Senin, 15 Desember 2025

Keunikan Berpikir Kristen: Menjangkau Kedewasaan Melalui Badai Tafsir

Belakangan ini, dalam diskusi-diskusi pribadi, muncul sebuah kegelisahan mendasar mengenai cara penyampaian kebenaran teologis dalam Kekristenan. Penjelasan yang panjang dan mendalam mengenai prasyarat hubungan manusia dengan Allah, khususnya dalam konteks penyelesaian masalah, seringkali dianggap memberatkan. Ada kecenderungan kuat di kalangan umat—bahkan di internal sendiri—untuk mencari konsep yang "jelas dan mudah dimengerti," sesuatu yang dirasa simpel, instan, dan minim pergumulan intelektual.

Ironisnya, dorongan untuk menyederhanakan iman ini bisa menjadi bumerang. Ketika Kekristenan dipangkas habis-habisan demi kriteria "simpel," ia kehilangan keunikan dan kedalamannya. Hal ini dikhawatirkan membuat umat menjadi rapuh, mudah berpindah ke keyakinan lain yang kebetulan menawarkan narasi yang lebih "mudah" dan memenuhi hasrat akan kesederhanaan tersebut.

Melampaui Bandul Ekstrem: Sola Scriptura sebagai Titik Tolak

Justru, keunikan dan kekuatan iman Kristen terletak pada dinamika dan perbedaan penafsiran terhadap teks suci. Keberanian untuk berpikir, bergumul dengan berbagai tafsir ayat-ayat Alkitab, adalah proses yang mematangkan kita. Proses ini mengubah kita dari "anak peminum susu" menjadi pribadi yang dewasa secara rohani dan intelektual.

Ketegangan tafsir ini terwujud jelas dalam polemik klasik seperti Arminianisme (menekankan peran kehendak bebas manusia dan prasyarat perlakuan) versus Kalvinisme (menekankan kedaulatan 100% kehendak Allah). Dalam dialog-dialog, kata "prasyarat" perlakuan manusia sering memicu ketegangan pendapat. Namun, pada akhirnya, kedua bandul ekstrem ini hanyalah opini manusia—sekadar tafsir, sejauh mana kita melihat fenomena faktual manusia dari kacamata manusia, dan kehadiran ideal Allah yang hanya tampak dalam Inkarnasi-Nya, Yesus Kristus, atau dalam epifani-epifani-Nya.

Lalu, di mana jangkar kita? Jawabannya harus kembali kepada prinsip dasar Reformasi: Sola Scriptura—Hanya Alkitab.

Jerat Sola Scriptura: Rimba Masalah Setelah Kesederhanaan

Meyakini Sola Scriptura pada awalnya terasa seperti solusi pamungkas. Saat dihadapkan pada pilihan Benar atau Salah—seperti soal ujian sekolah—prinsip ini menjadi alasan tunggal yang mutlak: "Karena Alkitab berkata demikian, maka selesai perkara."

Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Sola Scriptura ternyata adalah rimba masalah yang justru dibuka setelah kita mencapai titik tersebut. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Penjelasan mana yang benar-benar Sola Scriptura? Begitu banyak tafsir, begitu banyak denominasi, dan setiap orang mengklaim orisinalitas Sola Scriptura.

Kita lantas dihadapkan pada janji eskatologis dari Yeremia 31:31-34 mengenai Perjanjian Baru, yang menyatakan bahwa Firman Tuhan sudah ditaruh di hati kita, sehingga kita tak perlu lagi diajar oleh orang lain—karena semua, dari yang terkecil sampai yang terbesar, akan mengenal Allah.

Membawa kutipan ini ke ranah praktis (menjawab B atau S saat ini) adalah upaya yang memaksakan. Jika kita belum siap menjawab orisinalitas Sola Scriptura dengan kedewasaan, itulah saatnya kita bergumul—seperti Yakub bergumul melawan Malaikat di Betel. Kedewasaan iman tidak datang dari kemudahan, melainkan dari pergumulan yang berani dan jujur.

Peran Penulis, Editor AI, dan Spirit Kewirausahaan

Dalam konteks penulisan dan penyampaian ide, kehadiran teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) menawarkan peran baru. Sebagai penulis, prinsip saya tetap: Tulisan harus murni tulisan saya. AI hadir sebagai informan saat pra-penulisan dan kemudian berfungsi sebagai editor untuk merapikan, mengoreksi salah ketik, dan ejaan. Penulis tetaplah subjek utama, sementara AI adalah alat bantu. Setelah proses suntingan oleh AI, penulis tetap wajib meneliti ulang dan mengedit diri sendiri. AI menggantikan peran editor manusia, tetapi tidak menggantikan otentisitas penulis.

Prinsip ini mencerminkan semangat yang sama dalam kehidupan: Kita semua adalah pengusaha. Seperti Rasul Paulus yang harus berusaha (misalnya, dengan membuat tenda), kita juga harus aktif dalam peran dan tanggung jawab kita. Bahkan dalam urusan sederhana seperti mengelola aset (misalnya, menyewakan tanah), sikap berusaha dan mencari solusi secara aktif adalah bagian dari kedewasaan.

Sikap Guru: Teladan dan Karsa

Pada akhirnya, pola pikir kaku (Hitam-Putih, B-S) harus digantikan oleh pola pikir esai, yang memerlukan penjelasan dan alasan. Dalam ajaran filosofis Ki Hajar Dewantara, peran seorang guru (atau pemimpin rohani) mencakup:

 * Ing Ngarsa Sung Tuladha (Di depan memberi teladan).

 * Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun kemauan/inisiatif).

Kedewasaan Kristen tidak meminta jawaban yang mudah dan instan, tetapi meminta teladan dan kemauan untuk bergumul. Kesederhanaan sejati hanya dicapai setelah melewati badai kompleksitas tafsir, dan menjangkar diri pada Sola Scriptura yang dihidupi dengan keberanian berpikir kritis.


Tidak ada komentar: