Biasanya orang menulis dengan segepok tumpukan referensi, lalu kutip sana kutip sini. Menjahit istilahnya. Maka dia menulis seperti menggoreng bakwan dengan irisan wortel, daun kol, tauge, tepung, diaduk, dimasukkan wajan berminyak panas. Repot sekali, tangan pegang ini pegang itu. Itu tidak efektif untuk menulis. Aku tak mau begitu lagi. Tak kuceritakan masa laluku lagi karena aku tak mau menua. Aku tulis masa kini dan mendatang saja. Dengan menulis santai sembari terlentang di atas ranjang aku merasa terbantu grup WA. Di sini ada energi. Aku baru saja menelusuri jejak Goenawan Mohamad yang menjadi lawan imajinasi Hudan Hidayat untuk pemicu tulisan kritik sastranya. Kini diarahkan energinya ke seni. Aku tahu betul Goenawan penandatangan Manifes Kebudayaan. Aku pernah jadi moderatornya di Galeri Nasional saat bedah karya pelukis-pelukis Bumi Tarung yang pejuang Lembaga Kebudayaan Rakyat. Aku sadar betul bidikan Hudan tidak bakal meleset. Goenawan sudah terlalu jauh menyeret dunia seni sastra ke dunia politik. Jadi tak ada yang dapat dipercayai lagi bila orang sudah main politik. Mungkin aku juga bila ketahuan aku baca puisi untuk Pilkada Bojonegoro barusan. Puisiku adalah hasil operasi puisi di bukuku Pertobatan Seorang Golput yang kuterbitkan 2019 saat aku relawan Joko Widodo di Arus Bawah Jokowi. Jadi kalau kau sekarang melihat aku bergandengan tangan dengan Hudan yang apolitis untuk menerbitkan buku Seni Kritik Sastra, kau boleh skeptis. Tetapi aku sudah punya kesepakatan dengan Hudan, buku kami murni seni untuk seni. Di luarnya boleh berpolitik praktis tetapi jangan di grup WA Seni Kritik Sastra. Tidak seperti di grup kami sebelumnya sebagai tamu di situ. Maka kejernihan seni untuk seni menjadi pedoman hidup kami dalam menyusun buku kami. Juga di grup ini. Itu yang tidak diteladankan oleh Goenawan Mohamad yang ujung-ujungnya menjadi Taufiq Ismail kedua. Goenawan menangis menyesal sudah tertipu Joko Widodo. Taufiq menangis setiap baca puisinya. Ah, malu aku sebagai pengagum Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ternyata lawan Lekra adalah orang cengeng. Tetapi menangis kan juga manusiawi. Biar tidak mudah mati. Jadi soal seni kritik sastra juga begitulah. Kalau kau mendukung atau tidak mendukung, kamu boleh saja menangis. Dengan menangis mungkin kamu akan paham betapa seninya seni kritik sastra. Tetapi jangan kaku, yang tidak cengeng seperti Hudan Hidayat pun dapat dengan jernih menilai betapa seninya seni kritik sastra. Kami butuh musuh agar tulisan seni kritik sastra itu hidup. Sudah kusebut dua nama di sini. Sebelumnya aku pernah sebut Sutardji Calzoum Bachri yang kredo seni sastranya kalau boleh kubilang suka berubah. Hehe. Lalu Leon Agusta yang tiru-tiru penyair asing agar kubilang keren. Kau tahulah arti orisinalitas. Maka Hudan tidak suka ada yang menulis tentang plagiat yang maknanya bisa ke mana saja termasuk kami. Coba cari di muka bumi ini, mana ada orang yang mau membuat kritik sastra sebagai seni kecuali kami berdua. (YR)
Artikel terkait: Seni Kritik Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar