Oleh: Ajun Pujang Anom
Ibu adalah punggung yang tak pernah bertanya kapan beban akan reda
Ia mencuci baju-baju nasib di sungai yang keruh airnya
Mengucek duka, membilas perih, menjemurnya di bawah terik ketidakpastian.
Di matanya, ada luka yang tak pernah diperban oleh negara
Luka tentang harga beras yang mencekik leher meja makan
Luka tentang mimpi anak-anaknya yang seringkali harus dikubur hidup-hidup
Demi sesuap nasi yang dicampur dengan keringat dan air mata.
Ibu adalah hakim paling adil di pengadilan lapar
Ia membagi sepotong tempe menjadi lima bagian kecil
"Ibu sudah kenyang," katanya—sebuah kebohongan paling suci yang pernah lahir di bumi
Sebab ia lebih memilih perutnya bernyanyi tentang keroncongan
Asalkan usus anak-anaknya tidak melilit karena kekosongan.
Tangan itu... lihatlah tangan itu!
Bukan tangan yang halus karena polesan krim kecantikan
Itu tangan yang kasar oleh gagang cangkul dan sabetan rumput
Tangan yang lihai menjahit harapan dari kain perca yang koyak
Tangan yang memegang dahi kita saat demam menyerang di tengah malam yang buta
Sambil membisikkan doa-doa yang lebih tajam dari parang petani.
Tapi ia tidak pernah menggugat Tuhan
Ia hanya merunduk, mencium tanah, dan kembali bekerja
Menjadi tiang penyangga rumah bambu yang hampir roboh dihantam zaman.
Wahai zaman yang angkuh!
Sujudlah pada telapak kaki yang pecah-pecah itu
Sebab di sanalah surga disembunyikan
Di balik luka yang tak pernah berhenti mencintai kita.
Bojonegoro, 22 Desember 2025


Tidak ada komentar:
Posting Komentar