Aroma anyir lumpur dan kesedihan masih menggantung pekat di sepanjang pesisir Pulau Sumatra. Belum genap sepekan sejak banjir bandang maha-dahsyat merenggut tawa dan harta. Peristiwa itu bukan sekadar air bah biasa; ia adalah hukuman telak atas kelalaian manusia. Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya menjadi spons alami kini telah terkoyak dan botak, hutannya dilucuti tanpa ampun. Eko-sistem yang porak-poranda itu mengirimkan pesan yang gamblang: menghancurkan hulu berarti mengundang petaka di hilir.
Sementara Sumatra meratap, mata keprihatinan beralih ke jantung Pulau Jawa. Di sanalah, Gunung Slamet – sang menara penyangga bagi lima kabupaten (Banyumas, Purbalingga, Tegal, Pemalang, dan Brebes) – tengah menanggung luka yang kian menganga. Deforestasi di lerengnya bukan lagi ancaman senyap, melainkan kenyataan yang terkuak. Pohon-pohon pelindung, benteng alami penahan erosi dan penyimpan air, tumbang satu per satu, digantikan oleh hamparan tandus atau komoditas sesaat. Kondisi ini bagaikan bom waktu hidrologi, siap memicu longsor dan kekeringan saat musim berganti.
Namun, lingkaran kehancuran belum usai. Bergerak jauh ke timur, di ujung timur Jawa, tepatnya di sekitar kawasan indah Pulau Merah, Banyuwangi, drama eksploitasi mineral mencapai klimaksnya. Di sana berdiri megah operasi Tambang Emas Tujuh Bukit (Tumpang Pitu), dikelola oleh PT Bumi Suksesindo (BSI), anak perusahaan Merdeka Copper Gold. Mereka menggunakan metode Open Pit – menambang secara terbuka, mengikis kulit bumi hingga ke kedalaman terdalam.
Bagi warga sekitar, terutama para nelayan dan pegiat pariwisata, kemakmuran korporat ini adalah mimpi buruk nyata. Mereka harus berhadapan dengan deru mesin yang memekakkan dan isu lingkungan yang kian mencekik. Lumpur tambang seringkali meluap dan mencemari laut dan sungai, mematikan terumbu karang dan mengusir ikan. Yang paling mengganggu adalah getaran ledakan yang dilakukan untuk mengeruk bijih emas, yang tidak hanya merusak ketenangan, tetapi juga dikhawatirkan mengancam struktur tanah dan pesisir. Aktivitas melaut dan sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal kini terhimpit dan lumpuh, terhalang oleh pagar besi dan kekhawatiran ekologis.
Narasi ini, dari Sumatra yang tenggelam, Slamet yang telanjang, hingga pesisir Banyuwangi yang bergetar, adalah testamen pahit tentang bagaimana keserakahan kolektif telah mengkhianati kelestarian alam. Bumi tidak sedang baik-baik saja; ia sedang berteriak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar