Kamis, 04 Desember 2025

Analisis Sentralitas Kristus: Melampaui Jargon dan Menyingkap Legalisme Spiritual

Inti dari spiritualitas Kristen sering kali diperdebatkan melalui kontras penekanan. Di satu sisi, ada pemahaman yang berfokus pada keseluruhan karya dan kedaulatan Ilahi (God-centered), menekankan bahwa segala sesuatu, termasuk perbuatan baik, adalah hasil kerja Allah—prinsip yang penting untuk menangkis kesombongan manusia. Di sisi lain, muncul penekanan yang lebih terfokus pada Karya Penebusan Kristus (Christ-centered), yang merupakan jantung dari Injil.

Konsep Christ-centered menegaskan bahwa Kristus adalah Pusat Kasih dan Rencana Keselamatan Allah. Definisi ini membedakan Kristus sebagai Pribadi Ilahi, Sang Penguasa, dan Penggenap Hukum, melampaui sekadar figur sejarah Yesus yang lahir di palungan.

Kekeliruan Mengisolasi Doktrin

Sentralitas Kristus tidak dapat diisolasi dari fondasi doktrinal lainnya. Dalam tradisi Reformasi, penekanan pada Hanya Kristus (Solus Christus) merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem yang lebih besar yang dikenal sebagai Lima Sola.

Jika Kristus adalah pusatnya, maka pemahaman tersebut harus secara implisit mencakup Hanya Alkitab (Sola Scriptura) sebagai sumber wahyu-Nya, Hanya Anugerah (Sola Gratia) dan Hanya Iman (Sola Fide) sebagai cara penerimaan keselamatan-Nya, dan pada akhirnya, bermuara pada Hanya bagi Kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria). Menggunakan jargon Christ-centered tanpa menghayati keutuhan integrasi doktrin ini berisiko menjadikannya slogan dangkal yang diucapkan tanpa pemahaman teologis yang mendalam. Teologi harus menjadi sistem yang terpadu; ketika salah satu bagiannya dipreteli, keseluruhan maknanya pun tereduksi.

Legalisme: Kedangkalan Kinerja Rohani

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh konsep Christ-centered yang sejati adalah bahaya legalisme dan spiritualitas performatif—usaha untuk membenarkan diri melalui kinerja dan moralitas.

Pemahaman Injil yang benar mengajarkan bahwa Kekristenan bukanlah upaya manusia untuk "memenuhi sasaran" moral atau program motivasi untuk menjadi versi diri yang lebih baik. Melakukan kebaikan, beribadah, atau bahkan menjadi "etalase" iman, ketika motifnya adalah untuk mendapatkan kelayakan, pembenaran, atau pengakuan ilahi, adalah manifestasi dari legalisme, yang merupakan kecenderungan bawaan manusia.

Fenomena ini terefleksi sempurna dalam perumpamaan Anak Sulung. Anak sulung, meskipun taat dan bekerja keras, berusaha membeli kasih dan penerimaan Bapa melalui kepatuhan. Ini adalah kesombongan yang tersembunyi, di mana seseorang yang telah diselamatkan dari dosa-dosa terbuka (Anak Bungsu) secara halus beralih ke cara hidup yang mengandalkan jasa diri sendiri.

Dari Egosentrisme menuju Kristus

Ketika fokus spiritual bergeser dari Kristus ke kondisi batin pribadi, bahkan melalui ungkapan kerendahan hati seperti, "Aku hina sekali," hal itu menciptakan egosentrisme terselubung. Energi rohani diarahkan pada introspeksi diri yang berlebihan dan penghakiman diri, yang ironisnya, menjauhkan fokus dari Kebenaran dan Anugerah Kristus yang mulia.

Spiritualitas yang terjebak dalam egosentrisme ini gagal menangkap inti dari Christ-centered: Keselamatan bukanlah tentang seberapa hinanya diri kita, melainkan tentang seberapa sempurnanya Karya Kristus bagi kita.

Kesimpulan

Orientasi Christ-centered yang otentik adalah sebuah revolusi dalam hati. Ia membebaskan dari belenggu legalisme dengan menetapkan bahwa pembenaran dan kelayakan kita sepenuhnya terletak pada Kristus. Kehidupan yang berpusat pada Kristus mengubah perbuatan baik dari syarat menjadi respons yang alami, didorong oleh rasa syukur atas anugerah yang tak terbatas. Inilah cara iman Kristen dapat melampaui jargon teologis dan menjadi kekuatan yang mengubah hidup, di mana segala kemuliaan hanya tertuju kepada Allah.


Tidak ada komentar: