Penerbitmajas.com - Di bawah naungan langit biru Bojonegoro, di pelataran yang beralaskan permadani merah berukir, sekumpulan pria duduk bersila, melingkar dalam kehangatan persaudaraan. Aroma tanah kering bercampur semilir angin membawa bisikan cerita-cerita lampau.
Botol-botol air mineral berjejer rapi di atas karpet, menandakan panjangnya perjalanan yang telah mereka lalui bersama, atau mungkin, panjangnya percakapan yang akan terbentang. Piring-piring berisi camilan dan buah-buahan tersaji, mengundang untuk berbagi rezeki dan kebersamaan.
Di latar belakang, bangunan-bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa berdiri tegak, menjadi saksi bisu dari setiap pertemuan, setiap tawa, dan setiap doa yang terpanjatkan. Pilar-pilar kokoh menopang atap, seperti nilai-nilai luhur yang mereka jaga dan wariskan. Pohon besar dengan batang keriput dan dedaunan rindang memberikan keteduhan, seolah ikut mendengarkan setiap kisah yang terangkai.
Pandangan mata sebagian peserta melayang ke kejauhan, mungkin menerawang masa depan, atau mengenang masa lalu. Namun, fokus mereka tetap pada suara yang memimpin, suara yang membawa semangat dan harapan. Ada yang asyik dengan ponselnya, mungkin mencatat poin penting, atau sekadar berbagi momen. Ada pula yang sibuk menuang air, menawarkan kesegaran di tengah teriknya siang.
Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah simpul-simpul yang terjalin, merajut benang-benang persahabatan, kekeluargaan, dan spiritualitas. Di tempat ini, di Bojonegoro, di bawah naungan tradisi dan kebersamaan, mereka menemukan makna, menguatkan ikatan, dan terus melangkah maju, membawa lentera kearifan yang tak pernah padam. (Yonathan Rahardjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar