Selasa, 08 April 2025

Memurnikan Kritik Sastra dengan Seni

Memurnikan kritik sastra dengan seni. Membuat hidup sastra sesuai hakikatnya. Sastra seperti pisau, tergantung siapa pemakainya. Untuk kebaikan atau kejahatan. Kritik terhadapnya adalah pendapat penggunaan pisau itu. Keterbatasan ilmu akan membuatnya menghakimi penggunaan pisau sastra itu. Teori-teori terlalu banyak dan semua dapat dipakai sebagai analisis terhadapnya. Oleh karena disiplin ilmu harus dipegang, maka mau tak mau akan muncul perspektif berdasar teori analisis yang dipakai. Itulah mengapa dalam penerapan ilmu selalu terjadi perbedaan antara satu ilmuwan sastra dengan ilmuwan sastra yang lain. Di sini, kritikus sastra adalah ilmuwan sastra itu. Kalaupun ada resepsi sastra, selalu yang dipakai sebagai acuan adalah resepsi oleh orang yang punya legitimasi ilmu sastra. Maka dalam penjurian lomba karya sastra, ilmuwan sastra pun dihadirkan. Kalau mau konsisten bahwa kritik sastra adalah ilmu, seharusnya tidak memberi peluang kepada sastrawan yang bukan ilmuwan sastra untuk menjadi juri. Tetapi nyatanya kan tidak demikian. Sastrawan yang seniman sastra sering jadi juri lomba karya sastra. Bahkan acap semua jurinya pun dari sesama seniman, yang dapat dibilang punya legitimasi nilai seni suatu karya sastra. Well, ilmu atau seni yang dipakai seniman juri macam itu? Selalu dibela bahwa ada kriteria penjurian sesuai dengan kaidah ilmu yang sudah berlaku. Lagipula sebagai seniman pun dapat berasal dari kalangan akademis yang punya legitimasi ilmu. Ilmu pun dapat dimiliki oleh siapa pun, itu yang menjadi pemersatu tolok ukur-tolok ukur. Mentoknya penilaian secara objektif di antara para juri itu, akhirnya menghadirkan voting untuk menentukan siapa pemenangnya. Lalu masuklah argumen masing-masing berdasar imajinasi keindahan yang berbeda-beda. Saya mau ambil analogi praktis. Sifat asli seseorang dapat diketahui ketika ia berada pada kondisi kritis. Pada saat kritis untuk menentukan siapa juara sebuah lomba karya sastra, nyata toh, semua akhirnya diserahkan pada unsur seni setiap juri yang ada. Terjawab sudah. Penjurian karya seni adalah wilayah seni. Setiap ilmu yang dipakai untuk menilai sebuah karya seni, ia tak lebih dari hanya bersifat membantu. Kebetulan alat bantunya sudah terukur. Selebihnya, serahkan kepada seni. Tak mampu lagi, serahkan kepada Mahaseni.   (YR)

Artikel terkait: Seni Kritik Sastra

Tidak ada komentar: