Pelaksanaan Amanat Agung—perintah Kristus untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya—merupakan tugas sentral bagi gereja. Namun, pertanyaan mendasar sering muncul: Bagaimana bentuk nyata dari pelaksanaan pemuridan (discipleship) di masa kini, dan sejauh mana model pelayanan yang ada relevan dengan perintah tersebut?
Pemuridan Melampaui Batas Formal
Pemuridan sering kali diidentikkan dengan program gerejawi atau keanggotaan institusi, padahal hakikatnya jauh lebih luas. Pemuridan pada dasarnya adalah proses transformasi melalui peneladanan ajaran.
Siapa pun yang menerapkan ajaran yang disampaikan—terutama yang berlandaskan pada Firman Tuhan—secara substansial sudah menjadi murid, bahkan tanpa pengakuan formal. Praktik pemuridan dapat berlangsung di berbagai platform, mulai dari pengajaran langsung, interaksi personal, hingga penyebaran konten digital. Dalam konteks ini, ditekankan pula bahwa hubungan guru dan murid bersifat timbal balik; seorang pengajar pun dapat belajar dan menjadi "murid dari muridnya" melalui dinamika pengajaran.
Dalam ranah pelayanan, peran manusia dibatasi sebagai penabur dan penyiram, sementara pertumbuhan spiritual sepenuhnya bergantung pada anugerah dan pekerjaan Tuhan. Karena melibatkan interaksi dengan manusia yang memiliki keragaman tak terbatas, tidak ada satu metode tunggal yang dapat diklaim sebagai cara pemuridan paling benar. Keberhasilan dalam tugas ini semata-mata bergantung pada anugerah ketika seseorang diizinkan untuk dipakai sebagai alat-Nya.
Model Pelayanan dan Kekayaan Karya Kristus
Ketika membahas implementasi Amanat Agung, model pelayanan seperti City to City, yang dipelopori oleh Ps. Tim Keller, sering menjadi acuan. Pelayanan yang berfokus pada penanaman gereja di kota-kota besar dianggap relevan dengan Amanat Agung.
Relevansi ini tidak hanya terletak pada penanaman institusi semata, melainkan pada kedalaman pesan yang disampaikan. Khotbah yang berpusat pada Kristus (Christ-Centered Preaching), ciri khas Keller, selalu menekankan pengorbanan Kristus yang memiliki kekayaan makna melampaui sekadar pengampunan dosa. Salib Kristus dikaitkan dengan kehidupan baru yang komprehensif, mencakup aspek pertumbuhan karakter, relasi sosial, emosi, dan setiap detail eksistensi manusia.
Dengan demikian, menjalankan Amanat Agung bukan hanya menghentikan seseorang pada titik pertobatan awal, melainkan mendorong mereka untuk menjadi murid yang mengalami transformasi total—sebuah proses di mana Kristus menjadi Inti dari seluruh Plasma kehidupan, atau Pusat yang menentukan seluruh Pinggiran.
Tantangan Christ-Centered Preaching
Khotbah yang berpusat pada Kristus diartikan sebagai upaya untuk mengaitkan semua bagian Alkitab dengan pribadi dan karya Kristus, sambil menempatkan Kristus sebagai subjek utama, bukan menonjolkan keakuan diri pengkhotbah.
Meskipun prinsip ini ideal, penerapannya menuntut kehati-hatian dan metodologi yang cermat. Penyampaian yang kurang tepat dapat menimbulkan kesalahpahaman. Misalnya, penekanan berlebihan pada peran Tuhan tanpa menjelaskan tanggung jawab manusia dapat memicu pandangan pasif dalam kancah kehidupan sehari-hari ("semua dikerjakan Tuhan, jadi saya tidak perlu berbuat apa-apa").
Oleh karena itu, khotbah Christ-Centered memerlukan pemahaman yang mendalam tentang metodologi agar pesan inti—bahwa Kristus adalah Pusat dan Fondasi dari seluruh iman dan praktik hidup—dapat tersampaikan dengan jelas tanpa menimbulkan kekeliruan doktrinal. Untuk memahami penerapan praktisnya, telaah atas khotbah-khotbah yang menganalisis kisah-kisah Alkitab secara Christ-Centered (seperti studi Keller mengenai Prodigal Sons) dapat memberikan wawasan yang berharga.
Pada akhirnya, Amanat Agung adalah panggilan untuk "Pergilah" dan menjadikan murid, sebuah tugas yang menuntut tindakan, pertumbuhan, dan pesan yang selalu berpusat pada kemuliaan karya Kristus yang universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar