Minggu, 28 Desember 2025

Sudut Edukasi: Mengembalikan Marwah Bahasa




Oleh: Ajun Pujang Anom 

Mukadimah 

Dalam diskursus pendidikan bahasa, sering kali terjadi perdebatan klasik: apakah kita harus mengejar ketepatan tata bahasa (akurasitas) sejak awal, ataukah kita harus membiarkan gagasan mengalir bebas meskipun struktur bahasanya berantakan (kelancaran)? Sering kali, kurikulum pendidikan terjebak pada pendekatan preskriptif, di mana standar kebakuan dipaksakan sejak hari pertama. Padahal, jika kita menilik hakikat bahasa, urutan ini seharusnya dibalik. Bahasa pertama-tama harus diposisikan sebagai alat komunikasi, lalu secara bertahap diarahkan menuju standar kebakuan. Keduanya penting, namun keduanya menempati ruang dan waktu yang berbeda dalam kurva pembelajaran manusia. 

Keberanian Berbagi Makna 

Bahasa lahir dari kebutuhan manusia untuk terhubung. Seorang bayi tidak belajar subjek, predikat, dan objek sebelum meminta susu; ia menggunakan isyarat dan bunyi untuk menyampaikan maksud. Dalam konteks pembelajaran, baik bahasa ibu maupun bahasa asing, prinsip ini tetap berlaku. Ketika bahasa ditempatkan sebagai alat komunikasi terlebih dahulu, fokus utamanya adalah penyampaian pesan (meaning-making). 

Secara psikologis, pendekatan "komunikasi dulu" menurunkan apa yang disebut oleh pakar linguistik Stephen Krashen sebagai Affective Filter (Filter Afektif). Jika seorang pembelajar terus-menerus dikoreksi aspek bakunya—seperti penggunaan imbuhan yang salah atau struktur kalimat yang tidak efektif—ia akan merasa terancam. Rasa takut akan kesalahan ini membangun tembok mental yang menghambat proses belajar. Sebaliknya, ketika fokusnya adalah "apakah pesan saya sampai?", pembelajar merasa diberdayakan. Mereka berani bereksperimen, berani salah, dan yang terpenting, berani terus berbicara. 

Komunikasi adalah mesin penggerak motivasi. Saat seseorang berhasil menyampaikan ide yang kompleks dan mendapatkan respons yang relevan dari lawan bicaranya, terjadi kepuasan kognitif. Kepuasan inilah yang menjadi bahan bakar untuk mempelajari aspek-aspek bahasa yang lebih rumit di kemudian hari, termasuk standar kebakuan. 

Bahaya Prematuritas Kebakuan

Memaksakan standar kebakuan di awal proses belajar ibarat meminta seorang arsitek memikirkan warna cat dinding sebelum fondasi bangunan selesai digali. Kebakuan adalah tentang estetika, kerapian, dan konvensi sosial yang tinggi. Jika standar ini dijadikan tolok ukur utama di tahap awal, bahasa akan berhenti menjadi alat ekspresi dan berubah menjadi beban administratif kognitif. 

Banyak pelajar kehilangan minat pada bahasa Indonesia, misalnya, bukan karena bahasanya sulit, melainkan karena mereka merasa "diadili" oleh aturan yang kaku sebelum mereka sempat mencintai proses bercerita. Ketika standar baku menjadi satu-satunya indikator keberhasilan, kreativitas akan mati. Pembelajar cenderung memilih kata-kata yang aman dan struktur yang sederhana hanya untuk menghindari kesalahan, alih-alih mencoba menggunakan kosakata yang lebih kaya namun berisiko salah secara teknis. 

Di sini kita melihat perbedaan fungsi: komunikasi berfungsi sebagai eksplorasi, sedangkan kebakuan berfungsi sebagai konsolidasi. Eksplorasi membutuhkan ruang untuk kekacauan, sementara konsolidasi membutuhkan ketertiban. Memaksakan ketertiban di tengah masa eksplorasi hanya akan menghentikan langkah penemuan itu sendiri. 

Pakaian bagi Gagasan yang Matang 

Apakah ini berarti standar kebakuan tidak penting? Tentu saja tidak. Standar kebakuan adalah "seragam" intelektual. Ia memiliki peran vital dalam fungsi-fungsi tertentu: literasi akademik, korespondensi resmi, hukum, dan pelestarian bahasa itu sendiri. Tanpa standar baku, bahasa akan terfragmentasi menjadi dialek-dialek yang mungkin tidak lagi saling memahami dalam konteks formal. 

Namun, kebakuan harus dilihat sebagai proses pemurnian, bukan syarat mutlak untuk berbicara. Setelah seseorang merasa nyaman berkomunikasi dan memiliki basis kosakata yang cukup, di situlah standar baku masuk untuk merapikan gagasan tersebut. Kebakuan memberikan presisi. Jika komunikasi memungkinkan kita untuk "mengerti", maka kebakuan memungkinkan kita untuk "tidak salah mengerti". 

Dalam tahap lanjut, standar baku membantu pembelajar untuk meningkatkan martabat gagasannya. Sebuah ide yang brilian akan lebih dihargai jika disampaikan dengan struktur yang tertib dan pilihan kata yang tepat sesuai kaidah. Namun, transisi ini harus terjadi secara organik. Pembelajar harus dibawa untuk menyadari bahwa mereka butuh standar baku agar pesan mereka bisa menjangkau audiens yang lebih luas dan lebih formal, bukan karena mereka takut dihukum oleh nilai ujian. 

Urutan adalah Kunci 

Pendidikan bahasa yang ideal harus mengadopsi model perancah (scaffolding). Prosesnya dapat dibagi menjadi beberapa tahap: 

Tahap Kelancaran (Fluency): Di tahap ini, guru atau mentor harus mendorong penggunaan bahasa secara aktif. Fokusnya adalah keberanian berekspresi. Kesalahan tata bahasa dianggap sebagai bagian alami dari proses belajar (interlanguage). 

Tahap Kesadaran (Awareness): Setelah pembelajar lancar, mereka mulai diperkenalkan pada pola-pola bahasa yang benar. Mereka diajak melihat perbedaan antara bahasa yang "dimengerti secara kontekstual" dengan bahasa yang "tepat secara struktural". 

Tahap Pemurnian (Refinement): Di sinilah standar kebakuan diajarkan secara intensif. Pembelajar belajar menyunting tulisan mereka sendiri, memilih sinonim yang lebih formal, dan menyusun kalimat majemuk yang kompleks namun tetap baku. 

Dengan urutan ini, standar baku tidak dianggap sebagai musuh yang membatasi, melainkan sebagai alat tambahan yang meningkatkan kualitas komunikasi mereka. 

Peran Guru sebagai Fasilitator 

Dalam pendekatan ini, peran pendidik berubah total. Guru tidak lagi berdiri dengan pena merah di tangan, siap menyilang setiap kesalahan ejaan. Sebaliknya, guru menjadi mitra dialog. Jika siswa berkata, "Saya pergi pasar kemarin," guru tidak langsung mengoreksi, "Salah, seharusnya: Saya pergi ke pasar kemarin." Sebaliknya, guru merespons komunikasinya terlebih dahulu: "Oh, kamu pergi ke pasar? Beli apa saja di sana?" Setelah komunikasi terjalin, di lain kesempatan, guru bisa memberikan umpan balik tentang penggunaan kata depan "ke". Dengan demikian, siswa merasa dihargai sebagai komunikator sebelum diperbaiki sebagai pengguna bahasa. Ini menciptakan lingkungan belajar yang suportif dan inklusif. 

Akhirul Kalam 

Bahasa adalah entitas yang hidup, dinamis, dan sangat manusiawi. Menempatkan bahasa sebagai alat komunikasi di posisi pertama adalah pengakuan terhadap hakikat kemanusiaan kita yang perlu bersosialisasi dan berekspresi. Sementara itu, mengarahkan bahasa pada standar kebakuan secara bertahap adalah penghormatan terhadap peradaban dan intelektualitas. 

Kita tidak boleh mengorbankan kemampuan seseorang untuk berbicara demi keindahan tata bahasanya, tetapi kita juga tidak boleh membiarkan seseorang terus berada dalam ketidakteraturan bahasa ketika ia harus masuk ke ranah profesional. Kuncinya adalah penahapan. Biarkan bahasa tumbuh subur dalam keliarannya sebagai alat komunikasi, lalu pangkas dan rapikan dengan standar kebakuan agar ia menjadi taman pemikiran yang indah dan fungsional. Dengan memisahkan fungsi dan mengatur waktunya secara tepat, kita tidak hanya mencetak orang yang pandai berbahasa, tetapi juga orang yang mencintai bahasa. 

Bojonegoro, 29 Desember 2025



Tidak ada komentar: