Jumat, 12 Desember 2025

Antara Keheningan Batin dan Jejak Tindakan: Sebuah Refleksi atas Taḥărîšūn

Diskusi mengenai tafsir bahasa asli teks suci—sebuah wilayah yang seringkali terasa sakral dan terlarang bagi yang tidak berwenang—selalu menghadirkan ketegangan yang kaya antara teks yang membisu dan roh yang menafsirkan. Percakapan kami, yang terpicu oleh tulisan Dr. Antono, mungkin berawal dari keengganan untuk mencampuri domain tersebut. Namun, esensi dari perdebatan itu, terlepas dari keahlian linguistiknya, adalah hal yang mendasar dalam perjalanan iman: apa peran kita ketika Kuasa Ilahi bertindak?

Inti dari perdebatan ini, yang saya ingat, terletak pada satu kata kunci: Taḥărîšūn. Kata dalam bahasa asli ini diterjemahkan sebagai "Keheningan Batin". Di sinilah pisau tafsir mulai membelah.

Jika Taḥărîšūn berarti kita harus diam, memasuki keheningan batin, maka timbul pertanyaan yang tak terhindarkan: Apakah keheningan batin itu sebuah prasyarat yang harus kita penuhi, atau sekadar sebuah hasil dari penyerahan diri total? Dan yang lebih menusuk: Jika tafsir bahasa Indonesia mengatakan kita "tidak perlu melakukan apa pun," apakah ini berarti kita harus melepaskan seluruh rangkaian peristiwa dan tindakan iman yang telah dilakukan oleh Bangsa Israel selama perjalanan panjang mereka?

Momen di mana Tuhan menyerukan "Keheningan Batin" atau janji bahwa Dia akan berperang untuk umat-Nya, tidak mungkin berdiri sendiri, terlepas dari narasi besar yang melingkupinya. Setiap ayat memerlukan penerangan dari ayat-ayat lain, dari sejarah yang mendahuluinya, dan dari perjalanan karakter-karakter di dalamnya. Jika Israel tidak perlu melakukan apa-apa, maka apakah ketaatan, pertobatan, dan tindakan iman mereka dari Mesir hingga perbatasan Kanaan dianggap sia-sia?

Tentu saja tidak.

Kita tahu benar bahwa perjalanan dari perbudakan di Mesir hingga janji Tanah Kanaan adalah serangkaian tindakan iman yang menuntut keberanian, kepatuhan, dan—seringkali—pertobatan yang menyakitkan. Mereka yang menyembah lembu emas harus menghadapi konsekuensinya. Bahkan Musa, sang pemimpin yang agung, hanya karena memukul batu dua kali alih-alih berbicara kepadanya, harus merelakan kesempatan memasuki Tanah Perjanjian.

Sebaliknya, Yosua bin Nun dan Kaleb bin Yefune adalah sosok yang diperbolehkan memimpin Israel di Kanaan. Mengapa? Karena laporan mereka yang berbeda, keberanian mereka, dan ketaatan iman mereka yang teguh saat menghadapi rintangan raksasa. Tindakan-tindakan iman ini—kesetiaan, keberanian, pertobatan—adalah jejak-jejak yang mereka ukir dalam perjalanan sejarah suci.

Ketika Tuhan akhirnya berkata, "Aku yang akan berperang untukmu" (yang mungkin adalah konteks dari Taḥărîšūn), ini bukanlah izin untuk bersantai atau anugerah bagi yang pasif. Sebaliknya, hal itu adalah janji tertinggi bagi mereka yang telah menang iman dalam perjalanan panjang tersebut. Janji tersebut diucapkan bukan kepada bangsa yang belum melakukan apa-apa, tetapi kepada bangsa yang telah membuktikan kesediaan mereka untuk bertindak dan taat, hingga mencapai titik di mana pertempuran yang tersisa sudah melebihi kemampuan manusiawi mereka. Pada titik krusial itu, di ambang kemenangan akhir, hanya Kuasa Tuhan-lah yang sanggup melanjutkannya.

Maka, perdebatan tentang apakah ketaatan dan tindakan iman itu adalah prasyarat atau bukan, pada akhirnya menjadi persoalan sudut pandang. Bagi yang melihatnya sebagai prasyarat, mereka menghargai rentetan tindakan Israel sebagai persiapan yang diperlukan; bagi yang melihatnya sebagai bukan prasyarat, mereka menekankan bahwa pada akhirnya, kemenangan mutlak hanya datang dari anugerah dan kuasa Tuhan semata.

Namun, untuk melepaskan seluruh rangkaian peristiwa, ketaatan, dan tindakan iman itu—hingga kita dapat menyatakan, "kita tak perlu melakukan apa-apa"—adalah tindakan tafsir yang berisiko. Itu berisiko mengabaikan panggilan untuk ketaatan yang berani yang mendefinisikan kehidupan Yosua dan Kaleb, dan mengabaikan pelajaran pahit dari kesalahan Musa.

Keheningan batin yang sejati (Taḥărîšūn) mungkin bukan berarti kekosongan tindakan, tetapi justru puncak dari tindakan iman yang telah dilakukan, di mana manusia menyadari bahwa setelah melakukan segala yang ia bisa, yang tersisa hanyalah diam dan menyaksikan Kuasa Ilahi mengambil alih pertempuran yang mustahil. Itu adalah keheningan yang penuh dengan keyakinan, bukan keheningan karena kelalaian.


Tidak ada komentar: