Senin, 22 Desember 2025

Luka Sang Ibu


Oleh: Ajun Pujang Anom


Ibu adalah punggung yang tak pernah bertanya kapan beban akan reda

Ia mencuci baju-baju nasib di sungai yang keruh airnya

Mengucek duka, membilas perih, menjemurnya di bawah terik ketidakpastian.


Di matanya, ada luka yang tak pernah diperban oleh negara

Luka tentang harga beras yang mencekik leher meja makan

Luka tentang mimpi anak-anaknya yang seringkali harus dikubur hidup-hidup

Demi sesuap nasi yang dicampur dengan keringat dan air mata.


Ibu adalah hakim paling adil di pengadilan lapar

Ia membagi sepotong tempe menjadi lima bagian kecil

"Ibu sudah kenyang," katanya—sebuah kebohongan paling suci yang pernah lahir di bumi

Sebab ia lebih memilih perutnya bernyanyi tentang keroncongan

Asalkan usus anak-anaknya tidak melilit karena kekosongan.


Tangan itu... lihatlah tangan itu!

Bukan tangan yang halus karena polesan krim kecantikan

Itu tangan yang kasar oleh gagang cangkul dan sabetan rumput

Tangan yang lihai menjahit harapan dari kain perca yang koyak

Tangan yang memegang dahi kita saat demam menyerang di tengah malam yang buta

Sambil membisikkan doa-doa yang lebih tajam dari parang petani.


Tapi ia tidak pernah menggugat Tuhan

Ia hanya merunduk, mencium tanah, dan kembali bekerja

Menjadi tiang penyangga rumah bambu yang hampir roboh dihantam zaman.


Wahai zaman yang angkuh!

Sujudlah pada telapak kaki yang pecah-pecah itu

Sebab di sanalah surga disembunyikan

Di balik luka yang tak pernah berhenti mencintai kita.

 

Bojonegoro, 22 Desember 2025







Tidak ada komentar: