Rabu, 12 November 2025

TAHBISAN BUDAYA



Dalam perjalanan ke desa Padang lewat Trucuk, setelah melintas Sosrodilogo... terasa mulusnya jalan dibanding usai pentas tari thengul massal pertama di atas jembatan, 2020.


Terasa pula perbedaan peta seni budaya masa Bupati A dengan bupati Y, dan Bupati W sekarang...

Namun yang sekarang belum setahun, jadi apa yang kau persiapkan untuk 4 tahun ke depan? Langkahmu saat ini sudah menentukan 4 tahunmu.

(Supaya kita terasa dekat, kupakai gaya tutur aku, kamu. Bukankah kita insan seni budaya juga sastra)

Silakan...

Baiklah, aku mulai dari diriku. Kesimpulanku politik berpengaruh pada nasib kesenimanan kita. Untung aku sudah buka kacamata kudaku dengan menjadikanku manusia peduli budaya. Kata ini sudah akrab denganku, secara tahun 2009 aku sudah menjadi ketua sebuah organisasi yang dalam namanya berlabel kebudayaan.

Jadi ketika di Bojonegoro ada metamorfosis dewan kesenian menjadi kebudayaan, aku cukup tenang. Dan sayangnya ketenanganku menjadikanku terlalu asyik di sastra.

Baru setelah setahun ini aku tirakat sesuai budaya Jawaku, aku melek. Budaya harus di depan. Dan ia harus mengatasi politik.

Maka dengan kutahbiskan lembaga berlabel lintas budaya ini, aku merasa tenang menghadapi empat tahun ke depan ini.

Kutabalkan kelahirannya 2015, secara pada tahun itu aku melakukan langkah eksekusi sebuah rencana gerakan seni bersama teman-teman sehingga gerakan itu ada yang menghidupi sampai kini.

Keyakinanku pada langkah budaya ini berlandaskan pengalaman-pengalamanku itu. Ditambah aku pernah dua kali menjadi pembicara workshop budaya di  tingkat provinsi. Bukan sebatas sastra yang lebih sering dipercayakan kepadaku.

Lalu kini aku ingat seringnya aku berkegiatan di mejabudaya saat aku di Jakarta 2000-2009.

Sudahlah, aku putuskan. Budaya itu harusnya memayungi politik. Bukan sebaliknya.

Bangsa ini harusnya belajar dari Polemik kebudayaan dan Prahara budaya. Politik berperkara di situ. Maka beginilah kita jadinya.

Dan aku pilih langkahku ini sangat jelas.

Dalam hidup "Lintas Budaya" prinsip "Sola Scriptura" terpelihara mendasari keberanian berpikir sendiri "Sapere Aude" secara damai.

Lintas Budaya terjadi ketika manusia dengan budayanya berhubungan dengan manusia lain dari budaya berbeda, berinteraksi, saling memengaruhi. Komunikasi Lintas Budaya berfokus pada perbandingan dan analisis pola-pola komunikasi antar kebudayaan berbeda. 

Tujuannya utamanya: mengurangi salah paham oleh perbedaan nilai, norma, kebiasaan; meningkatkan toleransi terhadap perbedaan budaya; memperkuat kerja sama yang positif dan efektif; meningkatkan kemampuan komunikasi dengan orang-orang dari budaya lain.

"Sola Scriptura" artinya "Hanya Kitab Suci." Kitab Suci (Alkitab) adalah satu-satunya sumber utama dan paling berwibawa guna memahami iman dan bagaimana seharusnya hidup beragama. 

"Sapere Aude!" atau "Berani Tahu!" adalah ajakan untuk berani mencari pengetahuan, berpikir kritis, tidak takut mempertanyakan sesuatu menuju segala macam ilmu dan kebijaksanaan.

Lintas Budaya hidup da 29alam Akanibalisme. Jarene wong Jawa, kabeh ana empan papane.

Selebihnya, lembagaku kuberi nama Lintas Budaya Bojonegoro. Ini berkat pada masa mudaku aku pernah di LSM lingkungan hidup di mana aku kenal prinsip "Think Globally, Act Locally". (Yonathan Rahardjo)

Tidak ada komentar: