak. Maka ia pun pulang kembali ke kampung halamannya. Mungkin kantor visinya, mungkin lembaga misinya, dan lain-lain.
Mungkin juga grup itu terlalu penuh orang pintar dan suci dan tidak butuh itu semua. Sehingga kalau terus menulis di situ, berarti menggarami laut. Maka lebih baik pulang ke kampung halamannya.
Kalau aku sendiri misalnya seperti dia bagaimana? Dalam artian saat mengecat warna-warni di grup itu aku tertolak, bagaimana? Namanya grup majelis, ya sedari kuliah seperti majelis atau dewan yang penuh maha tuan kebijaksanaan meski tidak semua kelihatan. Kalau aku sendiri tertolak, akankah aku pulang ke kampung halamanku sendiri?
"Ah, ngapain pusing-pusing pada becak yang sedang laju melanggar marka," kata tukang becak yang mengayuh becak di jalurnya di dalam dadaku.
Lanjutnya, "Semua yang ada di grup itu serba ketidaktentuan, banyak kebetulan-kebetulan. Banyak ketidaktentuan dan kebetulan itu terjadi sejak zaman kuliah. Dan yang kau alami saat terakhir itu hanya kelanjutan prosesnya. Teruskan mengecat dengan riang dan berwarna-warni agar mereka tahu manfaatnya. Kalau tidak, mereka hanya akan berada di zona nyaman, penuh pujian, dagelan dan seolah berketuhanan. Meski bisamu hanya itu, dan tidak lain-lain yang hebat, saleh, dan mulia, teruskan jadi tukang cat. Toh sedari kuliah, tugasmu juga hanya tukang cat. Tidak usah berhasrat naik pangkat jadi majelis yang terhormat dan orang suci berhikmat. Dasar tukang cat."
Lamongan, 16 Agustus 2021